Pagi itu, dalam perjalanan pulang setelah melihat
sekolah yang diterjang galodo, di simpang di depan Lapau Celong, Tacik mencium
harum aroma kopi. Aroma itu menariknya untuk singgah ke Lapau Celong.
Maka
Tacik lantas masuk saja ke Lapau itu, ia mencari tempat kosong dan minta
dibuatkan sekerat kopi panas, serta minta dibawakan sebungkus rokok Panama
Putih dan sebungkus Kacang Mak Da. Lalu Celong datang membawakan pesanan itu.
Setelah
minum dua daguik kopi, selagi Tacik asyik menggatu kacang, tiba-tiba terdengar
suara orang berkata, “Nakan, kita duduk
bersama ya?”, dan tanpa menunggu jawaban Tacik, orang itu lantas duduk di
sebelahnya, menyusul ada dua orang berduduk pula di samping.
Setelah
menoleh ke sumber suara, Tacik kaget, ternyata yang datang Mayua Walinagari beserta dua anak buahnya. Ketiga orang itu tanpa
permisi langsung saja meminum kopi Tacik, menyisil kacang, dan masing-masing
mencomot rokok Panama Putih-nya, lalu mengobrol tanpa mengubris Tacik lagi.
Tacik
marah. Tetapi tidak berani. Hanya mampu bercarut-carut pungkang di dalam hati,
batinnya, “nyiak wali kalera. Kopi dan
Panama saya-pun disantung.”
Terdengar
seorang dari anak buah Mayua berkata membuka ota. Namanya Pian, menjabat
sebagai Kepala Keamanan Nagari. Katanya, ''bos,
dengar-dengar nagari sebelah diserang wabah. Karena wabah itu pasti orang-orang
takut berkunjung kesana. Bagaimana jika kita tarik mereka untuk berkunjung ke
nagari kita. Pasti banyak pitih masuk. Hehehe.''
Mayua
mangut-mangut. Lalu tersenyum.
Maka
anak buah kedua Mayua menyahuti. Jabatannya Kepala Kesehatan Nagari, yang
bernama Topik. Ucapnya, "untuk
menarik orang agar datang ke nagari kita, maka kita butuh propaganda untuk
mengesankan bahwa nagari kita bebas wabah." Dia hentikan bicaranya,
lalu mendekatkan kepalanya ke telinga Mayua, dengan serius, dia berbisik,
"untuk itu kita butuh tukang hoax
di media sosial."
Kembali
Mayua manggut-manggut sembari tersenyum.
Tacik
heran dengan rencana itu. Dia khawatir orang yang berkunjung ada yang
terjangkit wabah kemudian menularkan ke warga nagari. Satu orang terpapar bisa
menularkan ke ratusan orang. Ratusan yang kena dapat menyebabkan ribuan yang
terjangkit. Ribuan itu bisa berbuah jutaan orang.
Karena
ngeri membayangkannya, Tacik tidak tahan lagi. Maka dia angkat bicara. “Tapi Nyiak Wali, apakah Inyiak tidak takut
jika anak nagari tertular wabah dari para pelancong itu?,"
“Hehehehe," Mayua dan dua anak
buahnya tertawa meremehkan pertanyaan Tacik.
"Tenang nakan," balas Mayua serius,
"warga kita tahan terhadap paparan
wabah itu. Karena mereka sering makan air nasi. Minuman itu menguatkan imun.
Hehehe. Wabah lewat. Hehehe."
"Betul itu," tutur Pian, "selain itu, warga kita memiliki daya tahan
tubuh yang kuat karena sering makan Silambiak (lontong) Hehehe."
"Hehehe.
Wabah tidak akan masuk ke nagari kita. Karena perizinannya rumit. Hehe. Jikapun
masuk wabah itu tidak akan mampu menjangkiti warga kita, karena kita sering
minum te talua (teh telor),"
timpal Topik juga tidak mau ketinggalan mendukung majikannya.
Tacik
hanya melongo mendengar para aparat nagari yang meremehkan wabah itu. Dengan
kecewa, dia arahkan pandangan ke labuah, lalu melirik ke tiga orang itu.
Setelah itu dilihatnya meja. Tacik kaget. Ternyata kopi dan kacangnya sudah
tandas, sementara rokok Panama Putih hanya tinggal separo.
Pada
saat itu, kembali terdengar Mayua berkata lagi, "oke. Saya setuju usul kalian berdua. Langkah selanjutnya adalah kita
beri diskon tiket pesawat. Disaat yang sama kita sewa tukang hoax untuk
memviralkan bahwa nagari kita bebas wabah. Pasti orang-orang akan
berbondong-bondong mengunjungi nagari kita. Di saat itulah pitih masuk
baunggun. Hehehe."
"Siap!," jawab Pian dan Topik
serempak.
Lalu
ketiga orang itu tertawa bersamaan, "Hehehehe."
Tacik
makin mendongkol melihat ulah para pejabat ini. Diotak mereka hanya uang dan
uang. Mengelola nagari seperti manggaleh, yang dicari hanya keuntungan saja.
Bukan keselamatan seluruh warga.
Lantas
Tacik berkata lagi, “tapi Nyiak, seandainya kedatangan orang luar ini membuat
warga terjangkit wabah bagaimana?.”
“kita
tanggulangi,” jawab Mayua singkat.
“jika
virusnya menyebar luas dan menjangkiti separuh warga?.
“ya...
kita kerja... kerja... kerja.”
“apabila
banyak yang mati?.”
“ya
beranak lagi yang banyak. Hehehe.” Pungkas Mayua sembari tertawa. Dua anak
buahnya juga ikut tertawa, “hehehe.” Gelak tawa tiga orang itu memenuhi
seantaro lapau.
Setelah
puas tertawa, dan sudah tandas kopi dan rokok Tacik, Mayua dan dua pembantunya,
Pian dan Topik, berkirap lindap dari hadapan Tacik.
Tacik
hanya melongo. Terkucak hatinya. Banyak anggaran nagari habis untuk pemilihan,
tetapi hanya menghasilkan pemimpin andia, sembrono dan tidak bertanggung jawab.
Karena
yang akan diminum dan digatu telah tandas oleh Mayua, membuat Tacik termenung.
Dalam menung itu berjalaranlah pikirannya kian kemari. Dia terbayang wabah
mematikan yang akan mengancam anak nagari, terngiang mayat-mayat
bergelimpangan, tetapi yang paling dia sesali adalah kelakuan pemimpin
nagari-nya.
Seorang
pemimpin harus bersikap serius jika melihat wabah mematikan yang akan mengancam
nagarinya. Harus membuat antisipasi untuk menghindari akan banyaknya korban
karena ancaman itu. Sebab pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab mengurusi
warganya, pemimpin harus mampu melindungi segenap dan seluruh tumpah darah
warganya.
Pemimpin
itu layaknya pengembala. Seorang pengembala bertanggung jawab atas apa yang
digembalakannya. Begitupun seorang pemimpin, juga bertanggung jawab terhadap
apa yang dipimpinnya.
Tetapi
setelah menyaksikan sendiri seperti apa pemimpin nagarinya, yang jauh dari
kriteria ideal seorang leader, tidak bertakah, membuat Tacik ngeri. Tidak
berani dia membayangkan bagaimana wabah itu akan membunuhi setiap anak nagari.
Bahkan termasuk dirinya sendiri.
Matahari
semakin meninggi, sinarnya menjilati setiap sudut Lapau Celong. Setelah
membayar semua lanjanya, Tacik lalu pulang ke rumahnya di atas lapau itu.
Karya : Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar