Siang itu di halaman kantor Walinagari, berdiri sebuah
panggung yang cukup megah. Diatasnya tampak sosok tinggi kurus berbaju putih
sedang berpidato sembari sesekali melihat teks. Ketika isi pidato memuji diri
sendiri dan menyalahkan pihak lain, pendukung dan anak buahnya yang
mendengarkan pidato itu di depan panggung bersorak sorai sambil bertepuk tangan
dengan riuhnya.
Orang itu adalah Mayua, Walinagari dua periode. Saat
ini berkuasa di tahun ketiga periode kedua. Takahnya kurang meyakinkan. Jauh
dari roman cerdas, juga kurang wibawanya. Tetapi oleh pendukungnya dan
koran-koran ‘cabiak’ simpatisannya, dia dicitrakan kebalikan dari penilaian
umum. Dia di deskripsikan cerdas, berwibawa, tidak pernah salah, dan disegani
dunia internasional. Jika ada yang mengkritik, maka pendukungnya akan kesetanan
membuli si pengkritik.
‘’saat ini beras produksi petani anak nagari tidak
laku di pasar. Kalah bersaing dengan beras yang datang dari luar. Petani kita
merugi’’, begitulah Mayua membuka pidatonya.
Setelah melirik teks, dengan sedikit jengkel dia
melanjutkan ‘’ini semua karena kebijakan pemerintah yang mengundang pedagang
beras dari luar!’’, berhenti sejenak, matanya menyapu semua pendukung yang
hadir di bawah panggung. Setelah mengambil nafas, dia berkata lagi, ‘‘saya
sudah tahu siapa yang suka mendatangkan beras dari luar, jika nanti dia masih
suka seperti itu, maka AKAN SAYA GIGIT!’’. Kalimat ‘akan saya gigit’ dia
ucapkan dengan lantang.
Para pendukung dan simpatisan di depan panggung
bertepuk tangan dengan riuhnya. Seperti memuji ketegasan junjungan.
Hidung Mayua ‘kambang’. Dengan tampang sedikit
‘ongeh’, dia melanjutkan pidatonya. ‘’sekarang perusahaan Julo-Julo tekor.
Gagal membayarkan uang ke anggota yang menerima. Ini karena kesalahan dalam
memilih pengurusnya. Yang dipilih maling semua. Selanjutnya, saya akan
MENYELAMATKAN perusahaan itu.’’ Kata menyelamatkan diucapkan Mayua dengan
keras.
Kembali depan panggung riuh dengan tepuk tangan.
Seolah bangga dengan kesigapan sang junjungan.
Setelah tenang, dengan memasang tampang bijak, Mayua
bertutur lagi, ‘’untuk menutup ketekoran perusahaan Julo-Julo ini, saya akan
mecabut beberapa subsidi dan menaikkan beberapa tarif pajak’’.
Depan panggung kembali bergemuruh dengan tepuk tangan.
Teriakan ‘hidup Mayua’ sahut menyahut ditiap sudut area kantor Walinagari.
Setelah melirik isi teks, Mayua lantas melanjutkan.
‘’tiga tahun terakhir, nagari Sabalah banyak yang mencuri ikan di lubuk
larangan kita. Ini karena Walinagari periode kemarin banyak berhutang ke nagari
Sabalah. Karena hutang ini membuat mereka bersilantas angan kepada kita.
Perbuatan mereka itu melecehkan kedaulatan nagari kita!’’, Mayua berhenti
sejenak.
Suasana hening. Dengan memasang tampang emosi dia
berkata lagi, ‘’saya akan mengatasi masalah pencurian ikan ini. Akan saya bawa
para Hansip kesana. Saya LABRAK mereka!!,’’ kata labrak sengaja di ucapkan
sangat keras.
Tepuk tangan dan pujian kembali bergema di depan
panggung. Seakan bangga dengan keberanian sang Walinagari.
Mayua tersenyum puas. Dengan muka bangga, setelah
melihat contekan, dia bertutur lagi, ‘’besok akan saya datangi tiap lubuk
larangan nagari. Akan saya buat para pencuri itu lari tunggang langgang
meninggalkan wilayah kita. Saya akan berpoto-poto dan selpi-selpi disana,’’
tutupnya dengan tersenyum puas. Setelah itu kembali melihat teks. Membaca apa
yang akan disampaikan lagi pada pendukung fanatiknya.
Kembali tepuk tangan membahana seantero panggung.
Sementara itu, di sebuah Kadai di depan kantor
Walinagari, tampak tiga orang sedang menguping isi pidato Mayua. Terlihat rona
kesal dan jengkel pada ketiga muka orang tersebut. Karena semua masalah yang di
paparkan Mayua, penyebabnya adalah dirinya sendiri. Dialah Walinagari periode
kemarin.
Dari mereka itu, yang pertama bernama Mak Jaliman,
yang lainnya Mak Piri dan Ramon. Ketiganya adalah orang-orang bijak dalam
nagari. Selalu kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap
merugikan masyarakat kecil.
Tanpa bicara, sambil melirik kedua temannya, Mak
Jaliman memberi kode dengan mengarahkan telunjuk kearah panggung tempat Mayua
sedang berpiidato. Melihat kode itu, Mak Piri dan Ramon serentak mengangguk.
Paham dengan apa yang dimaksud Mak Jaliman.
Setelah itu, segera ketiganya meninggalkan lapau,
berlari menuju panggung di depan kantor Walinagari. Tiba diatas panggung, Mak
Jaliman merebut mik yang sedang dipegang Mayua kemudian dilempar ke bawah.
Selanjutnya melirik kepada Mak Piri dan Ramon, memberi
kode anggukkan. Keduanya membalas juga dengan anggukkan.
Tiba-tiba Mak Jaliman berujar, ‘’ciek duo tigo!’’,
setelah itu beliau meringkus tangan Mayua, disaat yang sama Mak Piri dan Ramon
juga memegangi kedua kaki Mayua. Sehingga Mayua terangkat dengan tangan
dipegang Mak Jaliman dan kedua kaki dicekal Mak Piri dan Ramon. Mayua hanya
‘mangango’ saja diperlakukan demikian.
Mak Jaliman menghitung lagi, ‘’ciek duo tigo!’’, Mayua
diayunkan ke depan belakang, di hitungan ketiga, kemudian dilemparkan ke bawah
panggung. Mayua terjatuh dengan posisi terkangkang menghadap langit.
Setelah itu, ketiga orang tersebut ambil langkah
seribu meninggalkan kantor Walinagari dengan perasaan puas dan lega.
Rozi Firdaus