Di atas tapian bandaro dekat durian tampuak basi Waek
Niban, di tepi jalan raya, tampak seorang pria paruh baya, bertelanjang dada,
hanya memakai kain sarung sebagai ganti celana, sedang melatih baruak memetik
kelapa. Rambutnya sebagian besar sudah memutih dengan potongan cepak seperti
tentara.
Tangan kirinya menggenggam palacuik yang terbuat dari
lidi berpilin tiga, sementara tangan kanan mencekal tali baruak. Dimulutnya
terselip sebatang rokok anau. Rokok itu kadang dihisap, dilain saat dikunyah.
Ketika membentak baruak, rokok itu digigit. Beliau Nyik Inu, seorang pengusaha
yang bergerak dibidang jasa memetik kelapa.
‘’baruak andia. Lah duo bulan den aja. Dak bisa juo
mamiyuah karambia!,’’ bentak Nyik Inu sambil mencambuk si baruak, karena baruak
yang diajar sejak tadi hanya memegang kelapa tanpa berusaha memilinnya.
Dibentak demikian, baruak itu merespon dengan mencibir Nyik Inu. Melihat
cibiran itu, emosi beliau memuncak.
‘’baruak kalera,’’ hardiknya, lalu menyentakkan tali
kekang baruak. Karena sentakkan itu membuat baruak jatuh dan terbanting ke
tanah. Kembali baruak dihadiahi dua cambukkan dibadannya. Dengan gusar Nyik Inu
kemudian memautkan baruak di kandangnya.
Kandang itu seperti kandang ayam yang dionggokkan
diatas sebatang kayu setinggi dua meter. Tetapi ukurannya lebih kecil, juga
tidak berpintu.
Setelah itu, dengan langkah besar beliau berjalan
menuju rumah, lalu duduk di pintunya. Rumah itu tidak jauh dari kandang
baruakk. Tepatnya, kandang baruak berada di halaman rumah Nyik Inu. Rumah
beliau tipe rumah panggung dari kayu berukuran 4 kali 8 meter.
Nyik Inu masih kesal pada sang baruak, dan terus
memakinya. ‘’baruak ongok. Dalam saminggu ko dak pandai juo ang maambiak
karambia, den anduah ang ka Mak Saidan!’’ ancamnya kepada baruak. Setelah itu
dihisap rokok anau sampai terpuntung dan menghembuskan asapnya, kemudian
membuang puntungnya ke tabek Sianduk. Selanjutnya beliau buka ikatan tali
baruak, dan menyeretnya kembali ke tempat latihan memetik kelapa.
Tempat latihan baruak itu berada di batang kelapa.
Bentuknya seperti kayu yang pakukan sepanjang 1 meter secara horizontal di
pertengahan batang kelapa, pada kayu itu di ikatkan 2 butir buah kelapa. Kelapa
itulah yang menjadi bahan latihan untuk baruak.
‘’Pilin! Piyuah! Gigik!’’ teriak Nyik Inu memberi
komando kepada baruak. Tetapi si baruak hanya berdiri di kayu tempat
tergantungnya buah kelapa, dia hanya memandangi buah itu, sesekali mencibir
Nyik Inu. Menyaksikan tingkah anak didiknya itu, Nyik Inu emosi lagi, akibatnya
cambuk lidi berpilin tiga mendarat lagi di badan si baruak.
Baruak tidak bergeming, masih mada, dan semakin
mancibia Nyik Inu.
Temperamen Nyik Inu sudah pada klimaks-nya, lalu tali
kekang disentakkan, sehingga baruak jatuh ke tanah. Dua lecutan mendarat lagi
di badan baruak.
‘’dak ado bana peri kebaruak-an ang yo Nyik Inu!,’’
tiba-tiba Nyik Inu dikagetkan oleh teguran seseorang. Kemudian beliau hentikan
cambukkan ke badan baruak, dan melengoh ke sumber suara.
Tampak sesosok orang tua dan seekor baruak bertumbung
besar telah berdiri dekat batang kapas di samping pohon kelapa tempat dimana
Nyik Inu melatih baruak-nya.
Orang yang datang itu berkepala botak di bagian depan,
mukanya berhiaskan cambang, jenggot dan kumis yang sudah memutih.
......bersambung
......bersambung
Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar