Matahari telah mencogok dari peraduannya. Dengan amat perlahan, dia berangsur naik, naik dari balik gunung danau tempat ‘terpendamnya’. Cahaya jingga telah mulai terbentang, pertanda bahwa siang segera menggantikan malam.
Pagi itu angin berhembus sepoi-sepoi di Lubuk Kalang. Hembusan angin semakin syahdu karena ditingkah dengan nyanyian sungai yang airnya tidak pernah berhenti mengalir. Sesekali terdengar kicauan Murai Batu dari pucuk Jawi-jawi yang rimbun di Lubuk Tareh. Lubuk Kalang begitu mempesona di pagi itu.
Diatas Lubuk itu melintang jembatan tua yang namanya sama dengan nama lubuknya. Jembatan Lubuk Kalang. Jembatan ini melengkapi keindahannya. Keindahan perpaduan antara ciptaan Tuhan dengan buatan manusia.
Jembatan Lubuk Kalang adalah jembatan tua, mungkin yang tertua di Tigo Koto Sitalang. Jembatan itu dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, 12 tahun sebelum Indonesia merdeka.
Jembatan tersebut sangat vital peranannya bagi Nagari Batu Kambing dan nagari sekitarnya. Karena menghubungkan dua tempat yang dipisahkan oleh Lubuk Kalang, yaitu menghubungkan Kampung Parit, Punago, dan Subarang, dengan Pasar, dan kampung di sekitarnya.
Karena sudah tua, konstruksinya sangat berbeda dengan jembatan masa kini. Jika jembatan zaman sekarang sangat identik dengan beton, Jembatan Lubuk Kalang tersusun dari batu kali pada kedua tiangnya. Pada dua sisi kedua tiangnya tersebut terdapat lereng yang menjulur ke sungai.
Di lereng itulah, seorang anak muda, bernama Iman, duduk termenung seorang dirinya, menghadapkan mukanya ke dalam lubuk yang tenang. Meskipun matanya terpentang lebar, meskipun begitu asyik dia memperhatikan aliran air yang mengalir di lubuk itu, rupanya pikirannya telah melayang jauh sekali, ke balik yang tak nampak di mata, dari lubuk dunia pindah ke lubuk khayal.
Dia teringat akan kegagalan cintanya yang hampir ke pelaminan, dia teringat itu, meskipun telah berusaha keras untuk melupakannya. Dulu ketika acara lamaran, rahasia yang menggagalkan perjodohannya tersibak. Bahwa sang pujaan hati ternyata sama 'belangnya' dengan dirinya.
''tidak bisa dilanjutkan,'' kata Mamaknya yang bergelar Datuk Tuah kala itu, ''jika diteruskan, ini akan mecoreng muka saya sebagai Ninik Mamak kaum Jambak, lindungan persukuan, yang mengebat erat memancung putus. Kalau pernikahan ini tetap berlangsung, kemana muka ini akan Mamak Surukkan?.''
Tercengang Iman menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal
rasa kepalanya. Lalu dia berkata, ''tapi Mak, Agama kita tidak melarang.''
Datuk Tuah geram, dengan suara meninggi, balasanya, ''nikah satu klan bukan konteks perkawinan halal dan haram, tetapi perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo pareso, alua jo patuik, dan kesepakatan dalam aturan nenek moyang kita. Dalam hukum warih nan bajawek yang dijalankan dan dituahi oleh penghulu sekarang. Oleh karena itu, Mamak tidak bisa melanggar ketentuan itu.''
''saya dengan gadis itu hanya Satu klan-Sanagari, bukan Satu klan-Sapayuang. Tidak satu nenek, juga tidak satu Datuk. Kami hanya senagari saja.'' bantah Iman lagi.
Datuk Tuah mendengus, ''huh.. tetap tidak bisa. Satu klan-Saparuk, Satu klan-Sapayuang, Satu klan-Sakampuang, dan Satu klan-Sanagari dilarang keras menurut adat dan limbago nagari kita. Seandainya berlanjut, cela besar namanya itu, merusakkan Ninik Mamak, Korong kampung, rumah jo halaman!.’’
Datuk Tuah berhenti, kemudian dengan lembut dia melanjutkan, ‘’Pernikahan yang dibolehkan hanya dalam kondisi Satu klan-Sajo, yaitu nama klan sama, tetapi beda paruik, beda payuang, beda kampuang, dan beda nagari.''
''tapi Mak....''
''tidak ada tapi-tapian!,'' sela Datuk Tuah, ''jika kamu bersikeras dengan gadis itu, maka sanksi adat akan berlaku untuk kalian, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai indak baapi, digantuang indak batali. Kalian akan dikucilkan dalam pergaulan, dibuang dari klan, bahkan diusir dari nagari ini!.'' Datuk Tuah kemudian mengurak selo meninggalkan rumah itu. Iman hanya menunduk pasrah, menerima keputusan Mamak-nya. Dia tidak ingin diusir dari nagari dan dibuang sepanjang adat, juga tidak ingin dikeluarkan dari klannya.
Masih di lereng Jembatan Lubuk Kalang itu, kini dia termenung. Dalam menungnya itu, berjalaranlah pikirannya kian kemari. Ia teringat penolakan mamaknya, teringat nasib cintanya, teringat angan-angannya. Lama-lama teringat dia gadis itu, yang begitu dicintainya. Mukanya amat jernih, matanya penuh dengan rahasia kesucian dan tabiatnya gembira.
‘’Seandainya gadis itu bisa kupersunting … ah!.’’ Gumamnya dalam hati. Namun, tiba-tiba dia tersadar bahwa angan itu tidak mungkin menjadi. Kini sang pujaan hati bagai bunga harum berpagar duri. Mustahil untuk memetiknya.
Dia juga menyesali adat istiadat nenek moyangnya yang kolot. Bahwa rasa kasih itu anugerah Tuhan, tumbuh dan bersemi dengan sendirinya. Tidak ditumbuhkan. Tetapi kenapa setelah tumbuh dia tidak boleh mekar. Bukankah itu menentang kehendak Tuhan? Kenapa manusia dengan mengatasnamakan adat harus merenggut dan mematikannya?
Pikirannya terus berkecamuk, tetapi belum mampu menemukan jawaban atas semua pertanyaan itu. Namun satu kesimpulannya saat ini, melihat tingginya tembok adat nan kokoh, harapannya seperti menanam padi di sawah yang tak berair, bagai mendakikan akar sirih, ibarat meminta sisik kepada limbek. Percuma.
Akan tetapi, meski tidak mampu merobohkan tembok penghalang itu, dia sudah bertekad tidak akan membunuh cintanya, juga tidak akan memindahkannya ke hati yang lain.
Rozi Firdaus
Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar