Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Kabupaten Agam

Ibu kota dari Kabupaten Agam adalah Lubuk Basung, sebuah kota berstatus kecamatan.

Carito Lapau, Episode 1 : BASAMO MEMBANGUN SUMBAR MADANI

"Ah biaso sajo itu. Dulu paresiden nan kini ko takah itu juo. Indak salasai jadi gubernur, baru duo tahun, alah mancalon presiden", kato si Buyuang Mada.

Omerta, Justice Collaborator dan Mar Yanto

Sehebat-sehebatnya pelaku kejahatan pasti ada jejak/bukti yang tercecer sebagai titik awal penelusuran jejak sehingga mengarah kepada pelaku

Murid-Murid Nyiak Ajuik

Menurut kabar angin, beliau memiliki kemampuan supranatural. Banyak yang percaya bahwa beliau mampu menangkal hujan, ada juga yang meyakini beliau memiliki ilmu pamikek. Bukan ilmu memikat balam atau barabah, tetapi ilmu memikat lawan jenis. Selain ilmu gaib itu, Nyiak Ajuik juga memiliki keahlian dalam ilmu teknik.

Puti Ransani Turun dari Khayangan

Puti Ransani merasa rindu ingin kembali ke Kampung kelahirannya di Maninjau. Banyak hal yang membuat ingin segera pulang

Bingung Membingungkan

Seminggu menjelang raya, karena PSBB, siang itu Cikunir lengang dari biasanya. Di sepanjang jalan raya, ruko-ruko di tepi jalan banyak yang tutup, yang buka hanya toko sembako dan apotik saja. Tetapi kedai-kedai warung kopi di tempat-tempat tersuruk dan gang sempit tetap buka seperti biasa.
Di sebuah warung kopi, di salah satu gang sempit di sudut kota itu, tampak seorang pemuda sedang khusuk membaca berita di hape-nya. Ekspresi wajahnya berubah-ubah. Sesekali melotot lalu mengerinyitkan dahi, kadang bercarut-carut sambil menggocang-goncangkan hape-nya.
Pemilik warung, Atuik, yang menyaksikan tingkah pemuda itu hanya geleng-geleng kepala. Lalu bertanya, “kenapa ang Celong? Baca berita apa?”. Setelah mengucapkan itu, kemudian dia berjalan menuju Celong dan duduk tepat didepannya.
“galigaman den melihat cara pemerintah melawan wabah virus Tuik,” jawab Celong, “tentang mudik dan pulang kampung misalnya, kemarin begini, sekarang begitu, sebelumnya dilarang, sesudah itu boleh, dilarang lagi, boleh lagi. Dia bilang seperti ini, anak buahnya bilang seperti itu. Anak buah yang lain bilang jauh berbeda lagi tentang masalah yang sama!”. 
Celong bingung dengan pemerintah tentang cara penanganan wabah corona. Arah mana peraturan pemerintah tentang cara berantas virus tidak jelas. Katanya pembatasan sosial, tetapi kok transportasi buka tutup? Jubir bilang tinggal di rumah! Yang lain bilang dilarang mudik! Jubir bilang jangan bepergian! Menhub bilang boleh terbang!. Benar-benar ruwet.
Karena kebijakan yang mencla-mencle itu Celong gagal mudik bersama istri dan anaknya. Karena jauh hari sebelum ada wabah virus, dia sudah boking tiket pulang kampung. Ketika virus mulai berkembang pemerintah melarang mudik. Tiket yang telah dipesan dia batalkan. Sekarang mudik tidak dilarang lagi, sementara uang untuk tiket sudah tandas. Terpaksa Celong tidak mudik tahun ini. Hal ini yang membuat dia jengkel.
Atuik tersenyum getir. Lalu bangkit perlahan dari duduknya, menghisap dalam-dalam rokoknya, kemudian dihembuskan keluar, nampak asap bergabung-gabun dimukanya. 
“itulah bukti bentuk kepemimpinan yang tidak jelas. Tidak ada koordinasi. Atau intruksi pimpinan diabaikan oleh anak buah karena menganggap pimpinan andia dan tidak berwibawa. Sehingga semua anak buah merasa sebagai pemimpin. Akibatnya masing-masing membuat kebijakan yang saling bertolak belakang, bahkan bertentangan dengan pimpinannya sendiri.” sahut Atuik. 
Celong mengangguk mengaminkan, lalu katanya, “jika pimpinan acap mangango, banyak anak buah yang merasa menjadi bos, sehingga staf dari anak buah menjadi bingung untuk mengeksekusi kebijakan itu, rakyat-pun menjadi planga plongo. Akibatnya yang tertular semakin banyak”.
“nagari kita seperti tidak punya kapalo arak”, timpal Atuik, “akibatnya para anak buah jadi pada ribut sendiri. masing-masing mengambil keputusan dan kemudian saling menegasi dan membatalkan. Akibatnya rakyat menjadi bingung. Siapa yang harus di dengar dan dituruti?”.
Maka dengan jengkel kata Celong lagi, “Yang satu ngomong boleh mudik dengan catatan mempunyai keperluan mendesak. Sementara pejabat lainnya menyatakan dilarang mudik. Lalu pejabat lainnya mengizinkan bus menambang, tetapi tidak boleh mudik. Lalu bus kemana dan angkut siapa?”. Celong menghentikan ucapannya, lalu menonoh kopi-nya yang sudah dingin hingga tandas.
Setelah itu lanjutnya lagi, “selain itu aturan yang dibuat juga tidak merata. Kerumunan ditempat ibadah dilarang, tetapi ditempat lain seperti dibiarkan orang berami-rami. Tentu ini akan mengurangi kepatuhan warga terhadap aturan yang dibuat.”
“ya begitulah pejabat kita. Nanti jika wabah ini semakin meluas maka yang akan disalahkan rakyat seperti kita.” Balas Atuik. Lalu matanya memandang jauh kedepan, tampak jalan raya masih lengang.
Sementara Celong sekarang sibuk memainkan hape, menskrol laman pesbuk-nya, tiba-tiba dia berhenti pada sebuah portal berita, karena judulnya bikin dia kaget, yaitu BPJS naik. 
Dengan mata melotot Celong berteriak tertahan, “BPJS naik lagi?!!.” Selama ini, karena harga minyak dunia turun drastis, dia sangat berharap harga BBM juga ikut turun. Sebelumnya listrik 900 keatas sudah naik, sekarang Justru yang didapat BPJS naik juga. Makin berat beban itu, sementara singgulung batu. 
Atuik yang sedang melamun ikut terkejut, “apa.. BPJS naik,?” sahutnya sembari merampas hape Celong kemudian membaca berita itu. Lalu mengembalikannya. Katanya lagi “uang masuk berkurang drastis, kini pemerintah memaksa kita mengeluarkannya lebih banyak. Benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga pula!.”
Celong hanya terperangah, batinnya, “kini muatan sandek, yang akan dibeli dan dibayar serba mahal.”
Mereka tidak habis pikir, dampak dari virus menyebabkan banyak rakyat kehilangan pekerjaan, para pedagang tidak berjual beli menyebabkan omzet turun drastis, sopir tidak bisa lagi memiyuh besi bulat karena pembatasan sosial, kehidupan sulit, uang susah. Sekarang bukannya meringankan, pemerintah justru membebani rakyat dengan kenaikkan tarif BPJS.
Menurut logika mereka, seharusnya, jika ada bencana, kehidupan rakyat susah, maka peran pemerintah disini adalah meringankan beban mereka. Tetapi yang berlangsung sebaliknya. Rakyat kecil seperti tebu yang digiling untuk diambil airnya. Rakyat picak pemerintah gambuang.
Sore sudah menjelang, terik tidak berkurang. Suhu panas membuat Celong maagua dan mengantuk. Lalu tertidur di warung itu. Tabugai.


Karya Rozi Firdaus

Share:

Bangih-bangih

Dia sangat marah. Karena semua kebijakannya untuk mengatasi corona dan dampak turunannya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhasil. Bukannya mereda, virus justru makin menyebar luas dan perekonomian kian anjlok. Sementara menurutnya, anggaran telah dikucurkan untuk mengatasi semua masalah tersebut.
Oleh karena itulah, pagi itu Walinagari mengumpulkan semua anak buahnya untuk diberi arahan agar bekerja dengan benar. Setelah hadir seluruhnya, lalu Walinagari naik podium. 
Karena saking marahnya, tanpa mengucap salam, dia langsung saja nyerocos pada intinya.
“kemarin dan kedepannya nagari kita akan terus menghadapi krisis!,” katanya membuka pidato. Kalimat itu diucapkan sambil matanya menyapu seluruh hadirin yang berada di dalam kantor Walinagari. Tutur katanya halus dan penuh wibawa. Semua menyimak dengan seksama. 
Tiba-tiba, nada bicaranya meninggi. Roman mukanya menunjukkan amarah. Sorot matanya tajam. 
“itu semua karena kalian tidak becus bekerja!!.” Lanjut Walinagari dengan lantang. 
Sontak semua kaget mendengar Walinagari berpidato demikian. Biasanya beliau berpidato seperti hanya membacakan teks yang sudah disiapkan sebelumnya. Lembek. Tetapi hari ini lain, meski pidato masih baca teks tetapi nada marahnya natural. Tegas.
Sekarang dia menyentil tiga orang anak buahnya yang dianggap bertele-tele. Pertama yang mengurusi kesehatan, lainnya yang mengatur penyaluran bantuan sosial, dan anak buah yang mengomandoi bidang ekonomi.
“anggaran kesehatan itu puluhan T. Tetapi kenapa sampai sekarang yang terserap baru 2 persen?. Ini bukti kamu kerjanya tidak beres,” tanya walinagari, yang langsung dijawabnya sendiri. 
Matanya menatap kearah pejabat yang dimaksud. Yang ditatap balas melirik dengan sorot tajam penuh kesinisan, lalu dia membatin, “uang yang puluhan T itu belum kau cairkan seluruhnya. Dan beberapa yang cair sudah saya salurkan 50 persen, bukan 2 persen!. Kau yang tidak beres, aku pula yang kau salahkan!.” 
Melihat tatapan sinis pejabat itu, Walinagari sungkan, lalu membuang muka ketempat lain.
Kemudian dia menyentil pejabat pengurus penyalur bantuan. Katanya, “warga kita sudah terpekik karena pandemik. Tetapi kenapa bantuan belum disalurkan?!!.” Juga rona muka marah dia memandang ke pejabat itu, yang ditatap balas melirik dengan sorot marah yang tidak kalah marahnya, si pejabat mengomel dalam hati, batinnya, “sudah akan saya salurkan sembako itu, tetapi kau suruh membagikan bantuan harus dengan kemasan yang ada gambar kau! Sementara kemasan itu belum selesai disablon!.” 
Walinagari takut melihat tatapan anak buahnya itu, lalu menoleh kearah lain. Kemudian dia memarahi pejabat lainnya, pejabat bidang ekonomi.
“karena virus, daya beli warga turun drastis. PHK terjadi dimana-mana. Kok tidak ada tindakan tim ekonomi untuk mengatasi masalah ini?!!.” Meski memasang muka marah, sekarang dia tidak berani menatap mata anak buah yang dimarahi itu. 
Si anak buah hanya mengomel dalam hati, “tidak ada kau intruksikan, aku tidak tahu haru berbuat apa. Uang juga tidak ada. Kau lebih mementingkan bangun ibukota nagari baru, dan beli video yang harusnya bisa gratis, dibanding perut rakyat!!”
Kemudian walinagari melanjutkan pidatonya. Sekarang dia menasehati seluruh anak buahnya. Dia berbicara tentang bagaimana bekerja ditengah krisis.
“di tengah pandemi ini, kita harus bekerja dengan sense of crisis. Yaitu bekerja lebih keras dan lebih cepat. Dari kerja biasa ke kerja luar biasa. Dari cara rumit-rumit, ke cara cepat dan lebih sederhana. Dari SOP normal, ke SOP yang lebih cepat.” Tuturnya dengan bijak. Semua hadirin bertepuk tangan dengan meriahnya. 
Walinagari tersanjung dan merasa bangga atas respon anak buahnya. Tetapi mukanya masih terlihat marah.
“sense of crisis itu juga bermakna, kita harus memahami bahwa hidup warga sedang sulit karena virus, maka kita harus mengerti kesulitan warga tersebut, yaitu dengan bekerja lebih cepat lagi. Agar penderitaan rakyat bisa berkurang!.” Tutupnya mengakiri pidato. Lalu dia turun podium dan meninggalkan ruangan itu. 
Languai, petugas kebersihan kantor walinagari, kebetulan hari itu bekerja. Sambil mengerjakan tugasnya, dia menyimak seluruh isi pidato walinagari. 
Miris bergelimang dongkol Languai mendengar pidato walinagari. Seluruh masalah di nagari ini karena kepemimpinannya yang lemah. Tetapi dia selalu menyalahkan anak buah untuk menutupi kegagalannya.
Yang paling menjengkelkan Languai adalah pidato penutup walinagari, “kita harus punya sense of cirisis ditengah pandemi agar warga tidak susah,” nyatanya kebijakannya makin menyengsarakan warga. Ditengah krisis dia menaikkan iuran kesehatan, di saat pandemi warga menjerit karena rekening listrik naik misterius. Minyak yang seharusnya turun, malah tidak turun. 
Sudahlah pemasukan berkurang drastis karena pandemi, pemerintah malah memeras warga untuk membayar iuran yang sangat mahal. Warga seperti jatuh kemudian ditimpa tangga pula. 
"Lenyai," gumam Languai. Kemudian melanjutkan tugasnya.


Karya Rozi Firdaus
Share:

Bantuan

Dalam rangka memutus rantai penyebaran virus corona, pemerintah menerapkan kebijakan PSBB, yaitu membatasi gerak warga diluar tempat tinggalnya, dengan menghimbau mereka untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Pembatasan sosial ini berdampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Untuk menanggulangi dampak itu, pemerintah menyalurkan bantuan sosial berupa sembako ke masyarakat, juga menyalurkan BLT untuk menjaga daya beli masyarakat agar kegiatan ekonomi tetap berjalan.
Jika dikota semua bantuan itu merupakan berkah, karena warganya benar-benar terdampak, bagi nagari yang tidak merasakan dampak korona, semua bantuan itu justru tidak berguna, malahan seperti membawa perpecahan. 
Karena faktanya masyarakat nagari memang tidak terlalu membutuhkan bantuan. Dengan hasil parak di belakang rumah saja mereka tetap bisa makan. Apalagi tiap bulan selalu ada pemasukan karena mereka tetap bekerja.
Tetapi kata pemerintah pusat semua bantuan harus disalurkan, jika tidak akan mendapat hukuman. Namun apabila disalurkan akan muncul banyak permasalahan. Salah satu permasalahan itu adalah perpecahan dalam masyarakat. Warga saling maki, pemerintah nagari dihujat masayarakat. 
Inilah yang merusuhkan Tacik dan Mak Solo, sehingga menimbulkan pembicaraan sambil mencoba mencari solusi, agar bisa menjadi masukan kepada pemerintahan nagari. 
Sore itu, setelah Ashar, Tacik dan Mak Solo duduk-duduk di Lapau Dedi Bongkeng sembari bermain media sosial di androidnya masing-masing. 
“bantuan sembako dan bantuan tunai yang sedang diributkan orang senagari, menurut saya tidak berguna,”tutur Tacik membuka kata, setelah membaca keributan warga tentang pembagian sembako di postingan FB Pemerintah Nagari, “justru bantuan ini menimbulkan rasa iri dan dengki bagi sebagian masyarakat. Bantuan ini memecahkan kita,” lanjutnya sambil melirik ke arah Mak Solo yang sedang sibuk juga dengan HP-nya. 
“maksudnya?” Mak Solo tidak paham. Menurut beliau, bantuan sudah tentu akan sangat menolong orang yang membutuhkan.
“begini maksud saya,” balas Tacik sembari meluruskan duduknya, “bantuan ini diberikan dengan latar belakang untuk membantu masyarakat yang terdampak karena virus corona. Nah sekarang saya tanya, menurut Mak Solo ada tidak warga kita yang terdampak oleh virus korona?”
“tidak ada,” sahut Mak Solo sambil menggeleng.
Tacik mengangguk, lalu balasnya, “memang tidak ada. Sudah hampir dua bulan wabah corona melanda, tetapi orang kampung kita tetap bekerja. Yang punya sawah masih menggarap sawahnya, tukang potong lanjut saja memotongnya hingga membangkit dan menimbang, yang berparak sawit tiap bulan selalu panen, jadi semua bekerja, semua punya uang.”
Menurut Tacik masyarakat yang sangat merasakan dampak dari virus corona adalah masyarakat di daerah perkotaan, bukan warga nagari. Karena sebagian besar warga kota bekerja di bidang informal yang sangat membutuhkan keramaian untuk menunjang usaha mereka. Sementara pemerintah melarang keramaian untuk mencegah penularan korona.
Sedangkan masyarakat yang tidak merasakan dampak virus corona yaitu masyarakat nagari. Sebab warganya sebagian besar berprofesi sebagai petani yang tidak membutuhkan keramaian dalam bekerja. Orang kota ketakutan dengan ancaman korona, para petani di nagari tetap bisa produktif karena mereka bekerja di kesunyian di sawah dan paraknya, jauh dari keramaian. Selain itu, penduduk desa juga tidak banyak, sehingga dalam interaksi sosial di desa secara alamiah tanpa adanya PSBB-pun sudah berjarak. 
“benar,” Mak Solo mengagguk, lalu beliau bertanya, “bantuan itu hanya untuk masyarakat terdampak, jika tidak ada yang terdampak, kenapa pemerintah pusat menginstruksikan, pemerintah kabupaten membuat aturan, lalu pemerintah nagari menyalurkan bantuan itu?”.
Lalu jawab Tacik, “wabah korona sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai bencana nasional non alam, karena dianggap bencana nasional, maka dalam aturan untuk penanganannya juga harus menjangkau seluruh daerah. Baik daerah terdampak, maupun yang belum terdampak. Ini semata-mata demi keadilan.”
Meski ada perbedaan dampak yang signifikan antara daerah kota dengan wilayah nagari, namun pemerintah pusat memperlakukan sama keduanya dalam hal pemberian bantuan. Walikota dihimbau memberikan bantuan sembako, Bupati juga diminta memberi sembako. BLT disalurkan untuk warga kota sebesar 600 ribu, masyarakat nagari juga mendapatkan jumlah yang sama. 
“ingin menciptakan keadilan, tetapi membuat ketidakadilan lain,” Mak Solo bergumam.
Lalu tanya Mak Solo lagi, “menurut ang Cik, kenapa masyarakat nagari kita meributkan bantuan yang tidak seberapa itu?.”
Mendengar perntayaan itu, Tacik memandang jauh ke puncak Durian yang tumbuh disamping Rumah Mak Anaeh, sambil memikirkan jawaban pertanyaan Mak Solo yang cukup tajam. Kemudian jawabnya, “untuk menjawab pertanyaan Mak Solo itu, ada dua aspek yang bisa kita telaah untuk menjawabnya. Pertama dari sisi pemerintah nagari, pemerintah nagari menurut saya kurang cermat dalam menentukan mana yang terdampak korona mana yang tidak. Karena pada dasarnya semua warga nagari tidak ada yang terdampak. Tetapi pemerintah nagari memaksakan menentukan siapa yang terdampak. Akibatnya keputusan yang dibuat banyak salahnya. Pemerintah nagari juga kurang transparan. Sehingga masyarakat yang tidak masuk kriteria tidak terima. Terjadilah keributan karena hal itu.” 
Mak Solo mengangguk, lalu tanya beliau lagi, “yang kedua?” 
“yang kedua,” Tacik menghirup udara dihidung kemudian menghembuskannya di mulut, karena jarak keduanya cukup dekat, hembusan itu membawa sedikit air liur, sehingga membuat Mak Solo dengan raut muka kurang senang menyeka mukanya. 
Dengan mengabaikan Mak Solo yang kurang senag, Tacik lalu melanjutkan, “yang kedua bisa kita lihat dari segi masyarakat nagari kita. Rata-rata mereka berfikir miskin. Jika memiliki pikiran seperti itu, semampu apapun dia, seluas apapun sawah ladang yang dia miliki, maka dia akan selalu meminta karena dia sudah miskin sejak dalam pikiran.” 
Mak Solo mengangguk, Tacik tersenyum, setelah itu lanjutnya lagi, “berbeda dengan orang yang sudah kaya sejak dalam pikiran, orang seperti ini semiskin apapun dia, walau susah hidupnya, namun dia selalu malu meminta atau menerima bantuan.”
“orang yang miskin sejak dalam pikiran ini yang banyak di nagari kita,” sahut Mak Solo, “makanya setiap ada bantuan, pasti selalu ribut.”
“betul itu,” Tacik mengaminkan.
Mak Solo kembali bertanya, “kira-kira menurut Tacik, apa yang harus dilakukan pemerintah nagari agar bantuan itu tidak menjadi polemik di nagari kita ini?”.
Tacik melirik Mak Solo sambil mengerinyitkan keningnya, seolah sedang berfikir keras, lalu menatap nanar ke labuah. 
Sementara Mak Solo mengamati gerak-gerik Tacik, dengan tidak sabar beliau menagih jawaban pertanyaannya tadi, “bagaimana Cik?” 
“Mungkin begini, ”Tacik mulai menjawab pertanyaan Mak Solo, “karena ada dua pihak yang terlibat dalam masalah bantuan ini, maka saya akan menyoroti satu persatu kedua pihak tersebut.”
Mak Solo mengangguk, lalau memperbaiki posisi duduknya, ingin menyimak dengan serius uraian Tacik. 
“pemerintah nagari harus menentukan kriteria yang jelas keluarga seperti apa saja yang berhak mendapatkan bantuan itu. Misalnya, yang berhak menerima adalah warga yang terdampak ekonomi yang dsebabkan virus korona karena kehilangan mata pencaharian, atau buruh harian seperti kuli bangunan, atau buruh tani yang menerima upah dengan bekerja di sawah.” Jawab Tacik sambil sesekali melirik Mak Solo, lalu memandang jalan di depan lapau itu. 
Melihat Mak Solo antusias mendengakan paparannya, Tacik bangga, lalu Tacik menambahkan, “agar lebih akurat, walinagari menunjuk tiga orang ditiap Dusun untuk mendata calon penerima bantuan. Tiga orang ini kemudian membangun kesamaan persepsi calon penerima, yaitu memang orang yang benar-benar tidak mampu akibat terimbas virus corona.”
Mak Solo mengangguk, lalu menambahkan, “jika penetapannya sehati-hati ini, saya yakin orang yang akan menerima bantuan benar-benar orang yang sangat membutuhkan. Jika sudah tepat sasaran maka warga lain akan ikhlas menerima keputusan pemerintah nagari.” 
Kemudian Mak Solo bertanya lagi, “kalau dari pihak masyarakat bagaimana Cik?”.
Maka Jawab Tacik, “masyarakat harus menghilangkan pikiran miskin dari otaknya. Dan harus malu menerima bantuan. Juga bantuan yang sedikit itu tidak akan membuat kaya. Jadi ikhlaskan saja siapa-siapa yang sudah ditetapkan pemerintah.”
“jadi harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah dengan warga agar bantuan itu menjadi berkah bagi nagari. Bukan menjadi biang perpecahan dalam masyarakat kita,” timpal Mak Solo menyimpulkan penjelasan Tacik.
Karena merasa semua pertanyaan Mak Solo sudah terjawab, Tacik mengaktifkan kembali androidnya untuk melihat-lihat laman FB. Tiba-tiba Mak Solo bertanya lagi.
“jika warga masih ribut juga, lalu bagaimana Cik?”
“kalau masih ribut, bagi rata saja semua bantuan itu. Seluruh KK mendapatkan jumlah yang sama.” Jawab Tacik singkat. Lalu kembali menatap layar androidnya.
Lagi-lagi Mak Solo bertanya kembali, “apabila sudah dibagi rata, ternyata masih ribut, selanjutnya bagaimana Cik?”.
Sebenarnya dari tadi Tacik sudah mulai gusar dengan pertanyaan bertubi-tubi dari Mak Solo. Seandainya yang bertanya itu Nopi atau Celong, mungkin sudah dia sembur berkali-kali. Tetapi ini yang bertanya orang tua, maka dengan sedikit kurang senang, Tacik menjawab singkat saja.
“kalau masih ribut juga, hanyutkan saja bantuan itu ke Lubuk Kalang!!.” Tanpa permisi Tacik bangkit dari duduknya, kemudian pulang ke rumah amaknya di Punago.
Mak Solo mengangguk-angguk, menginap menungkan semua penjelasan Tacik. Dalam hati beliau memuji kecerdasan Tacik, “Tacik memang cadiak.” Batinnya.
Sore sudah menjelang magrib. Matahari telah tampak terbenam di rimba Padang Solok. Tidak lama kemudian terdengar suara Adzan Magrib yang dikumandangkan Mak On dari Toa Mesjid Nagari di Lubuk Kalang.


Karya Rozi Firdaus

Share:

Dibuang

Pagi itu matahari bersinar menerangi jagad, langit biru, awan tak tampak. Di tepi labuah, di Rumah Gadang klan Jambak, tampak para kemenakan Datuk Tuah sibuk bekerja, sebagian ada yang menyapu membersihkan halaman rumah gadang, beberapa memasak nasi, mengaduk rendang, membuat penganan lemang dan pinyaram, sisanya memasang umbul-umbul serta marawa. 
Di halaman rumah gadang itu, di tepi kolam besar dekat batang kapas, penghulu mereka berdiri mematung menghadap ke arah para kemenakannya yang sedang sibuk bekerja. Sesekali memberikan arahan agar tertib dan lancaranya semua pekerjaan itu.
Kesibukan dirumah gadang tersebut, membuat heran semua orang yang lewat di labuh depan Rumah Gadang itu. Karena belum ada sirih jo pinang yang di sebar, tetapi orang Jambak sudah seperti menyiapkan alek gadang.
Karena penasaran, salah seorang yang lewat di depan rumah itu, bergelar Sutan Ameh, menghampiri Datuk Tuah, lalu bertanya, "siapa kemenakan Mak Datuk yang akan menikah?,"
Dengan posisi memunggungi orang bertanya, beliau menjawab, "tidak ada kemenakan saya yang akan menikah. Kami tidak akan mengadakan baralek," kata Datuk Tuah, lalu memutar badan menghadap Sutan Ameh.
"Lalu kesibukan para kemenakan Mak Datuk ini untuk apa?," tanyanya lagi, sambil menunjuk ke arah para kemenakan Datuk Tuah yang sedang bekerja.
Datuk Tuah menoleh ke arah yang ditunjuk Sutan Ameh, lalu dengan tersenyum katanya, "O..itu…. Besok kami akan mengadakan musyawarah untuk menjernihkan yang keruh, menyelesaikan yang kusut yang terjadi dalam klan kami."
"Masalah apa itu Mak Datuk?," tanya Sutan Ameh lagi penasaran.
"Ini masalah internal kaum kami. Tidak akan disiarkan kepada orang luar, Harap Sutan Ameh bisa memahaminya," jawab Datuk Batuah lagi. 
Sutan Ameh mengangguk, "Oo…. Kalau begitu ambo permisi dulu Mak Datuk," katanya, masih penasaran. Lalu berkirap lindap dari hadapan Datuk Tuah.
……………………………………………
Besok harinya, Rumah Gadang itu ramai, tampak diseputar tepi tabek, mobil dan motor berjejer parkir memenuhinya. Para kemenakan Datuk Tuah yang masih kecil, tampak bermain sambil berlari-larian di halaman rumah itu. Sementara yang dewasa dan yang sudah gadang memenuhi ruang Utama Rumah Gadang.
Mamak-mamak duduk rapat di kepala Rumah Gadang yang di hilir, perempuan-perempuan duduk di dekat jalan ke dapur, mendengarkan buah mufakat dari jauh. Orang Sumando dari pagi sudah sengaja tidak pulang, sebab ini permusyawaratan Klan Jambak yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Orang Sumando hanya dianggap sebagai tamu dalam Rumah Gadang, dalam adat digambarkan ‘’mangabek indak arek, mamancuang indak putuih, langau di ikua kabau, abu diateh tunggua, lacah nan lakek di kaki.” 
Setelah hadir seluruhnya, mulailah Datuak Tuah membuka kata, ‘’demikianlah maka seluruh kemenakan Datuk Tuah yang ada dalam nagari saya hadirkan dalam Rumah Gadang ini, yaitu bulek aia dek pambuluah, elok kata dengan mufakat, buruk kata di luar mufakat, ‘cirik mato indak bisa dibuang jo ampu kaki,’ yaitu kemenakan kita nan bernama Eki, Aditya, Talib, dan Edo, sudah banyak membuat ulah dalam nagari. Banyak ulah itu termasuk ke dalam perbuatan ‘’ganjia’’ menurut adat, maka kemenakan seperi itu harus dibuang. Ini membikin malu saya sebagai orang nan dituokan dalam klan Jambak kita ini. Juga malu bagi klan kita.’’
Menurut warih nan bajawek yang dijalankan dan dituahi para penghulu pucuk dalam kerapatan nagari, bahwa para anak kemenakan yang ‘ganjia’, harus diusir dari nagari. Kriteria ‘ganjia’ menurut adat indikatornya subjektif, tergantung penafsiran penghulu saja. Bisa karena banyak ulah, bisa sebab andia, bisa juga alah gadang alun babini, dll. 
Pelaksanaan buang dilakukan dengan cara halus, yaitu dengan mencarikan jodoh ke daerah-daerah yang terpencil dan tersuruk.
Datuk Tuah menghentikan bicaranya. Setelah menyapukan pandangan sekeliling rumah gadang, beliau melanjutkan. ‘’menurut adat nan biasa, tentu kita kaji lebih dahulu kemana kita akan membuang kemenakan kita ini, tentunya menurut ereang jo gendeang, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adaik jo limbago, yang tidak lapuk di hujan, nan tidak lekang di panas, jalan raya titian batu, nan sabaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa.’’ 
Maka mulailah menjawab satu persatu di antara yang hadir, memperkatakan tempat-tempat yang memungkinkan untuk mengungsikan anak kemenakan yang ‘ganjia’ itu. 
Seorang diantara yang hadir, Sutan Mudo gelarnya, mengusulkan tempat buangan yang paling bagus, katanya, “saya telah menyelidiki beberapa nagari, dan menurut saya tempat yang paling cocok ada dua, yaitu nagari yang terletak di kaki gunung danau sebelah utara, tempat berhulunya Lubuk Dalam, yang bernama Tandikat, dan yang kedua yaitu nagari yang menjadi muaranya Lubuk Dalam dekat ombak nan badabua, yang biasa disebut Masang”.
‘’kemenakan Datuk Muncak yang bernama Celong juga dibuang ke Tandikat,’’ kata seorang lagi yang bergelar Sutan Pamenan, “dari kemenakan klan Jambak Ateh kita ada juga kemenakannya yang di buang ke Masang.’’ 
“Edwar kemenakan orang Tanjung di Lubuk Kalang, juga dibuang ke Tandikat,’’ seru yang lainnya yang bergelar Sutan Kayo.
Datuk Tuah manggut-manggut mendengarkan semua usulan itu, karena sudah ada gambaran jelas lokasi yang bagus. Kemudian tersenyum. 
Lalu di tela’ah lah kondisi kedua tempat itu. Di uji keadaannya, letaknya, adat dan limbago-nya, dan kelayakannya sebagai tempat pembuangan keempat kemenakan itu.
Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mufakat untuk membuang kemenakan yang ‘ganjia’ itu kedua tempat tersebut. Karena menurut pepatah ‘ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu.’ Keempatnya sangat cocok diungsikan ke dua daerah itu.
Ketika musyawarah itu diadakan, Eki, Aditya, Talib, dan Edo disuruh pergi dahulu ke rumah di sebelah, karena hal ini mengenai mereka. 
Setelah menerima masukan dari semua yang hadir, kemudian Datuk Tuah berkata ke seluruh hadirin, ‘’musyawarah kita telah sampai kepada yang dimaksud. Sekarang kita bulatkan segolong, kita layangkan picak setapik, kita bulatkan mufakat, bahwa kita akan membuang para kemekanan itu ke dua nagari seperti yang diusulkan Sutan Mudo tadi.’’
Semua mengangguk pertanda setuju. Lalu untuk lebih meyakinkan lagi, Datuk Tuah berkata lagi, ‘’apakah semua yang ada di Rumah Gadang ini sepakat?’’
‘’SEPAKAT!,’’ jawab seluruh hadirin hampir bersamaan.
Datuk Tuah tersenyum, katanya kemudian, “berarti kini bulat sudah bisa digolongkan, dan picak sudah bisa kita layangkan. Semoga kemenakan kita ini menerima keputusan ini dengan ikhlas.”
Permufakatan putus. Tinggal lagi memanggil empat kemenakan itu, menerangkan kebulatannya mufakat kepada mereka. Mereka pun datang setelah dipanggil, lalu di suruh duduk di tengah-tengah rumah gadang itu. Di hadapan seluruh hadirin.
Karena ini keputusan yang cukup berat, mula-mula bertolak-tolakkan juga para ninik mamak itu hendak menyampaikan pembicaraan kepada mereka. Akhirnya diserahkan juga kepada Datuk mereka, Datuk Tuah.
Beliau memulai, ‘’Eki, Aditya, Talib, Edo! …. Inilah, yang duduk ini mamak dan ninik kalian, lindungan persukuan kalian, nan mangabek arek mamancuang putuih. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah habis pinang sirih, mencari yang akan elok untuk kalian. Setelah kami timbang melarat dan manfaat, kalian akan kami buang ke Tandikat dan ke Masang. Kami panggil kalian sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya kalian menerima dengan suka. Bagaimana pertimbangan kalian?’’
Keempatnya terdiam. Lama mereka tidak menjawab, lalu Datuk Tuah berkata lagi, ‘’Aditya!.. kamu akan kami buang ke Masang. Sisanya ke Tandikat!.’’
Mendengar keputusan itu, Aditya dan Talib menyunggingkan senyum, karena sangat senang dengan hasil mufakat para ninik mamaknya. Sebagian yang hadir tersenyum melihat reaksi mereka berdua, sebab mengetahui bahwa keduanya itu seleranya memang gadis dari dua daerah tersebut. 
Sementara Eki dan Edo menampilkan roman menolak. Putusan itu seperti petus tongga menyambar kepala mereka. Karena sudah lama mereka tinggal di kota, tiba-tiba akan hidup sampai tua di daerah terpencil, tentu ini perlu adaptasi yang lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan daerah itu. 
Datuk Tuah berkata lagi, ‘’Aditya!, Talib!, apakah kalian menerima?.’’ 
‘’kami terima!,’’ jawab mereka serentak, tergesa-gesa, takut keputusan itu dibatalkan. Lalu mereka saling pandang dengan senyum sumringah. 
Kemudian Datuk Tuah bertanya kepada Eki dan Edo, ‘’bagaimana dengan kalian?,’’
Yang ditanya hanya diam, mereka menekur memandangi lantai rumah gadang itu. 
‘’jawablah, kami hendak lekas pergi. Lohor sudah akan masuk!’’ kata Datuk Tuah pula.
Rumah Gadang hening. Eki dan Edo secara perlahan melihat ke sekeliling, tampak semua tatapan dunsanak yang ada dalam rumah gadang menginginkan mereka menyetujui maksud Datuk mereka. 
‘’jawablah!,’’ kata Datuk Tuah lagi, ‘’supaya mudah kami membuhulkan musyawarah ini.’’
Mereka masih diam. Melihat desakan sang Datuk dan dukungan para dunsanak sepesukuan, insaflah mereka berdua akan kelemahan diri mereka dan kekuatan keadaan sekelilingnya. Kehidupan mereka juga ditentukan oleh keputusan klan persukuan. 
‘’Eki!, Edo!... jawablah,’’ kata Datuk Tuah tidak sabar.
Akhirnya Eki Buka suara, ‘’kalau saya bagaimana … yang baik kata ninik-mamak saja … saya akan menurut!.’’
Datuk Batuah tersenyum puas. Lalu katanya kepada Edo, “Eki sudah sepakat. Bagaimana dengan waang!?.’’
Edo masih menunduk memandangi lantai rumah gadang itu. Dengan terpaksa akhirnya dia juga menerima. ‘’saya juga apa yang baik menurut dunsanak saja, saya turuti,’’ tuturnya masih menekur ke lantai.
‘’Alhamdulillah,’’ ujar yang hadir. Musyawarah itu ditutup dengan makan bersama dan pembacaan do’a oleh Nyiak Ajuik.
Dua hari setelah musyawarah, diutuslah dua orang Mamak Klan Jambak pergi menuju dua daerah pembuangan. Sepulangnya dari situ, diadakan lagi musyawarah yang hanya diikuti para Mamak-Mamak saja. 
Musyawarah itu memutuskan Eki di buang ke Tandikat paling ujung, Talib agak kebawahnya, sementara Edo lebih ke hilirnya. Sedangkan Aditya dihanyutkan ke Masang di Ombak Nan Badabua.

Karya Rozi Firdaus

Share:

Buluih

Matahari telah tergelincir ke timur. Para pekerja di Padang Laweh memasuki jam istirahat. Saat istirahat itu, banyak yang menghabiskannya di Kadai Mak Usuik. Disitu sambil beristirahat, mereka membahas banyak hal. 
Erap dan Limin, dalam perjalanan dari kantornya di Rimbo Gantian menuju Kadai Mak Usuik, mereka berbincang-bincang.
Erap ingin membahas tentang kekecewaan Ormas Bengkok Kasek yang tidak kebagian jabatan oleh Mayua, setelah di dukung mati-matian dalam pemilihan walinagari.
“manuruik ang Min, baa kok Ormas Bengkok Kasek indak diagiah jabatan dek Mayua?,” Tanya Erap membuka pembicaraan.
Limin yang awam masalah politik, sedikit bengong. Demi menghargai Erap dia hanya menjawab seadanya saja, “mungkin Ormas Bengkok Kasek indak berkontribusi dalam mamanangan Mayua mungkin,” responnya datar.
“indak berkontribusi baa ko?,” sanggah Erap, “Bengkok Kasek ko ormas nan paliang bakontribusi untuak kemenangan Mayua.”
“den dak paham bana do Rap. Ang tanyo tentang artis selingkuh atau bacarai tau bana den tu. Kalau masalah politik nagari den dak tau do,” balas Limin sedikit menghiba hati.
Erap terdiam. Tak berapa lama, mereka sudah di depan Kadai Mak Usuik. Bangunan kadai itu memanjang kebelakang, di bagian depan dan samping kanannya terdapat meja dan kursi, tempat para pelanggannya duduk. Lokasinya strategis terletak di pinggir jalan lintas. 
Di serambi depan kadai, tampak empat orang sedang duduk berhadapan mengitari meja. Yang duduk dekat pintu lapau adalah pemilik kadai, Mak Usuik. Beliau sudah berumur, itu terlihat dari seluruh rambut, kumis, dan jenggot yang sudah memutih. 
Duduk disamping Mak Usuik itu seorang laki-laki berumur juga, beramut keriting yang sebagian besar sudah memutih, namanya Mak Saidan. Dan dua orang lagi, yang satu adalah seorang laki-laki tinggi besar, berambut kasar yang sudah mulai memutih, bernama Kudik. Sedang seorang lainnya adalah Mak Piri.
Sepertinya mereka sudah terlibat lama dalam perbincangan yang cukup serius. Saat Limin dan Erap tiba, kemudian duduk di kadai itu, tampak Kudik sedang berbicara dengan nada keras.
“den doa an Mayua kualat!, lah jariah ormas Bengkok Kasek kami mandukuangnyo, kini lah manangnyo, kami dilupo an. Dak dapek apam kemenangan do!. Nan paliang manyakik an, Si Ambiang nan lawan Mayua di pamilu patang, diagiah kekuasaan,” Kata Kudik dengan gemasnya. Kalimat itu diucapkan sambil mengeprak meja.
Kudik merupakan Pengurus Besar Ormas Bengkok Kasek. Dalam pemilihan walinagari dia mendukung Mayua. Untuk memenangkan Mayua, dia sering memprovokasi lawan dengan kata-kata kasar dan menyakitkan. Perangainya sangat keras tidak sabaran. 
Karena geprakan Kudik meja bergetar. Dengan sigap Mak Usuik, Mak Jaliman, dan Mak Piri cepat menahan gelas kopi-nya, agar tidak tumpah.
Setelah meletakkan kembali gelas kopi-nya, lantas Mak Usuik berkata dengan sedikit tidak senang, “jan kareh bana Dik. Runtuah kadai den beko!.”
Ditegur begitu, Kudik Cuma nyengir, “hehe.. sori Mak,” ucapnya singkat. Meski kasar dan berangasan, Kudik masih memiliki tata krama. Dia sangat menghormati orang tua.
“mungkin karano iko ormas ang dak dapek jatah Dik,” kata Mak Jaliman mencoba menganalisa, “di maso kampanye dulu, ormas ang selalu teriak-teriak nagari harga mati. Dan manuduah kelompok lain nan indak mandukuang Mayua anti nagari. Mungkin manuruik Mayua dukungan kalian tu ikhlas demi nagari, bukan demi inyo. Makonyo Bengkok Kasek dak diagiah jatah. Karano dianggap ikhlas.”
Kudik terdiam, memikirkan analisa itu, kemudian menanggapi, “indak mungkin Mayua sa andia tu…”
“Mayua memang andia,” potong Mak Saidan sinis. Beliau dulu pendukung Mayua, akhir-akhir ini karena merasa terkecoh di yang terang oleh Mayua, tidak mendukung lagi. Justru berubah menjadi benci.
Tanpa menghiraukan Mak Saidan, Kudik melanjutkan, “Mayua pasti tau, dak ado makan siang nan gratis. apo nan kami lakukan itu indak gratis. Kami nio dukungan kami diupah jo jabatan.” 
“mujua den ormas ang buluih,” timbrung Mak Piri yang sejak tadi diam. “Gara-gara Bengkok Kasek, warga nagari tabalah tajam. Ormas kalian memusuhi dan suko membubarkan pengajian para Buya.”
“batua,” sahut Mak Saidan. “sado pandukuang oposisi kalian fitnah radikal. Fitnah tu kalian jadikan pembenaran untuak menindas para Buya nan ceramah.”
Erap yang sejak tadi diam, hanya mendengar saja bersama Limin, ikut nimbrung, “para pendukung oposisi, dek Ormas Mak Kudik, dituduah penentang negara. Padahal kami menentang ketidak adilan Mayua sebagai pemerintah. Ingek Mak Kudik, jan samo an negara jo pemerintah. Pemerintah tu salah satu unsur dari nagari bersama warga jo wilayah. Jadi, kalau warga kritik pemerintah, itu bukan menentang nagari!.”
Mak Usuik, Kudik, Mak Jaliman, dan Mak Piri, serentak menoleh ke sumber suara. Kaget, karena tidak menyadari kehadiran orang lain.
“Erap!,” seru mereka serentak.
Kudik marah, tidak senang dengan ucapan Erap. “ERAP GALADIA!! Jan sato lo. Ang masih kaciak. Dak tau gai di ang ko do!!.” Semprot Kudik gusar sambil menunjuk muka Erap. “kalau ngicek jo, awas ang! Den dabiah!,” ancamnya.
Diancam begitu, nyali Erap ciut. Setelah itu tidak berani lagi ikut campur.
“bia kaciak, tapi batua nan dikato an Erap tu Dik,” tutur Mak Usuik mencoba membela. 
“iyo,” Mak Jaliman menimpali. “nan jaleh ormas Bengkok Kasek telah menyebabkan perpecahan dalam nagari. 
Mak Piri tidak tinggal diam, “pelajaran bagi ormas ang tu Kudik. Nan ka datang jan hanyo karano mangaja kekuasaan, kalian rela mamacah warga nagari wak ko!.”
“caliak lah kader ormas Bengkok Kasek nan jadi pejabat, banyak nan korupsi. Kapatang kaur olahraga, ditangkok karano mancilok pitih nagari. Sudah tu, ketua partai Suduang Putiah nan juga anggota Ormas Bengkok Kasek ditangkok lo dek mancilok,” Mak Usuik menimpali. Bahwa ketika berkuasa, banyak akder oramas Kudik nan korupsi. Teriak-teriak nagari harga mati cuma ota gadang demi simpati warga saja. Setelah terpilih dan berkuasa dari nagari harga mati berubah menjadi pitih harga mati. 
Kudik terdiam. Bobrok ormas-nya dikuliti. Meski demikian, dia tidak ambil pusing. Katanya, “pokoknyo kami nio jabatan. Kami ikuik berjuang basamo Mayua. Kami ingin upah dari perjuangan tu.” 
Setelah mengucapkan itu dia pergi begitu saja. Semua orang di lapau hanya geleng-geleng kepala melihat sepak terjang Kudik dan ormas-nya.

Karya Rozi Firdaus

Share:

Garundang Kalilawa Oposisi

Siang itu tengah hari tegak, panas Garang berdengkang, orang sedang ramai di lapau Mak Akun. Sedang asyik maota sampai bersitegang urat leher tentang bergabungnya Si Ambiang ke kabinet Mayua. 
Karena Si Ambiang merupakan seteru Mayua pada pemilihan walinagari sebelumnya, kedua pendukung mereka, garundang dan kalilawa kecewa terhadap keduanya.
Tiba-tiba terdengar suara dekat pintu lapau. 
“yo kecewa den ka Mayua. Den mamiliahnyo karano dak nio Si Ambiang berkuasa di nagari wak ko. Eh.. Mayua malah maagiahnyo kekuasaan!.”
Semua yang di Lapau langsung menoleh kepada sumber suara. Siapakah yang berani mengkritik Mayua di kerumunan garundang. 
“Si Akuik!!”
Hampir serentak yang dilapau menyebut nama orang yang berdiri di pintu lapau itu. Badannya kurus tinggi, rambut tebal lurus belah tengah. Si Akuik dikenal sebagai pendukung Mayua garis keras. Bentuk dukungannya, dia mendirikan fans klub Mayua yang bernama Mayua Mania.
“aden dak suko samo Si Ambiang. Nyo penculik. Mayua tau bana tu. Tapi baa kok diangkek jadi pembantunyo? Itu malukoi hati kami para garundang.” Lanjut Si Akuik kesal, tidak puas dengan langkah Mayua. Setelah itu dia duduk di pojok kiri lapau, mengeluarkan rokok dan memesan kopi.
“samo wak tu Kuik,” sahut Bujang Kantuik yang juga seorang garundang, “diangkeknyo Si Ambiang jadi KAUR Pertahanan bisa ma ambek program-program Mayua.”
“bana,” balas Bujang Talua menguatkan Bujang Kantuik, “den curiga, Si Ambiang bagabuang hanyo untuak ma ancua an Mayua dari dalam.”
Bujang Tawa yang duduk di sudut ujung lapau, mendengar itu dia bangkit, sembari berjalan menuju tempat Si Akuik, dia berkata, “den kecewa lo. Awak badarah-darah mandukuangnyo, lah sebar hoax kama-kama, eh.. kini Mayua merangkul Si Ambiang. Pado hal Si Ambiang tu lawan.”
Hening. Semua menghisap rokok, dan menikmati kopi-nya masing-masing.
Kembali terdengar suara di pintu lapau.
“yo galadia Si Ambiang tu!.”
Karena kalimat itu, bersamaan Trio bujang dan Si Akuik melongok ke sumber suara.
“Buyuang Apam!,” seru mereka serentak. Buyuang Apam dikenal sebagai pendukung garis keras Si Ambiang di dua pemilihan walinagari.
“baa kok ang pacaruik an Si Ambiang Yuang,” Tanya Si Akuik penasaran, “waang kan pandukuang setia Si Ambiang?.”
“den dak satuju Si Ambiang bagabuang jo kabinet Mayua do,“ balas Buyuang Apam sembari berjalan menuju trio bujang dan Si Akuik. Setelah duduk, kemudian melanjutkan, “Si Ambiang di pamilu patang balawanan. Pandukuangnyo badarah-darah, banyak nan ditangkok Hansip, bahkan ado nan mati demi mamanangkan-nyo. Kini dengan enteang se nyo manjadi anak buah Mayua. Dak tau diuntuang jo dak tau di malu Si Ambiang tu!,” tutup Buyuang Apam penuh kekecewaan.
“saba Yuang,” kata trio bujang dan Si Akuik hampir bersamaan dengan penuh simpati. Seolah merasakan kekecewaannya.
Sambil merangkul bahu Buyuang Apam, dengan penuh empati, Bujang Kantuik berusaha menyabarkan, ucapnya “Wa ang kecewa dek Si Ambiang, kami kecewa lo dek Mayua. Kini kami sadar, awak ko cuma dimanfaatkan dek urang-urang nan gilo kuaso untuak manang pamilu.” 
“batua,” sahut Bujang Talua sambil juga merangkul Buyuang Apam, “setelah pamilu, urang-urang tu bapesta, lupo jo awak, lupo jo janji. Bagi urang tu kini, awak ko hanyo ibaraik sarok kuaci. Dak baguno.”
Si Akuik tersentak mendengar kekecewaan orang-orang itu, hatinya tersentuh, nalarnya mulai lurus, tetapi malu mengakui. Dia diam saja tak bergeming. Pikirannya menerawang.
“hehehe….,” terdengar lagi suara di pintu lapau. 
Serentak mereka menengok ke sumber suara. 
“Mak Piri,” kata mereka bersamaan.
Masih berdiri disitu, dengan penuh bijaksana, beliau melanjutkan, “jan baharok pado manusia, karano mereka akan mengecewakan kalian. Tapi baharok hanyo kapado Allah, karano Allah memberikan yang terbaik untuak kalian.”
Semua manggut-manggut mendengar wejangan Mak Piri. 
Sambil berjalan menghampiri, beliau melanjutkan, “dalam politik dak ado teman abadi, dak lo ado musuh abadi. Nan abadi tu kepentingan. Kapatang para politisi bamusuahan, katiko memiliki kepentingan nan samo, bisa tibo-tibo bisa bakawan baliak.”
Semua mengangguk. Tersadar dengan nasehatnya, Mak Piri senang. Lantas dengan tersenyum beliau berkata lagi, “orientasi bapolitik tu kekuasaan. Para politisi akan melakukan apopun demi kekuasaan. Kalau cuma mangicuah kalian, enteang bana bagi politisi tu. Jadi kalian jan menangisi kompak-nyo Mayua jo Si Ambiang kini ko.” 
“iyo Mak,” sahut mereka serentak. Masing-masing larut dengan bayangan dulu. Ingatan tentang kebodohan mendukung Mayua dan Si Ambiang membayang di fikiran. 
“hehe.. bagus bagus,” kata Mak Piri senang. “dulu gara-gara mandukuang Mayua Jo Si Ambiang kalian putuih persahabatan, bahkan sampai bacakak gai, kini kalian haruih saliang bermaaf-maafan. Nan kadatang dalam mandukuang jan sarupo anak-anak esempe mengidolai artis korea, biaso sajo lah jan balabiahan,” tutup beliau.
“jadih Mak,” balas mereka bersamaan. Kemudian saling bersalaman dan bermaafan.
Mak Piri terharu. Sambil tersenyum beliau berkata, “kini dak ado garundang jo kalilawa lai. hehe” Mak Piri mengakhiri, lalu meninggalkan lapau.


Karya Rozi Firdaus

Share:

Ndak Buliah Nyinyia

Diluar ibu kota nagari, di Jorong Bandaro, tepatnya di sebuah lapau, empat orang pemuda sedang bermain koa. Dari mereka itu, yang satu bernama Si Ed, yang lainnya Si Doek, Nopi, dan Iwan. Keempatnya adalah orang-orang pintar dalam nagari dan kritis terhadap pemerintah.

Sambil bermain koa, mereka membicarakan banyak hal tentang peristiwa-peristiwa dalam nagari, keempatnya berduka dengan banyaknya masalah di nagari, dan mendongkol terhadap walinagari yang tidak becus. 

Tiba-tiba saja Nopi mengeprak meja dengan kerasnya. Sehingga beberapa kertas koa di meja bertebaran jatuh ke lantai. Justru saat itu ada seorang keluar dari ruang dalam kadai, apabila pintu tersingkap, terlihatlah seorang pria setengah baya, tangannya memegang nampan, diatasnya terdapat pesanan kopi dan minuman dingin.

“oeh. Urusan apo nan mambuek ang berang-berang sampai manapuak meja den Nopi?” Tanya pria itu sedikit kurang senang. 

“Kami sadang mambahas urusan nan gilo-gilo dari nagari wak!” sahut Nopi.” Sori Wo, den emosi bana cako. Kalau rusak meja tu den ganti beko.” Lanjutnya sembari memungut kertas koa yang terserak kemudin menyusunnya lagi di meja.

Pria itu pemilik kadai, namanya Anduk. Badannya pendek, wajahnya masih kekanakan meski sudah cukup berumur. Begitulah, setelah meletakkan pesanan pelanggan, dia mengambil kursi dan duduk diantara empat sekawan itu.

“jajok bana den mancaliak Mayua Wo,” Nopi menyahuti pertanyaan Anduk tadi, sembari mencabut kertas koa, kemudian membuang satu kertas yang ditangan. “Si Pian di tusuak warga dek ulah muncuangnyo surang, Mayua tabik rabo dengan gagahnyo mangatoan ‘kita perang terhadap radikalisme’. Eh eh.. giliran puluhan urang dibantai di Lubuak Namuang, bayi di pato kapalonyo, ado nan di panggang iduik-iduk, Mayua anok se nyo. Dak ado nyo mangatoan parang dengan pembantai tu do.”

Si Ed menghela nafas. “baa lai, senggoang tu aka Mayua nyo,” katanya masygul. “sebagai pemimpin tertinggi nagari, respon Mayua terhadap sado musibah harusnyo samo. Katiko banyak warga kaciak nan jadi korban mati, dak ado respon. Tapi katiko surang pejabat kanai tusuak dak mati do, Mayua murka sekali co kandiak luko. Itu kan dak adia. Makonyo banyak warga nan indak respek ka Mayua kini.” Setelah mengucapkan itu dia menggeser kertas buangan Nopi. “coki,” katanya sambil memukul pelan meja.

Melihat Si Ed coki, Iwan yang bermandan dengan Nopi, kesal, “Pi, maota-maota lah, tapi fokus jo ka permainan,” katanya. “Pacah Lapan nan digeser Si Ed cako, lah duo kali ang buang.”
Ditegur Iwan, Nopi hanya cuek sambil memijit-mijit bibir atasnya.

Anduk manggut-manggut setuju. “mungkin Mayua dak tahu baa harus menyikapi suatu peristiwa,” katanya.

Si Doek yang sejak tadi diam, tiba-tiba berkata, “pemimpin tu gambaran warganyo. Dapek pemimpin andia, barati warga pamiliahnyo andia lo.” Kemudian Si Doek mencabut kertas di tengah, dan membuang satu kertas di tangan.

Semua mengangguk-angguk mengaminkan pernyataan Si Doek. “bana Doek,” sahut mereka hampir bersamaan. 

Setelah menggeser kertas buangan Si Doek, Iwan berujar menyambung pernyataan Si Doek sebelumnya, “sajak kasus istri dandim Padang Laweh, kini warga dilarang nyinyia ka pamarentah. Tarutamo pagawai nagari. Jikok nyinyia bisa diturunkan pangkaeknyo, maksimal dipecaek. Urang nyinyia tu sabananyo karano pamarentah andia. Indak becuih. Katiko warga nyinyia, pamarentah reaktif dengan menindaknya”

Si Ed mengangguk mengiyakan, seraya tersenyum berkata, “Hm! Iyo Doek, urang nyinyia tu bukan dibuek-buek. Tapi muncul marespon kekonyolan pamarentah nan indak becuih.”

Ia mengambil gelas, meneguk kopinya, kemudian melanjutkan, “kato Hansip, Pian memang ditusuak, tapi indak ditunjuak an buktinyo ka publik. Tantu publik ragu. Keraguan tu, diwujudkan dengan nyinyia di media sosial. Sabana nyo gampang untuak membungkam urang nan nyinyia tu, caro nyo poto paruik Pian nan ditusuak tu, kemudian posting di media sosial. Kalau masih ado nan nyinyia, baru ditangkok….”

“iyo,” Nopi memotong pembicaraan, “kaba tentang Pian tu simpang siur, ado nan mangecek an nyo dak baa do. Ado lo nan mangatoan usus nyo dipotoang sampai mangaluan darah sagaregen. Aneh nyo, dak ado pernyataan dari dokter nan manangani Pian tu do. Kan aneh. Seolah warga dibiarkan penasaran, tetapi tidak boleh menduga.”

Hening. Semua terdiam. Fokus memikirkan kartu masing-masing. 

Tiba-tiba Nopi berkata lagi, “warga nyinyia tu, tando ado raso memiliki nagari. Kalau warga anok se, barati warga dak peduli jo nagari nyo lai. Jadi harusnyo nyinyia tu dijadikan masukan bagi pamarentah untuk karajo labiah elok. Bukan ditangkok nan nyinyia ko.”

Kemudian dia mencabut satu kertas ditengah, lalu memperlihatkan ke Si Ed yang Coki. “hahaha… sampai den,” ujar Si Ed sambil menepuk meja. “hehehe.. dak malawan kalian do. Duo kasoang anyia se nyo,’ tutupnya senang sambil melirik lawannya. 

“den dak sato lai,” ujar Iwan kesal sembari melemparkan kartunya ke meja, dia kecewa dengan mandannya yang sibuk membahas nagari. Bukan memikirkan perputaran kertas.

Setelah membayar “lanjo” dia pergi dengan perasaan mendongkol.

Karya Rozi Firdaus

Share:

Indak Adia

Sore itu hujan turun seperti dituang-tuang dan sesekali terdengar gemuruh geledek yang sangat nyaring.
Di Kadai Ajo di Jorong Bandaro, tampak tiga pemuda terlibat dalam perbincangan yang sangat serius. Pemuda pertama memakai kemeja putih bercelana jins. Posturnya tinggi kurus berambut cepak belah samping. Namanya Iman. 
Katanya membuka pembicaraan setelah memesan kopi sembari memainkan HP, “iyo aruih bahati-hati wak main media sosial kini ko. Salah katiak masuak panjaro.” Setelah itu dia mengeluarkan rokok dari saku dan membakarnya, di hisap dan dihembuskan kedepan. Asapnya seperti cerobong asap kereta api yang sedang terpuruk.
Pernyataan itu langsung ditanggapi oleh orang kedua. Dia memakai sweater warna toska, perawakannya agak tinggi dan berambut ikal sedikit kaku. Jika berbicara gagap. Namanya Si Son. Tanyanya, “baba baa tu wo? kok mama mantun?.” 
Mendengar kegaguan Si Son, orang yang ketiga nyengir. Dia tak berbaju, hanya memakai celana dasar yang dipotong selutut. Posturnya berdagap lebar, kulit hitam, dan berambut lujur. Sedikit canduah. Namanya Oyoang. Ucapnya menjawab pertanyaan yang diajukan ke Iman, “hehe.. iyo son. Apo lai mambuek statuih nan manyingguang rezim Mayua. Salah saketek dilaporkan ka Hansip dek gerundang pandukuangnyo. Lah banyak nan jadi korban.”
Si Son mengangguk paham, tuturnyanya “ii iyo wo…..” ketika Si Son hendak melanjutkan, tiba-tiba Ajo datang membawakan pesanan kopi yang di pesan Iman. Sambil menghidangkan, Ajo ikut menanggapi pembicaraan mereka. Katanya, “makonyo Son, ang aruih bijak buek statuih.” Setelah itu berlalu, kembali ke tempatnya. Si Son hanya mengangguk.
“bahkan, bini nan baulah, bisa laki nan kanai. Sarupo nan dialami dandim Padang Laweh,” Iman berkata lagi sesudah kopi terhidang di meja. Setelah menyeruput kopi, dia melanjutkan, “gara-gara bini-nyo buek statuih nan manyuduik an Pian KAUR Keamanan nagari nan ditusuak warga, jabatannyo sebagai dandim Padang Laweh dicopot komandannyo.”
“si Kuri mambuek statuih nan mensyukuri kematian anjiang Mayua nan mati di sinduak kandiak tarago baburu di Rimbo Gantiang, di lapor an ka hansip lo dek garundang,” sahut Oyoang sambil menghembuskan asap panama putiah-nya.
“Sijen mamposting poto koncek kesayangan Mayua nan mati dibilakang kantua walinagari, patang ditangkok lo dek Hansip,” Iman menambahkan.
“sese olah nana nagari ko pupu punyo Ma mayua jo pa pandukuangnyo se,” sahut Si Son kesulitan, sambil secara bergantian menatap Iman dan Oyoang. 
“na nampak di den, aturan nagari wak hanyo tajam ka pangkritik Mayua. Tumpul ka pandukuangnyo,” timpal Iman menyesalkan kondisi itu. Matanya menatap kosong ke jalan raya yang basah. Teringat pada teman-temannya yang aktifis, ditangkap Hansip hanya karena hal sepele. Sementara pendukung Mayua bebas membuat hoax seenaknya tanpa diproses.
Suasana hening sejenak. Hanya terdengar bunyi hujan. 
Ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing tentang kondisi nagari yang mulai meningglakan cara-cara demokrasi. Hal ini menurut mereka dapat mengarah pada kehancuran nagari.
Sementara itu, air hujan belum reda, masih tetap turun seperti dituang-tuang.
Di tengah berisiknya hujan, tiba-tiba dengan nada gusar Oyoang berkata, “dak ado lai tampek warga menyalurkan aspirasi. Aspirasi lewat media sosial, panjaro mangancam. Aspirasi dengan demo, mauik bisa manjapuik. Samantaro buzzer Mayua salalu maintai dan bebaeh babuek apo sajo.”
“Jadi, kini wak aruih waspada bermedia sosial,” balas Iman, “jan karano hal sepele masuak panjaro. Ingek kato nan tuo-tuo ko hah, maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun lapuak, ingek-ingek sabalun kanai.”
“salain tu, awak aruih bijak lo bermedia sosial,” sahut Oyoang, “kicek niniak wak, ingek di rantiang ka mancucuak, tahu didahan ka maimpok. Jan karano buek statuih, ditangkok Hansip, masuak panajaro anak bini nan manangguangan.”
“rezim Mayua dak adia,” Iman berkata lagi dengan serius, “salah satu prinsip demokrasi tu adia, adia tu maukua samo panjang, mambilai samo laweh. Dak amuah doh, mantang-mantang pandukuang wak, di padia an malangga aturan, samantaro urang lain nan babuek samo, dihinakan dan hukum sabarek-bareknyo.”
“baba bana,” timpal Si Son. Sebenarnya ingin menambahkan lagi, tetapi kegaguan membuat dia kesulitan. Karenanya, Si Son lebih banyak mendengar dan mengangguk saja jika sepakat dengan dua sohibnya itu.
Oyoang memahami pikiran Si Son, setelah menyeruput kopi, dengan tersenyum seraya melirik Si Son kemudian ke Iman, dia berkata, “iyo tu man. Kicek niniak mamak wak, Tibo dimato indak dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan. Pamarentah dak buliah barek sabalah, pamarentah aruih berpegang taguah pado kebenaran. Jikok Mayua tetap dengan ketidak adilan ko, nagari wak dak ka maju-maju. Pado hal kampanye nyo dulu piliah Mayua, nagari maju.”
Iman dan Si Son mengangguk-angguk setuju. Dengan tersenyum lantas Iman menguatkan pernyataan Oyoang, katanya, “maju tu hanyo bisa terwujud jo persatuan, sarato karajo samo sado anak nagari, baiak oposisi maupun pamarentah. Persatuan jo karajo samo terwujud jikok keadilan tercipta di nagari. Kato niniak mamak wak saisuak, Ka mudiak sa antak galah, ka hilia sarangkuah dayuang. Sasuai lahie jo bathin, sasuai muluik jo hati.”
Semua terdiam, menginap menungkan petuah-petuah yang sudah disampaikan dalam ota. Terang sudah berangsur gelap. Adzan magrib berkumandang. Sementara itu, air hujan masih tetap turun seperti dituang-tuang.

Karya Rozi Fidaus

Share:

Manyasa

Siang itu, setelah pulang dari usahanya “anduah-manganduah”, Mak Saidan bersama baruak-nya singgah di Lapau Celong. Setelah baruak dipautkan pada tiang listrik, beliau masuk ke kadai dan pesan kopi.
“kopi sakarek Loang,” pintanya seraya duduk di kursi. Setelah itu mengambil kampia di saku belakang, mengeluarkan rokok anau dan membakarnya.
“iyo Mak,” jawab Celong. Kemudian ke dapur membuatkan pesanan.
Ketika masuk, beliau tidak memperhatikan keadaan lapau. Ternyata sudah ada pelanggan lainnya. Di pojok kanan lapau tampak Mak Jaliman sedang asyik ngobrol sangat serius dengan Mak Tari. Karena ingin tahu pembicaraan mereka, Mak Saidan duduk mendekat. Tanyanya : “apo ota tu Tari-Jaliman? Sariuih bana” tanyanya agak keras, ingin tahu sembari berjalan kesana sambil menghisap rokok anau-nya.
Mendengar itu, yang ditanya agak kaget karena tidak menyadari kedatangan Mak Saidan. 
Setelah tenang, Mak Jaliman menanggapi, “agiah kalason gai lah ko Mak,” tuturnya kurang senang. Setelah itu, memberi ruang Mak Sidan untuk duduk.
“iko Mak ah, Mayua ka manaiak an iuran PJS kesehatan. Paniang kami,” tutur Mak Tari. “sudah tu, kalau manunggak iuran, wak dak ka dilayani pamarintah. Dak bisa buek sim, minjam ka Bank, buek ktp, ka KUA iyo lo, dak bisa kawin wak lai.” 
“yo andia logika pembuek aturan tu,” sahut Mak Jaliman, “melanggar di PJS kesehatan, seharusnyo dak dilayani di bidang itu se. baa kok nan lain kanai lo?.” Menurut beliau sanksi harus sesuai dengan kesalahan. Pelanggaran di PJS, sanksinya jangan dilayani di PJS saja. Batinnya, “baruak dak pandai, baa kok karambia nan batabang?.”
“bana!,” timpal Mak Tari mendukung pendapat Mak Jaliman, “buek sim, urus KTP, nikah, itu pelayanan publik, kewajiban pemerintah. Dan itu hak konstitusional warga nagari nan dijamin undang nan 20,” tuturnya sambil melinting rokok anau dan membakarnya.
Kata Mak Tari lagi, “sabana nyo masalah PJS tu karano kegagalan pemerintah mengelolanyo. Tapi kegagalan tu ditumpahkan ka awak rakyaek badarai ko.”
Mak Saidan dan Mak Jaliman mengangguk-angguk mengiyakan paparan Mak Tari. Mereka masih ingat, dulu ketika kampanye Mayua berjanji akan membenahi masalah PJS itu. Setelah jadi, ternyata membenahinya dengan memberatkan warga.
Maka Mak Jaliman lantas berkata lagi menanggapinya, “"Jangan karena pemerintah gagal mambangun kelembagaan sosial-ekonomi untuak mandukuang kepastian pembiayaan jaminan kesehatan, kemudian rakyat dihukum dengan mancabuik hak-hak konstitusional nan lainnyo. Pelayanan publik itu kan hak konstitusional warga nagari," 
“pamarintah nan dipimpin Mayua ko lah mirip VOC. Manyusahan warga se!,” sahut Mak Tari geram sambil memukul meja. 
Celong yang lewat hendak mengantarkan kopi pesanan Mak Saidan kaget, katanya dengan memegangi gelas dengan kuat, “mak lah marabo sambia manapuak-napuak meja gai Mak. Rusak meja den biko,” ucapnya sambil meletakkan kopi Mak Saidan, kemudian kembali ke dapur.
“iyo,” balas Mak Jaliman, “bukan nyo maningkek an penghasilan wak dengan .manaiak harago gatah, eh malah manambah baban wak dengan manaiak an iuran PJS tu.”
Mak Saidan mengangguk-angguk sembari membelai jenggot putihnya mengaminkan penjelasan dua karibnya itu, kemudian menguatkan, “dak mampu maningkek an penghasilan warga, minimal jangan manambahi baban nyo. Manambah baban samo dengan mansansarokannyo,” ucapnya.
Mak Jaliman setuju dengan pendapat Mak Saidan. Tujuan negara adalah mensejahterakan rakyatnya. Seperti tercantum dalam Alinea 4 Pembukaan Undang Nan 20 “memajukan kesejahteraan umum”. Bukan menyengsarakan. Komoditi petani seperti karet, sawit, dan beras, tidak mampu mendongkrak harganya, pemerintah malah memporoti rakyat dengan menaikkan iuran PJS, tahun besok juga akan menaikkan listrik. Rakyat makin terjepit.
Maka Mak Jaliman lantas berkata, “kebijakan ekonomi Mayua ko ngawur, lah mambuek rakyat kehilangan banyak penghasilan, harusnyo jan ditambahi lo baban warga dengan kenaikkan berbagai pungutan.” 
“itulah Man,” balas Mak Tari, “manaiak an BBM jo listrik Mayua bisa. Bahkan gampang bana di nyo. Tapi menaikkan pertumbuhan ekonomi malah dak bisa. Kalau ekonomi dak tumbuah, apo logis PJS dinaiak an? Bukannyo mancakiak warga namo nyo tu?”
Mak Jaliman manggut-manggut, katanya, “agar fair, harusnyo Mayua buek ekonomi tumbuah dulu, baru nan lain dinaiak an. Warga maraso barek bukan karano maleh. Tapi dek pitih tu bana nan idak ado.”
“salah awak lo. Manga wak piliah paja andia tu jadi walinagari. Padahal ado nan cadiak,” tutur Mak Saidan menyesal. 
Teringat, dulu beliau pendukung garis keras Mayua. Kesederhanaannya membuat nalar Mak Saidan hilang. Pikirnya, kesederhanaan pemimpin akan membuat rakyat sejahtera dan maju. Bahkan beliau ikut mengkampanyekan Mayua dengan berkeliling nagari, memasang baliho gambarnya yang memakai pakaian harga sepuluh ribuan dimana-mana. 
Periode pertama beliau kecewa dengan kinerja Mayua, periode kedua tetap mendukung. Yakin bahwa di periode ini kinerjanya akan sempurna. Ternyata, belum dilantik saja dia akan menaikkan tarif semua program yang menyentuh rakyat kecil. Mak Saidan menyesal.
Kini beliau menyadari, memimpin tidak cukup hanya tampak sederhana, tetapi juga harus cerdas dan punya hati.
Diinonoh kopinya sampai tandas, tanpa bicara lagi dengan gontai bersama baruak-nya pergi meninggalkan Lapau Celong.

Karya Rozi Firdaus
Share:

Baorgen Dalam Duko Nagari

Suatu sore di Lapau Kudik. Tampak Ramon, Mak Piri, Martin, dan Si Om, asyik “maota lamak” sambil menikmati kopi dan gorengan. Banyak hal yang mereka bicarakan. Mulai dari masalah kabut asap di Jorong Padang Laweh, konflik berdarah di Lubuk Namung, demo penolakan RUU Tariak Baleh, penolakan revisi UU KPP (Komisi Pemberantasan Pancilok), hingga yang terbaru, Mayua akan mengadakan orgen “bapupuah” disaat banyak masalah dalam nagari.
“den yo angkek tangan mancaliak sepak terjang Mayua mamimpin nagari wak ko”, ucap Ramon membuka pembicaraan.
“baa kok angkek tangan ang Mon?”, tanya Mak Piri tengah melinting daun anau-nya.
Sambil membakar Panama Kuning-nya, dia menanggapi, “baa ka indak mak…”, Ramon berhenti karena menghisap rokoknya, dan menghembuskan asap tebal Panama Kuning yang pahit itu, kemudian melanjutkan, “alun abih asok Padang Laweh, masih tatumpah darah urang Lubuk Tareh jo Lubuk Ungun di Lubuk Namuang, alun kariang aia mato amak-amak nan anaknyo mati ditembak Hansip,… dak ado panyalasaian dari Mayua selaku penguasa di nagari ko. Eh… kini nyo ka ma ado an orgen di pasa!. Yo kalera paja tu”, Ramon geram.
Si Om yang tidak terlalu menyimak, ikut nimbrung, “atek Ayua ko. Ati ba apek”, ucapnya. 
Mendengar kata orgen Martin senang. “ada orgen ya Mon. wah… asyik tu. Bisa joget sambil nyawer aku”, ucapnya sambil berdiri menggoyangkan pinggulnya.
“asyik ayah ang!”, Ramon marah. “ingek Tin, indak pantas wak bajogek-jogek di saat warga nagari nan lain berduka cita”, lanjutnya.
Mak Piri juga ikut memarahi Martin. “awak harus punyo raso jo pareso Tin. Urang berduka minimal awak ikuik prihatin”, tuturnya bijaksana. “awas ang!. Kalau ang dukuang juo si Mayua tu, den galitik kajek an ang sampai tacieh!” lanjut Mak Piri mengancam.
Si Om ikut menambahkan, “atek Tin ko. Ati ba apek”
Di marahi oleh ketiga karibnya itu, Martin hanya terdiam, tidak berani bicara lagi.
Melihat roman Martin disemprot temannya, Kudik merasa geli. “huahahahaha… batua kato Mak Piri jo Ramon tu Tin. Awak harus ado punyo empati terhadap derita urang lain”, tuturnya mencoba menasehati.
Martin hanya manggut-manggut saja.
Kudik melanjutkan, “dak itu do. Lah sajam kalian di kadai den, alun juo nan balanjo lah. Maota kariang ma lamak. Pasan kopi gai lah ko”, tuturnya berharap.
Empat sekawan itu Cuma saling pandang tidak menanggapi. 
Martin yang diam setelah dimarahi Ramon dan Mak Piri, tiba-tiba bicara agak keras. “Mayua!, balepe cewek-cewek ini. Kenalin sama aku lah”.
Ternyata diseberang jalan depan Lapau Kudik dia melihat Mayua sedang berjalan dengan 2 artis orgen berpakaian seksi. Mayua hendak kembali ke kantor Walinagari setelah meninjau pembuatan panggung orgen di Pasa.
Melihat orang yang sedang dibicarakan ada di seberang jalan, 4 sekawan ini mendatanginya. Setelah dekat Mak Piri langsung menumpahkan kejengkelannya.
“Mayua galadia! Alun kariang darah urang Lubuak Tareh nan dibantai di Lubuak Namuang, masih mangalia aia mato mandeh mahasiswa nan mati di dor Hansip. Baa kok waang maado an orgen? Dak ado bana raso simpati waang!” ujarnya membentak.
Ramon tak mau kalah. “iyo kalera ang Mayua! Rakyaek nagari sadang baduko, warga terpecah, ekonomi sulik. Bukannyo manyalasaian masalah, waang malah ba orgen!”, semprotnya sedikit memaki.
Menyaksikan temannya emosi, Si Om juga ikut-ikutan marah. “atek Yua ko. Den amuak beko!”, ucapnya sambil mengepalkan tangan hendak menonjok Mayua.
Melihat kenekatan Si Om, cepat Martin menahan tangannya mencoba menenangkan. “sabar Om. Jika tonjok dia, kamu akan ditangkap Hansip dan ditembak mati”, bujuknya sambil menurunkan tangan itu.
Tingkah 4 sekawan itu, cuma dilihat Mayua dengan cengengesan sambil merangkul pinggang artis orgen. 
Kemudian menaggapi, “he.he.he.he. sado masalah tu sadang ditangani anak buah den. He.he.he. kalian tanang sajo lah”, ujarnya enteng.
“dak ado nan salasai masalah nan ang uruih do Mayua”, Mak Piri membantah. “banyak pengungsi Lubuk Tareh di Lubuk Namung tu nan ingin pulang. Tapi mereka dak ado pitih. Baa kok dak waang pulangan?. Malahan warganyo bariyua menyewa garobak tundo untuak mamulangkannyo ka Lubuak Tareh. Utak ang dima?”, lanjutnya jengkel.
“he.he.he. bagus warga Lubuak Tareh tu. Itu bantuak sinergi warga dengan pemerintah untuak kesejahteraan basamo. He.he.he”, balas Mayua.
“Yo dak bautak ang ko! Itu sabana nyo tangguang jawek waang sebagai pemimpin nagari! Warga tu bariyua dek waang anok se!!!”, Ramon juga mulai jengkel. “kini bukannyo manyalasaian masalah, waang malah baorgen di Pasa ko! Dima utak ang!!!”, lanjutnya.
Mayua masih cengengesan berlagak pilon. “he.he.he.. banyak masalah bukan barati awak dak buliah hiburan dan bersenang-senang. Nan berduka, berduka se lah. Nan sedih, nikmati sajo kesedihan tu. Jan lo mantang-mantang awak sedih jo berduka, urang lain dak buliah ba orgen!”, tutur Mayua sambil mengerak-gerakkan tangannya ke depan.
“lagian acara orgen ko temanyo ‘marakek nan cabiak, mangumpua an nan taserak’, tujuan nyo untuak mempersatukan perpecahan warga dan menghibur nan berduka. He.he.he.he”, lanjutnya menjelaskan. 
Mak Piri tidak puas dengan penjelasan Mayua. “dak itu do kawan-kawan” ucapnya ke Ramon, Martin, dan Si Om. “paja ko dak bautak! Dak ka paham-paham gai nyo penjelasan wak ko do”, lanjutnya.
Disingsingkan lengan bajunya, kemudian Mak Piri memberi perintah ke tiga sohibnya. “Martin! Ang uruih artis orgen!. Ramon- Si Om! Ang ringkus Mayua, kalian pacik kaki jo tangan nyo!” 
Secepat kilat Ramon dan Si Om berhasil meringkusnya dengan posisi, Mayua terlentang, kakinya di pegang Si Om dengan kuat, dan kedua tangannya dikunci Ramon.
Selanjutnya Mak Piri mengegelitiki Mayua sampai terkencing-kencing. Sambil melakukan aksinya Mak Piri berujar, “mudah-mudahan setelah den galitik ang sampai tacieh, waang bisa paham!. Dan segera mauruih nagari ko dengan bana!”, ujarnya sangat jengkel.
“ampun Mak Piri. Ampun” Mayua hanya bisa memohon sambil menangis. Kemudian dia pingsan dalam keadaan mengompol.
Setelah puas menuntaskan kejengkelan, dan Mayua tidak berkutik lagi, 4 sekawan itu meninggalkannya begitu saja.


Karya Rozi Firdaus
Share:

Mancilok Ayam Mak Piri

Malam telah larut, langit tampak cerah tak berawan, sehingga cahaya bulan membuat malam layaknya siang. Di teras surau tampak lima orang pemuda sedang bercakap-cakap, sementara di dalamnya terdapat sekitar sepuluhan pemuda tidur dengan pulasnya. 
Sudah menjadi kebiasaan di kampung ini, surau menjadi tempat kegiatan para pemuda di malam hari. Bukan untuk belajar agama atau beribadah, tetapi hanya sebagai tempat berkumpul dan tidur setelah bermain ‘koa’ dan ‘domino’ di Lapau Sidi yang berada di depannya.
Sebelum tidur, biasanya para pemuda bercakap-cakap dulu di teras ataupun di dalam surau. Jika sudah mengantuk mereka langsung tidur. Tetapi ada juga yang ‘maota’ sampai ‘parak siang’, bahkan sampai pagi. 
Kelompok pemuda yang bercakap sampai pagi ini, pada jam 2 atau 3 dini hari, biasanya mereka lapar. Di saat kelaparan inilah sering muncul ide-ide meyimpang untuk menganjal perut. Seperti, mengambil buah jagung di kebun orang, mencabut ubi untuk di bakar, maling ayam warga, menangkap ikan penduduk, bahkan ada yang berani mencuri ikan di ‘tabek’ surau itu.
Perbuatan ini sering dilakukan oleh lima pemuda yang sedang berkumpul di teras seperti telah disinggung pada paragraf pertama diatas. 
Saat itu, setelah ‘maota’ ngolar ngidul kemana-mana, tiba-tiba salah satu dari mereka yang duduk sambil bersandar pada dinding dekat mihrab berkata, ‘’litak paruik den ah’’, ucapnya sembari memegangi perut yang lapar. Dia bernama Talik, posturnya ‘pendek bulek’. Berambut lujur dengan potongan gaya Ian Kasela. Satu gigi depannya patah, dagunya dihiasi jenggot cukup tebal, tanpa kumis di diatas bibirnya.
‘’den iyo lo Lik’’ sahut salah seorang yang duduk dekat tiang jalan masuk ke dalam surau. Dia biasa dipanggil Sidoek, tinggi kurus, bermata sipit seperti orang cina, tetapi kulitnya flores.
‘’bagadang wak lah’’, timpal salah seorang lagi dengan kain sarung melilit di lehernya. Dia duduk dekat tiang di samping mihrab arah ke Lapau Sidi. Namanya Gaboh. Badannya tinggi besar, kulitnya gelap, bermuka petak seperti orang Batak.
Seorang lagi yang duduk diantara Talik dan Gaboh kemudian menanggapi, ‘’dingin-dingin model ko, raso ka lamak miang panggang lauak atau panggang ayam …’’, katanya sambil melirik ke orang kelima yang duduk diantara Sidoek dan Gaboh. Orang yang berkata itu bernama Atuik. Badannya lebar, rambut ikal, bergigi agak jarang di depan.
Yang di lirik tidak menanggapi, diam saja, asyik menikmati rokok Surya-nya. Dia adalah kepala dusun, karena teman sepermainan dia dipanggil dusun saja. Rambutnya keriting berkulit agak gelap seperti orang ambon. 
Dusun tidak merespon ajakan menyimpang tersebut karena jaga imej, mengingat jabatannya sebagai kepala dusun yang dituakan di kampung itu. 
‘’jaguang Pak Iyaeh di parak gambia lah elok dipanggang nampak di den tadi siang’’, tiba-tiba terdengar suara dari dalam surau, kemudian orang yang berbicara itu keluar, langsung duduk diantara Atuik dan Dusun. 
‘’panggang jaguang dak lamak do Lelan’’, sahut Gaboh pada orang yang baru keluar dari dalam surau, yang ternyata bernama Lelan, ‘’nan lamak tu, panggang lawuak, kalau indak panggang ayam’’, lanjutnya sambil melirik semua yang ada di situ.
‘’lawuak Buya Polisi di mudiak lah gadang-gadang nampak. Di sinan wak operasi baa gakti?’’, kata Sidoek sambil asap Panama Kuning bergabun gabun keluar dari mulutnya. Dia mencoba memberi pilihan menu bagadang untuk malam itu.
Talik yang sedang menikmati Panama Putih, terbatuk mendengar usul Sidoek. Dia tidak setuju, dihisap Panama-nya, dihembuskan, kemudian katanya, ‘’jan lai. Jauah bana kasitu. Lagian Buya tu Polisi, kalau ketahuan resiko no panjaro.’’ 
Kembali Panama Putih itu dihisap dalam-dalam, dihembuskan, setelah itu dia melanjutkan, ‘’lawuak tabek surau miang baa?,’’ usul Iju sambil melirik satu persatu kelima wajah temannya.
‘’lawuak surau jan lai. baun cirik.’’ Sidoek tidak setuju.
‘’bia makannyo cirik warga, tapi tetap lamak,’’ balas Iju, ‘’malam minggu patang, aden jo Siamiak lah mancubo lauak surau tu. Dak ado beda raso nyo jo lauak nan lain. Tapi sabalun nyo kami cuci lauak tu jo sabun dulu.’’ 
‘’kalau lauak surau den dak sato do. Gadang bana doso wak biko.’’ Potong Atuik yang juga tidak setuju. 
‘’batua,’’ timpal Lelan sependapat dengan Atuik, ‘’wak cari miang lauak atau ayam dakek siko. Kriteria nyo, saketek doso, resiko masuak panjarao dak ado. Hehe. Salikooon.’’ Lelan mencoba memberi usul lain. 
‘’den sapandapek jo Lelan,’’ sahut Gaboh mantap. Setelah Gaboh setuju dengan ide Lelan, tampak pemuda yang lain mengangguk-angguk, seperti sepakat dengan usul tersebut.
Kemudian, masing-masing memberikan usul tentang target yang akan mereka sasar.
‘’ayam andeh,’’ usul Sidoek.
‘’lauak Pak Njuih,’’ kata Gaboh.
‘’ayam Iman,’’ Iju mengusulkan.
‘’lauak Mak Wardo,’’ tutur Lelan.
Dusun yang sejak tadi diam saja, setelah melihat semua bersemangat dan masing-masing memberikan usul, dia tertarik untuk berpartisipasi. ‘’dibandiang nan lain, nan paliang aman, saketek doso jo minim resiko, iyo ayam Mak Piri nyo,’’ kata Dusun , ‘’lokasi nyo dakek, nampak dari surau ko. Mak Piri dak ka tau gai kalau ayam nyo ilang. Ayam nyo banyak,’’ tutupnya meyakinkan.
Mendengar usul Dusun yang cemerlang, semua setuju. Kemudian diadakan lah pembagian tugas masing-masing. Talik dan Lelan menciduk ayam, Atuik bersama Gaboh mencari kayu dan menghidupkan api, Sidoek menyiapkan bumbu, sedangkan Dusun menunggu di teras surau. Terima bersih. 
Malam itu bergadang ayam-lah mereka. Dua ayam Mak Piri disikat, dan tandas mereka sungkah.
Besok paginya, sekitar jam 7, Dusun dikagetkan oleh kedatangan Mak Piri kerumahnya sambil marah-marah. ‘’Sun, ayam den ilang duo ikua,’’ kata Mak Piri membuka laporannya. 
Mendengar itu, Dusun tercekat, kaget dengan laporan tersebut. ‘’gawat ko. Mak Piri lah tau. Kalau sampai ketahuan aden terlibat, namo baik den sebagai kepala Dusun bisa tercemar,’’ pikir dusun di dalam hati. 
‘’ado nan mangecek an, pelaku nyo Talik jo Lelan. Toloang Dusun uruih tu, suruah Talik jo Lelan mangganti ayam den. Kalau indak, den laporkan kasus ko ka Mak Surun. Bia masuak panajaro paja-paja galadia tu,’’ ancam Mak Piri.
Kembali Dusun kaget, tidak menyangka Mak Piri sudah mengetahui sebagian pelakunya. ‘’mati den. Kalau sampai Talik jo Lelan membocorkan aden terlibat, bisa dicopot den sebagai kapalo Dusun,’’ kembali Dusun membatin.
‘’dak itu doh. Kini pulanglah Mak Piri dulu. Bia den salasaian masalah ko. Den pastikan Talik jo Lelan mangganti ayam tu,’’ kata Dusun berjanji ke Mak Piri. 
Kemudian Dusun mengumpulkan para pelaku yang terlibat, juga menceritakan ancaman Mak Piri jika tidak mengganti ayamnya.
Semua takut, dan setuju untuk mengganti kerugian Mak Piri. Akhirnya iuran-lah mereka, dan menyerahkan uang itu ke Mak Piri. 
Selain itu, Dusun juga mengancam Talik dan Lelan untuk tutup mulut, tidak menyebut-nyebut namanya dalam kasus tersebut.

*Karya Rozi Firdaus
Share:

Ota Ambuih-Ambuih di Lapau

Suatu sore setelah main koa di lapau Mak Ukan.
“jajok den mancaliak penegakkan aturan di rezim Mayua ko Doek”, ucap Iman kepada SiDoek dengan memelas.
“baa tu Man?” Tanya SiDoek sambil melihat dengan ekor matanya yang cina itu.
“indak adia. Penegakkannyo ganaeh ka pengkritik, gacua ka pandukuang Mayua,” balas Iman.
“iyo man,” respon Iju dengan mulut penuh Borobudur. Jika makan Iju seperti baruak “mangonyoh,” kedua pipinya bengkak mengunyah makanan.
Setelah menelan habis semua makanan di mulut, Iju melanjutkan, “patang Gaboh nyebar hoax, langsuang ditangkok dek Hansip. Iwan nan pandukuang Mayua tu nyebar hoax, bukannyo ditangkok, Hansip galadia tu malah mambela nyo,” ucapnya jengkel. 
“harus nyo, pelanggaran nan samo dilakukan oleh urang nan berbeda, mako perlakuannyo harus samo lo,” Nazir menambahkan. “kalau di Hansip wak kan dak model tu do. Pelanggaran nan samo dilakukan oleh urang nan berbeda, penegakkannyo caliak dulu pelakunya dukuang siapo. Kalau oposisi tangkok. Jikok pandukuang Mayua, nyo icak-icak dak tau. Lah tau-pun, indak mau tau,” lanjut Nazir sedikit gusar.
“baa lai. Mayua nan punyo kuaso. Yo kalamak dek nyo se,” balas Iman putus asa. Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan dia berbangkit hendak pulang. 
Melihat Iman berdiri dari duduknya, SiDoek mencoba menahan, “jan pai dulu Man” kata SiDoek, “banyak nan ka wak bahas lai”.
“apo juo lai?” balas Iman. Dengan malas kembali duduk di kursinya.
“di rancangan peraturan nagari nan ka disahkan Mayua, ado pasal tentang penghinaan walinagari”, kata SiDoek membuka topik baru. 
“apo mukasuik pasal tu Doek”, Tanya Nazir penasaran. 
Mendengar pertanyaan itu, SiDoek tersenyum lebar. Sambil mencomot Panama Putiah di meja dan membakarnya, dia menjelaskan: “manuruik pasal tu, tiok ado kato sacaro lisan dan tulisan nan dianggap mahino walinagari, panjaro 5 tahun, maksimal hukuman mati”.
Setelah menjelaskan itu, SiDoek menghisap Panama Putiah dan menghembuskan asapnya ke udara. “ukuran mahino manuruik pasal tu dak jaleh. Kriteria nyo tagantuang subjektifitas Hansip sebagai penyidik”, lanjutnya. Kembali Panama Putiah itu dihisap sampai tandas. Setelah asapnya dikepulkan, dia menjelaskan lagi:
“berdasar aturan tu, sulik mambedakan kritik jo mahino. Kritik kalian, jikok pemerintah dak suko bisa dianggap mahino. Jadi hati-hati kalian terhadap Mayua”, pungkas SiDoek.
Saat SiDoek menjelaskan, tanpa disadari semua orang, ternyata Nopi sudah duduk tepat didepan SiDoek fokus menyimak. Seperti takjub dengan kecerdasan SiDoek.
“jaleh bana diang yo Doek. Cadiak bana!” puji Nopi sambil mengacungkan jempolnya. Jika SiDoek tidak reflek menggeser kepala ke samping, jempol itu mungkin masuk ke lubang hidungnya.
“manga lah ko hah”, ucap SiDoek tidak senang sembari mengenyahkan tangan Nopi yang usil itu dari mukanya.
“lupo ang pi?. Katiko esempe dulu NEM SiDoek tertinggi nomor duo sanagari. Di SMA nyo masuak lokal unggul”, tutur Nazir memuji, “jadi dak heran wak nyo sacadiak tu doh.”
Mendengar dirinya dipuji, mata SiDoek berbinar terang. Dia merasa sangat senang dan membuat ingat akan kenangan masa lalu yang indah. Ketika itu dia menjadi buah bibir senagari karena nilainya yang mencengangkan semua orang. Dengan nilai itu otomatis dia masuk lokal unggul saat SMA. 
Lamunan SiDoek dibuyarkan oleh suara Iju.
“yo payah iduik wak sudah ko lai,” tuturnya dengan Panama Putiah terselip di gigi atasnya yang patah. “jikok wak mangkritik biko dituduah Mayua wak mahino nyo. Den fokus mancibuak se lah,” Lanjutnya dengan ekpresi sedikit mesum.
“kamari bedo wak sudah ko lai,” balas Iman. “Mayua nyo banyak mambuek kebijakan nan mambuek warga sakik hati, tapi awak dak buliah mengekspresikan sakik tu lewat kritikan jo sindiran.” 
“bukan hanyo kebijakannyo se nan menimbulkan sakik hati warga. Parangai nyo mambuek warga banci lo,” kata Menan tiba-tiba muncul. Setelah mengucapkan itu, kopi SiDoek dinonohnya sampai tandas. Panama Putiah Iju juga diembat sebatang.
Setelah rokok dibakar, dia melanjutkan, “Mayua dengan kebijakan dan parangainyo menimbulkan kebencian di hati warga, tapi warga kalau diekspresikan banci tu dengan mengkritik, ditangkok nyo wak,” jelas Menan sambil menyikat Mie telor Nazir.
Melihat ulah Menan, SiDoek, Iju, dan Nazir, sungkan melarangnya. Takut tidak diajak lagi memuat-bongkar kayu tombak dengan truck 88. Mereka hanya memasang wajah merungus tidak ikhlas.
Iman dan Nopi melongo saja menyaksikan aksi Menan. Segera mereka sembunyikan rokok dan cepat-cepat menghabiskan minumannya. Takut di impok dahan juga.
“a contoh kebijakan jo ulah Mayua nan menimbulkan kebencian di hati rakyat Wo?,” Tanya Iman ke Menan penasaran. Karena menurut Iman tidak ada korelasi antara kebijakan dengan kebencian rakyat.
Dengan mulut masih dipenuhi Mie telor, Menan mencoba menjelaskan jawaban dari pertanyaan Iman.
“ko contoh kebijakan Mayua nan menimbulkan kebencian Man, janji dak utang, nyo bautang. Janji bali indomi dak dibali, janji menciptakan 10 lapangan karajo, ternyata urang nagari sabalah nan dapek. Masih banyak nan lain lai,” jawab Menan belepotan, karena bicara sambil mengunyah.
Meski masih jengkel dengan ulah Menan, Nazir tetap menanggapi dengan baik paparannya. “untuak menghadapi rezim Mayua ko, bisa wak berpedoman pado falsafah niniak muyang wak nan babunyi: SINGKA BALA JANA, KABAU MATI BAJAK PATAH LARI LAH,” katanya berpaham.
Iman melongo tidak paham dengan pepatah yang diucapkan Nazir. “apo aratinyo tu Zir,” tanyanya penasaran.
“makna nyo, rezim Mayua ko ibaraik kabau mati jo bajak patah, dak bisa di harok an lai,” jelas Nazir seraya menatap semua yang ada di lapau itu.
“lari lah tu apo lo arati nyo zir?” Tanya Nopi yang juga penasaran. Pertanyaan itu diucapkan sambil memicik bibir atasnya dengan jempol dan jari tengah. Sementara telunjuk “manggantiak-gantiak” ujung bibir yang menonjol karena terjepit jari jempol dan jari tengah tersebut. Karenanya membuat mukanya menjadi aneh dan konyol.
Semua geli melihat muka Nopi yang konyol.
Setelah mengambil nafas di hidung kemudian dihembuskan ke mulut, Nazir menjelaskan, “lari lah tu arati nyo, pemerintahan Mayua ko dak ado arati nyo lai. Dak usah wak patuhi kebijakannyo. Itu makna lari dari pepatah tu.”
Semua manggut-manggut mengerti.
“alang kamang teka poni, paruik kanyang makan indomi,” ucap Nazir seraya berdiri dari duduknya.
“apo lo tu Zir,” Tanya Iju ingin tahu masih dengan mulut penuh makanan.
“he.he.he.he..salekooon, zidaaaan, lelaaaan,” ucap Nazir tidak karuan. Kemudian melanjutkan, “aratinyo, paruik kan lah kanyang makan indomi, barati pulang lah wak lai. ha.ha.ha.ha.ha” pungkasnya seraya pergi meninggalkan lapau.

*Karya Rozi Firdaus

Share:

Definition List

Unordered List

Support