Pagi itu matahari bersinar menerangi jagad, langit biru, awan tak tampak. Di tepi labuah, di Rumah Gadang klan Jambak, tampak para kemenakan Datuk Tuah sibuk bekerja, sebagian ada yang menyapu membersihkan halaman rumah gadang, beberapa memasak nasi, mengaduk rendang, membuat penganan lemang dan pinyaram, sisanya memasang umbul-umbul serta marawa.
Di halaman rumah gadang itu, di tepi kolam besar dekat batang kapas, penghulu mereka berdiri mematung menghadap ke arah para kemenakannya yang sedang sibuk bekerja. Sesekali memberikan arahan agar tertib dan lancaranya semua pekerjaan itu.
Kesibukan dirumah gadang tersebut, membuat heran semua orang yang lewat di labuh depan Rumah Gadang itu. Karena belum ada sirih jo pinang yang di sebar, tetapi orang Jambak sudah seperti menyiapkan alek gadang.
Karena penasaran, salah seorang yang lewat di depan rumah itu, bergelar Sutan Ameh, menghampiri Datuk Tuah, lalu bertanya, "siapa kemenakan Mak Datuk yang akan menikah?,"
Dengan posisi memunggungi orang bertanya, beliau menjawab, "tidak ada kemenakan saya yang akan menikah. Kami tidak akan mengadakan baralek," kata Datuk Tuah, lalu memutar badan menghadap Sutan Ameh.
"Lalu kesibukan para kemenakan Mak Datuk ini untuk apa?," tanyanya lagi, sambil menunjuk ke arah para kemenakan Datuk Tuah yang sedang bekerja.
Datuk Tuah menoleh ke arah yang ditunjuk Sutan Ameh, lalu dengan tersenyum katanya, "O..itu…. Besok kami akan mengadakan musyawarah untuk menjernihkan yang keruh, menyelesaikan yang kusut yang terjadi dalam klan kami."
"Masalah apa itu Mak Datuk?," tanya Sutan Ameh lagi penasaran.
"Ini masalah internal kaum kami. Tidak akan disiarkan kepada orang luar, Harap Sutan Ameh bisa memahaminya," jawab Datuk Batuah lagi.
Sutan Ameh mengangguk, "Oo…. Kalau begitu ambo permisi dulu Mak Datuk," katanya, masih penasaran. Lalu berkirap lindap dari hadapan Datuk Tuah.
……………………………………………
Besok harinya, Rumah Gadang itu ramai, tampak diseputar tepi tabek, mobil dan motor berjejer parkir memenuhinya. Para kemenakan Datuk Tuah yang masih kecil, tampak bermain sambil berlari-larian di halaman rumah itu. Sementara yang dewasa dan yang sudah gadang memenuhi ruang Utama Rumah Gadang.
.
Mamak-mamak duduk rapat di kepala Rumah Gadang yang di hilir, perempuan-perempuan duduk di dekat jalan ke dapur, mendengarkan buah mufakat dari jauh. Orang Sumando dari pagi sudah sengaja tidak pulang, sebab ini permusyawaratan Klan Jambak yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Orang Sumando hanya dianggap sebagai tamu dalam Rumah Gadang, dalam adat digambarkan ‘’mangabek indak arek, mamancuang indak putuih, langau di ikua kabau, abu diateh tunggua, lacah nan lakek di kaki.”
Setelah hadir seluruhnya, mulailah Datuak Tuah membuka kata, ‘’demikianlah maka seluruh kemenakan Datuk Tuah yang ada dalam nagari saya hadirkan dalam Rumah Gadang ini, yaitu bulek aia dek pambuluah, elok kata dengan mufakat, buruk kata di luar mufakat, ‘cirik mato indak bisa dibuang jo ampu kaki,’ yaitu kemenakan kita nan bernama Eki, Aditya, Talib, dan Edo, sudah banyak membuat ulah dalam nagari. Banyak ulah itu termasuk ke dalam perbuatan ‘’ganjia’’ menurut adat, maka kemenakan seperi itu harus dibuang. Ini membikin malu saya sebagai orang nan dituokan dalam klan Jambak kita ini. Juga malu bagi klan kita.’’
Menurut warih nan bajawek yang dijalankan dan dituahi para penghulu pucuk dalam kerapatan nagari, bahwa para anak kemenakan yang ‘ganjia’, harus diusir dari nagari. Kriteria ‘ganjia’ menurut adat indikatornya subjektif, tergantung penafsiran penghulu saja. Bisa karena banyak ulah, bisa sebab andia, bisa juga alah gadang alun babini, dll.
Pelaksanaan buang dilakukan dengan cara halus, yaitu dengan mencarikan jodoh ke daerah-daerah yang terpencil dan tersuruk.
Datuk Tuah menghentikan bicaranya. Setelah menyapukan pandangan sekeliling rumah gadang, beliau melanjutkan. ‘’menurut adat nan biasa, tentu kita kaji lebih dahulu kemana kita akan membuang kemenakan kita ini, tentunya menurut ereang jo gendeang, ribut nan mendingin, renggas nan melanting, dikaji adaik jo limbago, yang tidak lapuk di hujan, nan tidak lekang di panas, jalan raya titian batu, nan sabaris tidak hilang nan sehuruf tidak lupa.’’
Maka mulailah menjawab satu persatu di antara yang hadir, memperkatakan tempat-tempat yang memungkinkan untuk mengungsikan anak kemenakan yang ‘ganjia’ itu.
Seorang diantara yang hadir, Sutan Mudo gelarnya, mengusulkan tempat buangan yang paling bagus, katanya, “saya telah menyelidiki beberapa nagari, dan menurut saya tempat yang paling cocok ada dua, yaitu nagari yang terletak di kaki gunung danau sebelah utara, tempat berhulunya Lubuk Dalam, yang bernama Tandikat, dan yang kedua yaitu nagari yang menjadi muaranya Lubuk Dalam dekat ombak nan badabua, yang biasa disebut Masang”.
‘’kemenakan Datuk Muncak yang bernama Celong juga dibuang ke Tandikat,’’ kata seorang lagi yang bergelar Sutan Pamenan, “dari kemenakan klan Jambak Ateh kita ada juga kemenakannya yang di buang ke Masang.’’
“Edwar kemenakan orang Tanjung di Lubuk Kalang, juga dibuang ke Tandikat,’’ seru yang lainnya yang bergelar Sutan Kayo.
Datuk Tuah manggut-manggut mendengarkan semua usulan itu, karena sudah ada gambaran jelas lokasi yang bagus. Kemudian tersenyum.
Lalu di tela’ah lah kondisi kedua tempat itu. Di uji keadaannya, letaknya, adat dan limbago-nya, dan kelayakannya sebagai tempat pembuangan keempat kemenakan itu.
Setelah dibicarakan panjang lebar, hampirlah bulat mufakat untuk membuang kemenakan yang ‘ganjia’ itu kedua tempat tersebut. Karena menurut pepatah ‘ruas telah bertemu dengan buku, bagai janggut pulang ke dagu.’ Keempatnya sangat cocok diungsikan ke dua daerah itu.
Ketika musyawarah itu diadakan, Eki, Aditya, Talib, dan Edo disuruh pergi dahulu ke rumah di sebelah, karena hal ini mengenai mereka.
Setelah menerima masukan dari semua yang hadir, kemudian Datuk Tuah berkata ke seluruh hadirin, ‘’musyawarah kita telah sampai kepada yang dimaksud. Sekarang kita bulatkan segolong, kita layangkan picak setapik, kita bulatkan mufakat, bahwa kita akan membuang para kemekanan itu ke dua nagari seperti yang diusulkan Sutan Mudo tadi.’’
Semua mengangguk pertanda setuju. Lalu untuk lebih meyakinkan lagi, Datuk Tuah berkata lagi, ‘’apakah semua yang ada di Rumah Gadang ini sepakat?’’
‘’SEPAKAT!,’’ jawab seluruh hadirin hampir bersamaan.
Datuk Tuah tersenyum, katanya kemudian, “berarti kini bulat sudah bisa digolongkan, dan picak sudah bisa kita layangkan. Semoga kemenakan kita ini menerima keputusan ini dengan ikhlas.”
Permufakatan putus. Tinggal lagi memanggil empat kemenakan itu, menerangkan kebulatannya mufakat kepada mereka. Mereka pun datang setelah dipanggil, lalu di suruh duduk di tengah-tengah rumah gadang itu. Di hadapan seluruh hadirin.
Karena ini keputusan yang cukup berat, mula-mula bertolak-tolakkan juga para ninik mamak itu hendak menyampaikan pembicaraan kepada mereka. Akhirnya diserahkan juga kepada Datuk mereka, Datuk Tuah.
Beliau memulai, ‘’Eki, Aditya, Talib, Edo! …. Inilah, yang duduk ini mamak dan ninik kalian, lindungan persukuan kalian, nan mangabek arek mamancuang putuih. Memperkatakan baik dan buruk, hina dan mulia dari pagi, telah berkering tempat duduk, telah habis pinang sirih, mencari yang akan elok untuk kalian. Setelah kami timbang melarat dan manfaat, kalian akan kami buang ke Tandikat dan ke Masang. Kami panggil kalian sekarang menyatakan kebulatan itu, supaya kalian menerima dengan suka. Bagaimana pertimbangan kalian?’’
Keempatnya terdiam. Lama mereka tidak menjawab, lalu Datuk Tuah berkata lagi, ‘’Aditya!.. kamu akan kami buang ke Masang. Sisanya ke Tandikat!.’’
Mendengar keputusan itu, Aditya dan Talib menyunggingkan senyum, karena sangat senang dengan hasil mufakat para ninik mamaknya. Sebagian yang hadir tersenyum melihat reaksi mereka berdua, sebab mengetahui bahwa keduanya itu seleranya memang gadis dari dua daerah tersebut.
Sementara Eki dan Edo menampilkan roman menolak. Putusan itu seperti petus tongga menyambar kepala mereka. Karena sudah lama mereka tinggal di kota, tiba-tiba akan hidup sampai tua di daerah terpencil, tentu ini perlu adaptasi yang lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan daerah itu.
Datuk Tuah berkata lagi, ‘’Aditya!, Talib!, apakah kalian menerima?.’’
‘’kami terima!,’’ jawab mereka serentak, tergesa-gesa, takut keputusan itu dibatalkan. Lalu mereka saling pandang dengan senyum sumringah.
Kemudian Datuk Tuah bertanya kepada Eki dan Edo, ‘’bagaimana dengan kalian?,’’
Yang ditanya hanya diam, mereka menekur memandangi lantai rumah gadang itu.
‘’jawablah, kami hendak lekas pergi. Lohor sudah akan masuk!’’ kata Datuk Tuah pula.
Rumah Gadang hening. Eki dan Edo secara perlahan melihat ke sekeliling, tampak semua tatapan dunsanak yang ada dalam rumah gadang menginginkan mereka menyetujui maksud Datuk mereka.
‘’jawablah!,’’ kata Datuk Tuah lagi, ‘’supaya mudah kami membuhulkan musyawarah ini.’’
Mereka masih diam. Melihat desakan sang Datuk dan dukungan para dunsanak sepesukuan, insaflah mereka berdua akan kelemahan diri mereka dan kekuatan keadaan sekelilingnya. Kehidupan mereka juga ditentukan oleh keputusan klan persukuan.
‘’Eki!, Edo!... jawablah,’’ kata Datuk Tuah tidak sabar.
Akhirnya Eki Buka suara, ‘’kalau saya bagaimana … yang baik kata ninik-mamak saja … saya akan menurut!.’’
Datuk Batuah tersenyum puas. Lalu katanya kepada Edo, “Eki sudah sepakat. Bagaimana dengan waang!?.’’
Edo masih menunduk memandangi lantai rumah gadang itu. Dengan terpaksa akhirnya dia juga menerima. ‘’saya juga apa yang baik menurut dunsanak saja, saya turuti,’’ tuturnya masih menekur ke lantai.
‘’Alhamdulillah,’’ ujar yang hadir. Musyawarah itu ditutup dengan makan bersama dan pembacaan do’a oleh Nyiak Ajuik.
Dua hari setelah musyawarah, diutuslah dua orang Mamak Klan Jambak pergi menuju dua daerah pembuangan. Sepulangnya dari situ, diadakan lagi musyawarah yang hanya diikuti para Mamak-Mamak saja.
Musyawarah itu memutuskan Eki di buang ke Tandikat paling ujung, Talib agak kebawahnya, sementara Edo lebih ke hilirnya. Sedangkan Aditya dihanyutkan ke Masang di Ombak Nan Badabua.
Karya Rozi Firdaus