Dia sangat marah. Karena semua kebijakannya untuk mengatasi corona dan dampak turunannya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhasil. Bukannya mereda, virus justru makin menyebar luas dan perekonomian kian anjlok. Sementara menurutnya, anggaran telah dikucurkan untuk mengatasi semua masalah tersebut.
Oleh karena itulah, pagi itu Walinagari mengumpulkan semua anak buahnya untuk diberi arahan agar bekerja dengan benar. Setelah hadir seluruhnya, lalu Walinagari naik podium.
Karena saking marahnya, tanpa mengucap salam, dia langsung saja nyerocos pada intinya.
“kemarin dan kedepannya nagari kita akan terus menghadapi krisis!,” katanya membuka pidato. Kalimat itu diucapkan sambil matanya menyapu seluruh hadirin yang berada di dalam kantor Walinagari. Tutur katanya halus dan penuh wibawa. Semua menyimak dengan seksama.
Tiba-tiba, nada bicaranya meninggi. Roman mukanya menunjukkan amarah. Sorot matanya tajam.
“itu semua karena kalian tidak becus bekerja!!.” Lanjut Walinagari dengan lantang.
Sontak semua kaget mendengar Walinagari berpidato demikian. Biasanya beliau berpidato seperti hanya membacakan teks yang sudah disiapkan sebelumnya. Lembek. Tetapi hari ini lain, meski pidato masih baca teks tetapi nada marahnya natural. Tegas.
Sekarang dia menyentil tiga orang anak buahnya yang dianggap bertele-tele. Pertama yang mengurusi kesehatan, lainnya yang mengatur penyaluran bantuan sosial, dan anak buah yang mengomandoi bidang ekonomi.
“anggaran kesehatan itu puluhan T. Tetapi kenapa sampai sekarang yang terserap baru 2 persen?. Ini bukti kamu kerjanya tidak beres,” tanya walinagari, yang langsung dijawabnya sendiri.
Matanya menatap kearah pejabat yang dimaksud. Yang ditatap balas melirik dengan sorot tajam penuh kesinisan, lalu dia membatin, “uang yang puluhan T itu belum kau cairkan seluruhnya. Dan beberapa yang cair sudah saya salurkan 50 persen, bukan 2 persen!. Kau yang tidak beres, aku pula yang kau salahkan!.”
Melihat tatapan sinis pejabat itu, Walinagari sungkan, lalu membuang muka ketempat lain.
Kemudian dia menyentil pejabat pengurus penyalur bantuan. Katanya, “warga kita sudah terpekik karena pandemik. Tetapi kenapa bantuan belum disalurkan?!!.” Juga rona muka marah dia memandang ke pejabat itu, yang ditatap balas melirik dengan sorot marah yang tidak kalah marahnya, si pejabat mengomel dalam hati, batinnya, “sudah akan saya salurkan sembako itu, tetapi kau suruh membagikan bantuan harus dengan kemasan yang ada gambar kau! Sementara kemasan itu belum selesai disablon!.”
Walinagari takut melihat tatapan anak buahnya itu, lalu menoleh kearah lain. Kemudian dia memarahi pejabat lainnya, pejabat bidang ekonomi.
“karena virus, daya beli warga turun drastis. PHK terjadi dimana-mana. Kok tidak ada tindakan tim ekonomi untuk mengatasi masalah ini?!!.” Meski memasang muka marah, sekarang dia tidak berani menatap mata anak buah yang dimarahi itu.
Si anak buah hanya mengomel dalam hati, “tidak ada kau intruksikan, aku tidak tahu haru berbuat apa. Uang juga tidak ada. Kau lebih mementingkan bangun ibukota nagari baru, dan beli video yang harusnya bisa gratis, dibanding perut rakyat!!”
Kemudian walinagari melanjutkan pidatonya. Sekarang dia menasehati seluruh anak buahnya. Dia berbicara tentang bagaimana bekerja ditengah krisis.
“di tengah pandemi ini, kita harus bekerja dengan sense of crisis. Yaitu bekerja lebih keras dan lebih cepat. Dari kerja biasa ke kerja luar biasa. Dari cara rumit-rumit, ke cara cepat dan lebih sederhana. Dari SOP normal, ke SOP yang lebih cepat.” Tuturnya dengan bijak. Semua hadirin bertepuk tangan dengan meriahnya.
Walinagari tersanjung dan merasa bangga atas respon anak buahnya. Tetapi mukanya masih terlihat marah.
“sense of crisis itu juga bermakna, kita harus memahami bahwa hidup warga sedang sulit karena virus, maka kita harus mengerti kesulitan warga tersebut, yaitu dengan bekerja lebih cepat lagi. Agar penderitaan rakyat bisa berkurang!.” Tutupnya mengakiri pidato. Lalu dia turun podium dan meninggalkan ruangan itu.
Languai, petugas kebersihan kantor walinagari, kebetulan hari itu bekerja. Sambil mengerjakan tugasnya, dia menyimak seluruh isi pidato walinagari.
Miris bergelimang dongkol Languai mendengar pidato walinagari. Seluruh masalah di nagari ini karena kepemimpinannya yang lemah. Tetapi dia selalu menyalahkan anak buah untuk menutupi kegagalannya.
Yang paling menjengkelkan Languai adalah pidato penutup walinagari, “kita harus punya sense of cirisis ditengah pandemi agar warga tidak susah,” nyatanya kebijakannya makin menyengsarakan warga. Ditengah krisis dia menaikkan iuran kesehatan, di saat pandemi warga menjerit karena rekening listrik naik misterius. Minyak yang seharusnya turun, malah tidak turun.
Sudahlah pemasukan berkurang drastis karena pandemi, pemerintah malah memeras warga untuk membayar iuran yang sangat mahal. Warga seperti jatuh kemudian ditimpa tangga pula.
"Lenyai," gumam Languai. Kemudian melanjutkan tugasnya.
Karya Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar