Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Bantuan

Dalam rangka memutus rantai penyebaran virus corona, pemerintah menerapkan kebijakan PSBB, yaitu membatasi gerak warga diluar tempat tinggalnya, dengan menghimbau mereka untuk bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.
Pembatasan sosial ini berdampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Untuk menanggulangi dampak itu, pemerintah menyalurkan bantuan sosial berupa sembako ke masyarakat, juga menyalurkan BLT untuk menjaga daya beli masyarakat agar kegiatan ekonomi tetap berjalan.
Jika dikota semua bantuan itu merupakan berkah, karena warganya benar-benar terdampak, bagi nagari yang tidak merasakan dampak korona, semua bantuan itu justru tidak berguna, malahan seperti membawa perpecahan. 
Karena faktanya masyarakat nagari memang tidak terlalu membutuhkan bantuan. Dengan hasil parak di belakang rumah saja mereka tetap bisa makan. Apalagi tiap bulan selalu ada pemasukan karena mereka tetap bekerja.
Tetapi kata pemerintah pusat semua bantuan harus disalurkan, jika tidak akan mendapat hukuman. Namun apabila disalurkan akan muncul banyak permasalahan. Salah satu permasalahan itu adalah perpecahan dalam masyarakat. Warga saling maki, pemerintah nagari dihujat masayarakat. 
Inilah yang merusuhkan Tacik dan Mak Solo, sehingga menimbulkan pembicaraan sambil mencoba mencari solusi, agar bisa menjadi masukan kepada pemerintahan nagari. 
Sore itu, setelah Ashar, Tacik dan Mak Solo duduk-duduk di Lapau Dedi Bongkeng sembari bermain media sosial di androidnya masing-masing. 
“bantuan sembako dan bantuan tunai yang sedang diributkan orang senagari, menurut saya tidak berguna,”tutur Tacik membuka kata, setelah membaca keributan warga tentang pembagian sembako di postingan FB Pemerintah Nagari, “justru bantuan ini menimbulkan rasa iri dan dengki bagi sebagian masyarakat. Bantuan ini memecahkan kita,” lanjutnya sambil melirik ke arah Mak Solo yang sedang sibuk juga dengan HP-nya. 
“maksudnya?” Mak Solo tidak paham. Menurut beliau, bantuan sudah tentu akan sangat menolong orang yang membutuhkan.
“begini maksud saya,” balas Tacik sembari meluruskan duduknya, “bantuan ini diberikan dengan latar belakang untuk membantu masyarakat yang terdampak karena virus corona. Nah sekarang saya tanya, menurut Mak Solo ada tidak warga kita yang terdampak oleh virus korona?”
“tidak ada,” sahut Mak Solo sambil menggeleng.
Tacik mengangguk, lalu balasnya, “memang tidak ada. Sudah hampir dua bulan wabah corona melanda, tetapi orang kampung kita tetap bekerja. Yang punya sawah masih menggarap sawahnya, tukang potong lanjut saja memotongnya hingga membangkit dan menimbang, yang berparak sawit tiap bulan selalu panen, jadi semua bekerja, semua punya uang.”
Menurut Tacik masyarakat yang sangat merasakan dampak dari virus corona adalah masyarakat di daerah perkotaan, bukan warga nagari. Karena sebagian besar warga kota bekerja di bidang informal yang sangat membutuhkan keramaian untuk menunjang usaha mereka. Sementara pemerintah melarang keramaian untuk mencegah penularan korona.
Sedangkan masyarakat yang tidak merasakan dampak virus corona yaitu masyarakat nagari. Sebab warganya sebagian besar berprofesi sebagai petani yang tidak membutuhkan keramaian dalam bekerja. Orang kota ketakutan dengan ancaman korona, para petani di nagari tetap bisa produktif karena mereka bekerja di kesunyian di sawah dan paraknya, jauh dari keramaian. Selain itu, penduduk desa juga tidak banyak, sehingga dalam interaksi sosial di desa secara alamiah tanpa adanya PSBB-pun sudah berjarak. 
“benar,” Mak Solo mengagguk, lalu beliau bertanya, “bantuan itu hanya untuk masyarakat terdampak, jika tidak ada yang terdampak, kenapa pemerintah pusat menginstruksikan, pemerintah kabupaten membuat aturan, lalu pemerintah nagari menyalurkan bantuan itu?”.
Lalu jawab Tacik, “wabah korona sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai bencana nasional non alam, karena dianggap bencana nasional, maka dalam aturan untuk penanganannya juga harus menjangkau seluruh daerah. Baik daerah terdampak, maupun yang belum terdampak. Ini semata-mata demi keadilan.”
Meski ada perbedaan dampak yang signifikan antara daerah kota dengan wilayah nagari, namun pemerintah pusat memperlakukan sama keduanya dalam hal pemberian bantuan. Walikota dihimbau memberikan bantuan sembako, Bupati juga diminta memberi sembako. BLT disalurkan untuk warga kota sebesar 600 ribu, masyarakat nagari juga mendapatkan jumlah yang sama. 
“ingin menciptakan keadilan, tetapi membuat ketidakadilan lain,” Mak Solo bergumam.
Lalu tanya Mak Solo lagi, “menurut ang Cik, kenapa masyarakat nagari kita meributkan bantuan yang tidak seberapa itu?.”
Mendengar perntayaan itu, Tacik memandang jauh ke puncak Durian yang tumbuh disamping Rumah Mak Anaeh, sambil memikirkan jawaban pertanyaan Mak Solo yang cukup tajam. Kemudian jawabnya, “untuk menjawab pertanyaan Mak Solo itu, ada dua aspek yang bisa kita telaah untuk menjawabnya. Pertama dari sisi pemerintah nagari, pemerintah nagari menurut saya kurang cermat dalam menentukan mana yang terdampak korona mana yang tidak. Karena pada dasarnya semua warga nagari tidak ada yang terdampak. Tetapi pemerintah nagari memaksakan menentukan siapa yang terdampak. Akibatnya keputusan yang dibuat banyak salahnya. Pemerintah nagari juga kurang transparan. Sehingga masyarakat yang tidak masuk kriteria tidak terima. Terjadilah keributan karena hal itu.” 
Mak Solo mengangguk, lalu tanya beliau lagi, “yang kedua?” 
“yang kedua,” Tacik menghirup udara dihidung kemudian menghembuskannya di mulut, karena jarak keduanya cukup dekat, hembusan itu membawa sedikit air liur, sehingga membuat Mak Solo dengan raut muka kurang senang menyeka mukanya. 
Dengan mengabaikan Mak Solo yang kurang senag, Tacik lalu melanjutkan, “yang kedua bisa kita lihat dari segi masyarakat nagari kita. Rata-rata mereka berfikir miskin. Jika memiliki pikiran seperti itu, semampu apapun dia, seluas apapun sawah ladang yang dia miliki, maka dia akan selalu meminta karena dia sudah miskin sejak dalam pikiran.” 
Mak Solo mengangguk, Tacik tersenyum, setelah itu lanjutnya lagi, “berbeda dengan orang yang sudah kaya sejak dalam pikiran, orang seperti ini semiskin apapun dia, walau susah hidupnya, namun dia selalu malu meminta atau menerima bantuan.”
“orang yang miskin sejak dalam pikiran ini yang banyak di nagari kita,” sahut Mak Solo, “makanya setiap ada bantuan, pasti selalu ribut.”
“betul itu,” Tacik mengaminkan.
Mak Solo kembali bertanya, “kira-kira menurut Tacik, apa yang harus dilakukan pemerintah nagari agar bantuan itu tidak menjadi polemik di nagari kita ini?”.
Tacik melirik Mak Solo sambil mengerinyitkan keningnya, seolah sedang berfikir keras, lalu menatap nanar ke labuah. 
Sementara Mak Solo mengamati gerak-gerik Tacik, dengan tidak sabar beliau menagih jawaban pertanyaannya tadi, “bagaimana Cik?” 
“Mungkin begini, ”Tacik mulai menjawab pertanyaan Mak Solo, “karena ada dua pihak yang terlibat dalam masalah bantuan ini, maka saya akan menyoroti satu persatu kedua pihak tersebut.”
Mak Solo mengangguk, lalau memperbaiki posisi duduknya, ingin menyimak dengan serius uraian Tacik. 
“pemerintah nagari harus menentukan kriteria yang jelas keluarga seperti apa saja yang berhak mendapatkan bantuan itu. Misalnya, yang berhak menerima adalah warga yang terdampak ekonomi yang dsebabkan virus korona karena kehilangan mata pencaharian, atau buruh harian seperti kuli bangunan, atau buruh tani yang menerima upah dengan bekerja di sawah.” Jawab Tacik sambil sesekali melirik Mak Solo, lalu memandang jalan di depan lapau itu. 
Melihat Mak Solo antusias mendengakan paparannya, Tacik bangga, lalu Tacik menambahkan, “agar lebih akurat, walinagari menunjuk tiga orang ditiap Dusun untuk mendata calon penerima bantuan. Tiga orang ini kemudian membangun kesamaan persepsi calon penerima, yaitu memang orang yang benar-benar tidak mampu akibat terimbas virus corona.”
Mak Solo mengangguk, lalu menambahkan, “jika penetapannya sehati-hati ini, saya yakin orang yang akan menerima bantuan benar-benar orang yang sangat membutuhkan. Jika sudah tepat sasaran maka warga lain akan ikhlas menerima keputusan pemerintah nagari.” 
Kemudian Mak Solo bertanya lagi, “kalau dari pihak masyarakat bagaimana Cik?”.
Maka Jawab Tacik, “masyarakat harus menghilangkan pikiran miskin dari otaknya. Dan harus malu menerima bantuan. Juga bantuan yang sedikit itu tidak akan membuat kaya. Jadi ikhlaskan saja siapa-siapa yang sudah ditetapkan pemerintah.”
“jadi harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah dengan warga agar bantuan itu menjadi berkah bagi nagari. Bukan menjadi biang perpecahan dalam masyarakat kita,” timpal Mak Solo menyimpulkan penjelasan Tacik.
Karena merasa semua pertanyaan Mak Solo sudah terjawab, Tacik mengaktifkan kembali androidnya untuk melihat-lihat laman FB. Tiba-tiba Mak Solo bertanya lagi.
“jika warga masih ribut juga, lalu bagaimana Cik?”
“kalau masih ribut, bagi rata saja semua bantuan itu. Seluruh KK mendapatkan jumlah yang sama.” Jawab Tacik singkat. Lalu kembali menatap layar androidnya.
Lagi-lagi Mak Solo bertanya kembali, “apabila sudah dibagi rata, ternyata masih ribut, selanjutnya bagaimana Cik?”.
Sebenarnya dari tadi Tacik sudah mulai gusar dengan pertanyaan bertubi-tubi dari Mak Solo. Seandainya yang bertanya itu Nopi atau Celong, mungkin sudah dia sembur berkali-kali. Tetapi ini yang bertanya orang tua, maka dengan sedikit kurang senang, Tacik menjawab singkat saja.
“kalau masih ribut juga, hanyutkan saja bantuan itu ke Lubuk Kalang!!.” Tanpa permisi Tacik bangkit dari duduknya, kemudian pulang ke rumah amaknya di Punago.
Mak Solo mengangguk-angguk, menginap menungkan semua penjelasan Tacik. Dalam hati beliau memuji kecerdasan Tacik, “Tacik memang cadiak.” Batinnya.
Sore sudah menjelang magrib. Matahari telah tampak terbenam di rimba Padang Solok. Tidak lama kemudian terdengar suara Adzan Magrib yang dikumandangkan Mak On dari Toa Mesjid Nagari di Lubuk Kalang.


Karya Rozi Firdaus

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support