Seminggu menjelang raya, karena PSBB, siang itu Cikunir lengang dari biasanya. Di sepanjang jalan raya, ruko-ruko di tepi jalan banyak yang tutup, yang buka hanya toko sembako dan apotik saja. Tetapi kedai-kedai warung kopi di tempat-tempat tersuruk dan gang sempit tetap buka seperti biasa.
Di sebuah warung kopi, di salah satu gang sempit di sudut kota itu, tampak seorang pemuda sedang khusuk membaca berita di hape-nya. Ekspresi wajahnya berubah-ubah. Sesekali melotot lalu mengerinyitkan dahi, kadang bercarut-carut sambil menggocang-goncangkan hape-nya.
Pemilik warung, Atuik, yang menyaksikan tingkah pemuda itu hanya geleng-geleng kepala. Lalu bertanya, “kenapa ang Celong? Baca berita apa?”. Setelah mengucapkan itu, kemudian dia berjalan menuju Celong dan duduk tepat didepannya.
“galigaman den melihat cara pemerintah melawan wabah virus Tuik,” jawab Celong, “tentang mudik dan pulang kampung misalnya, kemarin begini, sekarang begitu, sebelumnya dilarang, sesudah itu boleh, dilarang lagi, boleh lagi. Dia bilang seperti ini, anak buahnya bilang seperti itu. Anak buah yang lain bilang jauh berbeda lagi tentang masalah yang sama!”.
Celong bingung dengan pemerintah tentang cara penanganan wabah corona. Arah mana peraturan pemerintah tentang cara berantas virus tidak jelas. Katanya pembatasan sosial, tetapi kok transportasi buka tutup? Jubir bilang tinggal di rumah! Yang lain bilang dilarang mudik! Jubir bilang jangan bepergian! Menhub bilang boleh terbang!. Benar-benar ruwet.
Karena kebijakan yang mencla-mencle itu Celong gagal mudik bersama istri dan anaknya. Karena jauh hari sebelum ada wabah virus, dia sudah boking tiket pulang kampung. Ketika virus mulai berkembang pemerintah melarang mudik. Tiket yang telah dipesan dia batalkan. Sekarang mudik tidak dilarang lagi, sementara uang untuk tiket sudah tandas. Terpaksa Celong tidak mudik tahun ini. Hal ini yang membuat dia jengkel.
Atuik tersenyum getir. Lalu bangkit perlahan dari duduknya, menghisap dalam-dalam rokoknya, kemudian dihembuskan keluar, nampak asap bergabung-gabun dimukanya.
“itulah bukti bentuk kepemimpinan yang tidak jelas. Tidak ada koordinasi. Atau intruksi pimpinan diabaikan oleh anak buah karena menganggap pimpinan andia dan tidak berwibawa. Sehingga semua anak buah merasa sebagai pemimpin. Akibatnya masing-masing membuat kebijakan yang saling bertolak belakang, bahkan bertentangan dengan pimpinannya sendiri.” sahut Atuik.
Celong mengangguk mengaminkan, lalu katanya, “jika pimpinan acap mangango, banyak anak buah yang merasa menjadi bos, sehingga staf dari anak buah menjadi bingung untuk mengeksekusi kebijakan itu, rakyat-pun menjadi planga plongo. Akibatnya yang tertular semakin banyak”.
“nagari kita seperti tidak punya kapalo arak”, timpal Atuik, “akibatnya para anak buah jadi pada ribut sendiri. masing-masing mengambil keputusan dan kemudian saling menegasi dan membatalkan. Akibatnya rakyat menjadi bingung. Siapa yang harus di dengar dan dituruti?”.
Maka dengan jengkel kata Celong lagi, “Yang satu ngomong boleh mudik dengan catatan mempunyai keperluan mendesak. Sementara pejabat lainnya menyatakan dilarang mudik. Lalu pejabat lainnya mengizinkan bus menambang, tetapi tidak boleh mudik. Lalu bus kemana dan angkut siapa?”. Celong menghentikan ucapannya, lalu menonoh kopi-nya yang sudah dingin hingga tandas.
Setelah itu lanjutnya lagi, “selain itu aturan yang dibuat juga tidak merata. Kerumunan ditempat ibadah dilarang, tetapi ditempat lain seperti dibiarkan orang berami-rami. Tentu ini akan mengurangi kepatuhan warga terhadap aturan yang dibuat.”
“ya begitulah pejabat kita. Nanti jika wabah ini semakin meluas maka yang akan disalahkan rakyat seperti kita.” Balas Atuik. Lalu matanya memandang jauh kedepan, tampak jalan raya masih lengang.
Sementara Celong sekarang sibuk memainkan hape, menskrol laman pesbuk-nya, tiba-tiba dia berhenti pada sebuah portal berita, karena judulnya bikin dia kaget, yaitu BPJS naik.
Dengan mata melotot Celong berteriak tertahan, “BPJS naik lagi?!!.” Selama ini, karena harga minyak dunia turun drastis, dia sangat berharap harga BBM juga ikut turun. Sebelumnya listrik 900 keatas sudah naik, sekarang Justru yang didapat BPJS naik juga. Makin berat beban itu, sementara singgulung batu.
Atuik yang sedang melamun ikut terkejut, “apa.. BPJS naik,?” sahutnya sembari merampas hape Celong kemudian membaca berita itu. Lalu mengembalikannya. Katanya lagi “uang masuk berkurang drastis, kini pemerintah memaksa kita mengeluarkannya lebih banyak. Benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga pula!.”
Celong hanya terperangah, batinnya, “kini muatan sandek, yang akan dibeli dan dibayar serba mahal.”
Mereka tidak habis pikir, dampak dari virus menyebabkan banyak rakyat kehilangan pekerjaan, para pedagang tidak berjual beli menyebabkan omzet turun drastis, sopir tidak bisa lagi memiyuh besi bulat karena pembatasan sosial, kehidupan sulit, uang susah. Sekarang bukannya meringankan, pemerintah justru membebani rakyat dengan kenaikkan tarif BPJS.
Menurut logika mereka, seharusnya, jika ada bencana, kehidupan rakyat susah, maka peran pemerintah disini adalah meringankan beban mereka. Tetapi yang berlangsung sebaliknya. Rakyat kecil seperti tebu yang digiling untuk diambil airnya. Rakyat picak pemerintah gambuang.
Sore sudah menjelang, terik tidak berkurang. Suhu panas membuat Celong maagua dan mengantuk. Lalu tertidur di warung itu. Tabugai.
Karya Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar