Matahari telah tergelincir ke timur. Para pekerja di Padang Laweh memasuki jam istirahat. Saat istirahat itu, banyak yang menghabiskannya di Kadai Mak Usuik. Disitu sambil beristirahat, mereka membahas banyak hal.
Erap dan Limin, dalam perjalanan dari kantornya di Rimbo Gantian menuju Kadai Mak Usuik, mereka berbincang-bincang.
Erap ingin membahas tentang kekecewaan Ormas Bengkok Kasek yang tidak kebagian jabatan oleh Mayua, setelah di dukung mati-matian dalam pemilihan walinagari.
“manuruik ang Min, baa kok Ormas Bengkok Kasek indak diagiah jabatan dek Mayua?,” Tanya Erap membuka pembicaraan.
Limin yang awam masalah politik, sedikit bengong. Demi menghargai Erap dia hanya menjawab seadanya saja, “mungkin Ormas Bengkok Kasek indak berkontribusi dalam mamanangan Mayua mungkin,” responnya datar.
“indak berkontribusi baa ko?,” sanggah Erap, “Bengkok Kasek ko ormas nan paliang bakontribusi untuak kemenangan Mayua.”
“den dak paham bana do Rap. Ang tanyo tentang artis selingkuh atau bacarai tau bana den tu. Kalau masalah politik nagari den dak tau do,” balas Limin sedikit menghiba hati.
Erap terdiam. Tak berapa lama, mereka sudah di depan Kadai Mak Usuik. Bangunan kadai itu memanjang kebelakang, di bagian depan dan samping kanannya terdapat meja dan kursi, tempat para pelanggannya duduk. Lokasinya strategis terletak di pinggir jalan lintas.
Di serambi depan kadai, tampak empat orang sedang duduk berhadapan mengitari meja. Yang duduk dekat pintu lapau adalah pemilik kadai, Mak Usuik. Beliau sudah berumur, itu terlihat dari seluruh rambut, kumis, dan jenggot yang sudah memutih.
Duduk disamping Mak Usuik itu seorang laki-laki berumur juga, beramut keriting yang sebagian besar sudah memutih, namanya Mak Saidan. Dan dua orang lagi, yang satu adalah seorang laki-laki tinggi besar, berambut kasar yang sudah mulai memutih, bernama Kudik. Sedang seorang lainnya adalah Mak Piri.
Sepertinya mereka sudah terlibat lama dalam perbincangan yang cukup serius. Saat Limin dan Erap tiba, kemudian duduk di kadai itu, tampak Kudik sedang berbicara dengan nada keras.
“den doa an Mayua kualat!, lah jariah ormas Bengkok Kasek kami mandukuangnyo, kini lah manangnyo, kami dilupo an. Dak dapek apam kemenangan do!. Nan paliang manyakik an, Si Ambiang nan lawan Mayua di pamilu patang, diagiah kekuasaan,” Kata Kudik dengan gemasnya. Kalimat itu diucapkan sambil mengeprak meja.
Kudik merupakan Pengurus Besar Ormas Bengkok Kasek. Dalam pemilihan walinagari dia mendukung Mayua. Untuk memenangkan Mayua, dia sering memprovokasi lawan dengan kata-kata kasar dan menyakitkan. Perangainya sangat keras tidak sabaran.
Karena geprakan Kudik meja bergetar. Dengan sigap Mak Usuik, Mak Jaliman, dan Mak Piri cepat menahan gelas kopi-nya, agar tidak tumpah.
Setelah meletakkan kembali gelas kopi-nya, lantas Mak Usuik berkata dengan sedikit tidak senang, “jan kareh bana Dik. Runtuah kadai den beko!.”
Ditegur begitu, Kudik Cuma nyengir, “hehe.. sori Mak,” ucapnya singkat. Meski kasar dan berangasan, Kudik masih memiliki tata krama. Dia sangat menghormati orang tua.
“mungkin karano iko ormas ang dak dapek jatah Dik,” kata Mak Jaliman mencoba menganalisa, “di maso kampanye dulu, ormas ang selalu teriak-teriak nagari harga mati. Dan manuduah kelompok lain nan indak mandukuang Mayua anti nagari. Mungkin manuruik Mayua dukungan kalian tu ikhlas demi nagari, bukan demi inyo. Makonyo Bengkok Kasek dak diagiah jatah. Karano dianggap ikhlas.”
Kudik terdiam, memikirkan analisa itu, kemudian menanggapi, “indak mungkin Mayua sa andia tu…”
“Mayua memang andia,” potong Mak Saidan sinis. Beliau dulu pendukung Mayua, akhir-akhir ini karena merasa terkecoh di yang terang oleh Mayua, tidak mendukung lagi. Justru berubah menjadi benci.
Tanpa menghiraukan Mak Saidan, Kudik melanjutkan, “Mayua pasti tau, dak ado makan siang nan gratis. apo nan kami lakukan itu indak gratis. Kami nio dukungan kami diupah jo jabatan.”
“mujua den ormas ang buluih,” timbrung Mak Piri yang sejak tadi diam. “Gara-gara Bengkok Kasek, warga nagari tabalah tajam. Ormas kalian memusuhi dan suko membubarkan pengajian para Buya.”
“batua,” sahut Mak Saidan. “sado pandukuang oposisi kalian fitnah radikal. Fitnah tu kalian jadikan pembenaran untuak menindas para Buya nan ceramah.”
Erap yang sejak tadi diam, hanya mendengar saja bersama Limin, ikut nimbrung, “para pendukung oposisi, dek Ormas Mak Kudik, dituduah penentang negara. Padahal kami menentang ketidak adilan Mayua sebagai pemerintah. Ingek Mak Kudik, jan samo an negara jo pemerintah. Pemerintah tu salah satu unsur dari nagari bersama warga jo wilayah. Jadi, kalau warga kritik pemerintah, itu bukan menentang nagari!.”
Mak Usuik, Kudik, Mak Jaliman, dan Mak Piri, serentak menoleh ke sumber suara. Kaget, karena tidak menyadari kehadiran orang lain.
“Erap!,” seru mereka serentak.
Kudik marah, tidak senang dengan ucapan Erap. “ERAP GALADIA!! Jan sato lo. Ang masih kaciak. Dak tau gai di ang ko do!!.” Semprot Kudik gusar sambil menunjuk muka Erap. “kalau ngicek jo, awas ang! Den dabiah!,” ancamnya.
Diancam begitu, nyali Erap ciut. Setelah itu tidak berani lagi ikut campur.
“bia kaciak, tapi batua nan dikato an Erap tu Dik,” tutur Mak Usuik mencoba membela.
“iyo,” Mak Jaliman menimpali. “nan jaleh ormas Bengkok Kasek telah menyebabkan perpecahan dalam nagari.
Mak Piri tidak tinggal diam, “pelajaran bagi ormas ang tu Kudik. Nan ka datang jan hanyo karano mangaja kekuasaan, kalian rela mamacah warga nagari wak ko!.”
“caliak lah kader ormas Bengkok Kasek nan jadi pejabat, banyak nan korupsi. Kapatang kaur olahraga, ditangkok karano mancilok pitih nagari. Sudah tu, ketua partai Suduang Putiah nan juga anggota Ormas Bengkok Kasek ditangkok lo dek mancilok,” Mak Usuik menimpali. Bahwa ketika berkuasa, banyak akder oramas Kudik nan korupsi. Teriak-teriak nagari harga mati cuma ota gadang demi simpati warga saja. Setelah terpilih dan berkuasa dari nagari harga mati berubah menjadi pitih harga mati.
Kudik terdiam. Bobrok ormas-nya dikuliti. Meski demikian, dia tidak ambil pusing. Katanya, “pokoknyo kami nio jabatan. Kami ikuik berjuang basamo Mayua. Kami ingin upah dari perjuangan tu.”
Setelah mengucapkan itu dia pergi begitu saja. Semua orang di lapau hanya geleng-geleng kepala melihat sepak terjang Kudik dan ormas-nya.
Karya Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar