Malam telah larut, langit tampak cerah tak berawan, sehingga cahaya bulan membuat malam layaknya siang. Di teras surau tampak lima orang pemuda sedang bercakap-cakap, sementara di dalamnya terdapat sekitar sepuluhan pemuda tidur dengan pulasnya.
Sudah menjadi kebiasaan di kampung ini, surau menjadi tempat kegiatan para pemuda di malam hari. Bukan untuk belajar agama atau beribadah, tetapi hanya sebagai tempat berkumpul dan tidur setelah bermain ‘koa’ dan ‘domino’ di Lapau Sidi yang berada di depannya.
Sebelum tidur, biasanya para pemuda bercakap-cakap dulu di teras ataupun di dalam surau. Jika sudah mengantuk mereka langsung tidur. Tetapi ada juga yang ‘maota’ sampai ‘parak siang’, bahkan sampai pagi.
Kelompok pemuda yang bercakap sampai pagi ini, pada jam 2 atau 3 dini hari, biasanya mereka lapar. Di saat kelaparan inilah sering muncul ide-ide meyimpang untuk menganjal perut. Seperti, mengambil buah jagung di kebun orang, mencabut ubi untuk di bakar, maling ayam warga, menangkap ikan penduduk, bahkan ada yang berani mencuri ikan di ‘tabek’ surau itu.
Perbuatan ini sering dilakukan oleh lima pemuda yang sedang berkumpul di teras seperti telah disinggung pada paragraf pertama diatas.
Saat itu, setelah ‘maota’ ngolar ngidul kemana-mana, tiba-tiba salah satu dari mereka yang duduk sambil bersandar pada dinding dekat mihrab berkata, ‘’litak paruik den ah’’, ucapnya sembari memegangi perut yang lapar. Dia bernama Talik, posturnya ‘pendek bulek’. Berambut lujur dengan potongan gaya Ian Kasela. Satu gigi depannya patah, dagunya dihiasi jenggot cukup tebal, tanpa kumis di diatas bibirnya.
‘’den iyo lo Lik’’ sahut salah seorang yang duduk dekat tiang jalan masuk ke dalam surau. Dia biasa dipanggil Sidoek, tinggi kurus, bermata sipit seperti orang cina, tetapi kulitnya flores.
‘’bagadang wak lah’’, timpal salah seorang lagi dengan kain sarung melilit di lehernya. Dia duduk dekat tiang di samping mihrab arah ke Lapau Sidi. Namanya Gaboh. Badannya tinggi besar, kulitnya gelap, bermuka petak seperti orang Batak.
Seorang lagi yang duduk diantara Talik dan Gaboh kemudian menanggapi, ‘’dingin-dingin model ko, raso ka lamak miang panggang lauak atau panggang ayam …’’, katanya sambil melirik ke orang kelima yang duduk diantara Sidoek dan Gaboh. Orang yang berkata itu bernama Atuik. Badannya lebar, rambut ikal, bergigi agak jarang di depan.
Yang di lirik tidak menanggapi, diam saja, asyik menikmati rokok Surya-nya. Dia adalah kepala dusun, karena teman sepermainan dia dipanggil dusun saja. Rambutnya keriting berkulit agak gelap seperti orang ambon.
Dusun tidak merespon ajakan menyimpang tersebut karena jaga imej, mengingat jabatannya sebagai kepala dusun yang dituakan di kampung itu.
‘’jaguang Pak Iyaeh di parak gambia lah elok dipanggang nampak di den tadi siang’’, tiba-tiba terdengar suara dari dalam surau, kemudian orang yang berbicara itu keluar, langsung duduk diantara Atuik dan Dusun.
‘’panggang jaguang dak lamak do Lelan’’, sahut Gaboh pada orang yang baru keluar dari dalam surau, yang ternyata bernama Lelan, ‘’nan lamak tu, panggang lawuak, kalau indak panggang ayam’’, lanjutnya sambil melirik semua yang ada di situ.
‘’lawuak Buya Polisi di mudiak lah gadang-gadang nampak. Di sinan wak operasi baa gakti?’’, kata Sidoek sambil asap Panama Kuning bergabun gabun keluar dari mulutnya. Dia mencoba memberi pilihan menu bagadang untuk malam itu.
Talik yang sedang menikmati Panama Putih, terbatuk mendengar usul Sidoek. Dia tidak setuju, dihisap Panama-nya, dihembuskan, kemudian katanya, ‘’jan lai. Jauah bana kasitu. Lagian Buya tu Polisi, kalau ketahuan resiko no panjaro.’’
Kembali Panama Putih itu dihisap dalam-dalam, dihembuskan, setelah itu dia melanjutkan, ‘’lawuak tabek surau miang baa?,’’ usul Iju sambil melirik satu persatu kelima wajah temannya.
‘’lawuak surau jan lai. baun cirik.’’ Sidoek tidak setuju.
‘’bia makannyo cirik warga, tapi tetap lamak,’’ balas Iju, ‘’malam minggu patang, aden jo Siamiak lah mancubo lauak surau tu. Dak ado beda raso nyo jo lauak nan lain. Tapi sabalun nyo kami cuci lauak tu jo sabun dulu.’’
‘’kalau lauak surau den dak sato do. Gadang bana doso wak biko.’’ Potong Atuik yang juga tidak setuju.
‘’batua,’’ timpal Lelan sependapat dengan Atuik, ‘’wak cari miang lauak atau ayam dakek siko. Kriteria nyo, saketek doso, resiko masuak panjarao dak ado. Hehe. Salikooon.’’ Lelan mencoba memberi usul lain.
‘’den sapandapek jo Lelan,’’ sahut Gaboh mantap. Setelah Gaboh setuju dengan ide Lelan, tampak pemuda yang lain mengangguk-angguk, seperti sepakat dengan usul tersebut.
Kemudian, masing-masing memberikan usul tentang target yang akan mereka sasar.
‘’ayam andeh,’’ usul Sidoek.
‘’lauak Pak Njuih,’’ kata Gaboh.
‘’ayam Iman,’’ Iju mengusulkan.
‘’lauak Mak Wardo,’’ tutur Lelan.
Dusun yang sejak tadi diam saja, setelah melihat semua bersemangat dan masing-masing memberikan usul, dia tertarik untuk berpartisipasi. ‘’dibandiang nan lain, nan paliang aman, saketek doso jo minim resiko, iyo ayam Mak Piri nyo,’’ kata Dusun , ‘’lokasi nyo dakek, nampak dari surau ko. Mak Piri dak ka tau gai kalau ayam nyo ilang. Ayam nyo banyak,’’ tutupnya meyakinkan.
Mendengar usul Dusun yang cemerlang, semua setuju. Kemudian diadakan lah pembagian tugas masing-masing. Talik dan Lelan menciduk ayam, Atuik bersama Gaboh mencari kayu dan menghidupkan api, Sidoek menyiapkan bumbu, sedangkan Dusun menunggu di teras surau. Terima bersih.
Malam itu bergadang ayam-lah mereka. Dua ayam Mak Piri disikat, dan tandas mereka sungkah.
Besok paginya, sekitar jam 7, Dusun dikagetkan oleh kedatangan Mak Piri kerumahnya sambil marah-marah. ‘’Sun, ayam den ilang duo ikua,’’ kata Mak Piri membuka laporannya.
Mendengar itu, Dusun tercekat, kaget dengan laporan tersebut. ‘’gawat ko. Mak Piri lah tau. Kalau sampai ketahuan aden terlibat, namo baik den sebagai kepala Dusun bisa tercemar,’’ pikir dusun di dalam hati.
‘’ado nan mangecek an, pelaku nyo Talik jo Lelan. Toloang Dusun uruih tu, suruah Talik jo Lelan mangganti ayam den. Kalau indak, den laporkan kasus ko ka Mak Surun. Bia masuak panajaro paja-paja galadia tu,’’ ancam Mak Piri.
Kembali Dusun kaget, tidak menyangka Mak Piri sudah mengetahui sebagian pelakunya. ‘’mati den. Kalau sampai Talik jo Lelan membocorkan aden terlibat, bisa dicopot den sebagai kapalo Dusun,’’ kembali Dusun membatin.
‘’dak itu doh. Kini pulanglah Mak Piri dulu. Bia den salasaian masalah ko. Den pastikan Talik jo Lelan mangganti ayam tu,’’ kata Dusun berjanji ke Mak Piri.
Kemudian Dusun mengumpulkan para pelaku yang terlibat, juga menceritakan ancaman Mak Piri jika tidak mengganti ayamnya.
Semua takut, dan setuju untuk mengganti kerugian Mak Piri. Akhirnya iuran-lah mereka, dan menyerahkan uang itu ke Mak Piri.
Selain itu, Dusun juga mengancam Talik dan Lelan untuk tutup mulut, tidak menyebut-nyebut namanya dalam kasus tersebut.
*Karya Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar