Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan hasil kajian KPK terhadap penyelenggaraan pilkada. Berdasarkan kajian KPK, lebih dari 80 persen calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor.
"Mahar
politik bukan dibayar bakal calon peserta, melainkan dibayar pihak sponsor atau
donatur atau pemodal. Maka pasti ketika duduk menempati posisi jabatan sudah
terjerat dan tergadai-gadai", ujar Ghufron.
Mahalnya
Mahar Politik untuk maju sebagai Calon Kepala Daerah (puluhan hingga ratusan
milyar) membuat Pilkada menjadi ajang transaksi kepentingan politik dan
ekonomi. Para peserta Pilkada membutuhkan dana yang sangat banyak untuk
keperluan "mahar" dan biaya operasional dalam pertarungan Pilkada.
Sementara ada pihak lain yang juga berkepentingan agar calon yang disponsori
mampu mengamankan kepentingan ekonominya jika terpilih nanti.
Kepentingan
dua pihak tersebut bertemu dalam suatu kesepakatan dimana biaya Pilkada
disponsori oleh cukong dan jika menang semua biaya beserta "bunga"nya
akan dibayar dalam bentuk kebijakan atau proyek pengadaan barang dan jasa.
Jika
calon yang disponsori memenangi Pilkada, dia akan sangat mudah diintervensi
cukong yang mensponsorinya. Pada gilirannya kebijakan yang dibuatnya akan
banyak korup. Dan yang paling banyak adalah memberi kemudahan cukongnya untuk
ikut dalam pengadaan barang dan jasa serta kegiatan-kegiatan Pemerintah Daerah
lainnya. Bahkan dalam urusan kepegawaian pun cukong ikut melakukan intervensi.
Oleh
karena itu perlu ada gerakan moral untuk tidak mendukung dan tidak memilih
Pasangan Calon Kepala Daerah yang didanai cukong. Bagaimana pun juga jika
mereka terpilih maka kebijakannya adalah bagaimana mengembalikan dan cukong
yang telah terpakai berikut bunganya. Sementara rakyat hanya di PHP dengan
janji.
Lubuk Basung, 28 Oktober 2020
0 komentar:
Posting Komentar