Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak sekedar jual jargon yang berisi puja-puji pada diri sendiri. Kami adalah satu-satunya paling berkualitas. Seperti iklan pedagang yang menjual kecap. Semuanya kecap Nomor 1, tidak ada iklan kecap Nomor 2.
Jargon
seperti iklan kecap memang sudah tidak asing bagi masyarakat kita. Masyarakat
sudah terbiasa mendengar puja-puji dan janji-janji yang seperti itu dan tidak
akan menuntutnya kemudian hari. Masyarakat sudah terbiasa mendengar dan melihat
langsung kandidat berjanji dan kemudian tidak memenuhinya.
Bagi
kandidat jargon adalah media untuk menarik perhatian pemilih sekaligus
mensosialisasikan visi misi secara instan. Cara ini cukup efektif membuat
masyarakat lebih cepat mengenali kandidat. Jika mendengar jargon, "Kami adalah
Superman !!" adalah pasangan A dengan nomor urut 1, "Kami adalah Spiderman
!!" adalah pasangan C dengan nomor urut 3, "Kami Ultraman !!" adalah pasangan B
dengan nomor urut 2, dan "Kami Malaikat !!" adalah pasangan D dengan nomor urut 4.
Jargon
ibarat salon yang mempercantik tampilan kandidat dimata publik. Kandidat
didandani sesuai jargon yang dipilih, Superman, Spiderman, Ultraman atau
Malaikat.
Tampilan-tampilan
seperti itu memang membuat masyarakat
bisa membedakan antara kandidat yang ada. Tetapi masyarakat sekaligus juga
sulit menentukan mana kandidat yang real atau fake.
Hal itu
dikarenakan jargon itu tidak sesuai fakta karena terkesan bombastis dan lebih
pada klaim sepihak. Mengaku sebagai Superman tetapi kenyataanya biasa-biasa
saja. Mengaku malaikat tetapi kenyataannya banyak sifat jahatnya.
Semua
kandidat seakan menjadi "luar biasa", sangat religius, pemurah, murah
senyum, santun, mudah akrab. Padahal 2 bulan sebelum ini masih terlihat sifat
aslinya yang bertolak belakang.
Menghadapi
kondisi yang selalu terjadi setiap momen pemilihan (legislatif maupun Pilkada)
bukan berarti kita pasrah dan asal pilih. Kita harus terus mengedukasi
masyarakat untuk menjadi pemilih cerdas.
Semakin
besar proporsi pemilih cerdas maka kualitas kandidat juga akan meningkat dan
pada gilirannya akan menghasilkan kepada daerah yang berkualitas. Pemilih
cerdas sangat menentukan bobot kualitas dan kompetensi pemimpin daerah yang
kelak terpilih secara demokratis.
Caranya
adalah kemauan bersikap independen dalam arti melepaskan emosional kedaerahan
dan paham politik. Dan yang tidak kalah penting adalah menjaga moralitas atau
mental dari motivasi pribadi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari
kandidat.
Selanjutnya
adalah mau menelusuri rekam jejak dan membandingkan dengan visi misi yang ditawarkan. Paling mudah
memang menelusuri rekam jejak para kandidat yang pernah jadi pejabat. Semua
rekamnya jejaknya tersimpan secara digital.
Misalnya
Bupati/Walikota yang menjadi kandidat Gubernur/Wakil Gubernur ukuran
kesuksesannya bisa dilihat dari faktor keberhasilan pendidikan dan kesehatan
didaerahnya. Mengapa pendidikan dan kesehatan? Karena itu adalah prioritas
utama pekerjaannya sebagai kepala daerah.
Misalnya, kita
tinggal membuka data Badan Pusat Statistik selama dia menjabat. Di bidang
pendidikan berapa angka partisipasi sekolah, berapa anak putus sekolah, berapa
perbandingan murid dengan guru, bagaimana penyebaran dan pemerataan guru?
Di bidang
kesehatan berapa persentase keluhan kesehatan masyarakat, berapa angka kematian
bayi, berapa angka kasus gizi buruk, berapa fasilitas kesehatan?
Itu ukuran
standar, jika mau lebih detail bisa ditelusuri bagaimana indeks kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan. Apakah masih banyak
pungutan/iuran pada usia wajib belajar? Apa pelayanan kesehatan masih
mengutamakan administrasi dan prosedur sebelum tindakan medis?
Apakah pelayanan terhadap masyarakat didaerahnya sudah mudah, murah dan cepat? Prestasi dan baiknya pelayanan masyarakat bukan diukur dari piagam-piagam yang tidak terkait kesejahteraan masyarakat
utamanya pendidikan dan kesehatan. Sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan tidak perlu diberikan perhargaan macam-macam.
Jika
jargonnya mengatakan bahwa dia Superman maka tinggal disearching apa saja yang
pernah dilakukannya sebelum ini. Semakin tinggi jargonnya semakin tinggi pula
tingkat tidak realistisnya. Semakin nyaring
bunyinya, semakin kosong isinya.
Kamaruddin
0 komentar:
Posting Komentar