Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Kabupaten Agam

Ibu kota dari Kabupaten Agam adalah Lubuk Basung, sebuah kota berstatus kecamatan.

Carito Lapau, Episode 1 : BASAMO MEMBANGUN SUMBAR MADANI

"Ah biaso sajo itu. Dulu paresiden nan kini ko takah itu juo. Indak salasai jadi gubernur, baru duo tahun, alah mancalon presiden", kato si Buyuang Mada.

Omerta, Justice Collaborator dan Mar Yanto

Sehebat-sehebatnya pelaku kejahatan pasti ada jejak/bukti yang tercecer sebagai titik awal penelusuran jejak sehingga mengarah kepada pelaku

Murid-Murid Nyiak Ajuik

Menurut kabar angin, beliau memiliki kemampuan supranatural. Banyak yang percaya bahwa beliau mampu menangkal hujan, ada juga yang meyakini beliau memiliki ilmu pamikek. Bukan ilmu memikat balam atau barabah, tetapi ilmu memikat lawan jenis. Selain ilmu gaib itu, Nyiak Ajuik juga memiliki keahlian dalam ilmu teknik.

Puti Ransani Turun dari Khayangan

Puti Ransani merasa rindu ingin kembali ke Kampung kelahirannya di Maninjau. Banyak hal yang membuat ingin segera pulang

Cinta dan Kematian (Berbagi kisah nyata dihari Jum'at ini)


Kematian yang datang menyapa Uni Des, seorang Kakak angkat, tetangga saat di lahan transmigrasi dulu, benar-benar membuat air mata ini kini mengalir. 

Beliau seorang guru SD. Kemarin masih ke sekolah, pulang sekolah masih memasak, dan aktivitas di rumah. Magrib Uda berangkat pengajian rutin warga di Trans, teman Uni datang untuk mengerjakan urusan sekolah, ada data yang perlu dikirim secara online. 

Usai Isya, Uda pulang ke rumah, dan teman Uni pamit. Uni minta ambilkan nasi pada anaknya. Beliau makan, dan makan obat. Beberapa Minggu yang lalu, Uni sempat dirawat di klinik desa, karena magh dan itu menimbulkan sesak napas. Usai makan obat,tadi malam, Uni bilang mau ke kamar. Baru menggeser duduk hendak ke kamar, beliau mengatakan pusing. Uda langsung memijat bahu dan kepala Uni, sambil duduk di belakang Uni. Berharap sedikit pijatan akan meringankan rasa pusing Uni. 

Uni menyandarkan badan pada dada Uda. Uda terus memijat. Saat sadar Uni diam, Uda mengira, Uni hanya pingsan. Perawat dan mantri datang ke rumah. Mereka mengatakan Uni sudah tidak ada, meskipun sempat disiapkan ambulan untuk membawa Uni  ke RS di pusat Kabupaten.

Uda meminta didatangkan dokter. Dokter datang dan memeriksa Uni. Dan memang sudah tidak ada lagi. Disitulah Uda baru percaya, bahwa Uni sudah pulang pada Allah Ta'ala. 

Banyak film, sinetron, juga novel atau pun tulisan berkisah tentang romantisnya cinta suami dan istri. Kekasih halal. Namun semua itu, hari ini kalah telak dalam penilaian Ipat, saat mendengarkan Uda Asril bertutur tentang kepergian Uni Des.

Di rumah duka tadi, Ipat berusaha kuat untuk tidak menangis saat Uda Asril bercerita. Ada Wahyu, Dwi, dan Selvi yang kami sudah lama tidak bertemu. Mereka tampak tegar, dan kami tak ingin meruntuhkan ketegaran itu dengan sikap konyol. Dalam beberapa bulan terakhir ini, beberapa kali Ipat ingin ikut dengan Uda Eri, suami Pat,  ke lahan Transmigrasi itu, ingin bertemu dengan Uni, dan bernostalgia, melihat rumah desa yang kami tempati awal menikah dulu, tapi kondisi badan Ipat tidak vit setiap kali Uda Eri berangkat untuk pengerjaan taman di SMA, tempat Uda Eri pertama kali mengajar di Sarolangun ini.

Tadi malam, sekitar jam 22.00, saat menulis cerita Baju Pengantin Untuk Calon Mertua, pada paragraf pertama, Ipat menulis daerah Tapan. Sejujurnya, saat itu ada rasa rindu yang dalam pada almarhumah. Tiba-tiba saja teringat, dan sepanjang menuliskan cerita itu ada kesedihan yang menyelimuti hati. Kesedihan yang tidak bisa Ipat mengerti. 

Uda Asril, dan almarhumah Uni Des adalah putra putri dari Indo Puro (Indra Pura) kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Beliau berdua mengabdikan diri di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Uda bertugas sebagai ASN di dinas peternakan, dan uni Guru SD. Cinta mereka luar biasa. Wajar jika kepergian Uni juga dengan cara yang luar biasa. 

Pelajaran yang sangat berharga sekali hari ini bagi Ipat dan suami. Semoga juga ada ibrah buat sahabat pembaca. Sudah seberapa besar cinta yang ada di hati kita pada pasangan kita, selama mengayuh biduk rumah tangga? Seberapa cepat kita peduli saat pasangan kita mengeluhkan sakit yang mungkin hanya kita anggap hal biasa? 

Tak terbayangkan, betapa sigapnya tadi malam itu Uda duduk dibelakang Uni, dan memijat pundak serta kepala Uni. Pusing itu hanya 'sebab' untuk pulang. Beliau sehari-harinya orang yang sangat energik. Bahkan tadi sempat Ipat saksikan, teras rumah beliau penuh dengan pot berisi bunga, yang terawat. Walaupun Uni orang yang mandiri, tapi Uda sigap, ia langsung datang saat Uni mengeluh pusing, padahal Uda juga baru pulang dari pengajian, tentunya juga lelah. Tapi begitulah Cinta mereka yang sesungguhnya, selalu ada ketika dibutuhkan.

Innalillahi wa Inna ilaihi raajiuun.

Semoga Allah tempatkan Uni di tempat terbaik. Uni seorang istri yang sangat diridhai oleh Uda. 

Semoga kelak kita bisa berjumpa kembali. 

Sarolangun, 13 November 2020.

By Iphat Chan
Share:

Baju Pengantin Untuk Calon Mertua


Umurku dua puluh lima tahun, saat ada niat yang kuat di hati untuk menikah. Saat itu, Ikhsan, kawan satu team dalam proyek saluran Irigasi di Tapan, ingin menikahiku. Kami sering dalam satu perjalanan bersama dengan mobil kantor dari Padang ke Painan. Aku selalu duduk di depan, sebagai satu-satunya perempuan dalam proyek tersebut. 

Begitu juga ketika ada proyek jalan di Kapur IX kabupaten 50 kota. Anggota team teknis telah berganti, kecuali aku dan Ikhsan, sebagai orang kepercayaan Pak Mulyadi. 

"Kalian cocok, tunggu apa lagi? Di kantor ini tidak ada larangan menikah satu team kerja kok." Pak Mulyadi menyemangatiku dan Ikhsan. 

Aku type perempuan yang tidak feminim, dari kecil memang banyak berkawan dengan anak lelaki, dan kebiasaan itu berlanjut sampai dewasa, sampai kuliah pun yang kupilih adalah jurusan yang lebih banyak anak lelaki. Aku tidak pernah mengenal pacaran, meskipun tentu pernah jatuh cinta. 

Dengan Ikhsan, tidak ada debar khusus, tidak ada aliran listrik di hatiku saat kami bersama. Tapi cara dia memperlakukanku dengan hormat dan tidak ada guyonan kasar, itu sangat kuhargai. Kepeduliannya juga tinggi saat Abah dirawat di RS, begitu juga saat Resti adik bungsuku butuh biaya kuliah. Saat itu belum gajian dan aku tidak punya uang. Tanpa setahuku, Ikhsan mengirimi Resti uang. Dia pinjam HP- ku usai Resti menelpon, rupanya saat itu dia menyalin nomor HP Resti. 

Banyak kebaikan-kebaikan Ikhsan terhadap diriku, juga team proyek kami. Latar belakang kehidupan Ikhsan, yang yatim sedari kecil, telah membentuk pribadinya, menjadi orang yang selalu berempati pada kesusahan orang lain.

"Saya sudah puas miskin, Restu. Saya juga puas menerima uluran kebaikan dari siapa saja. Makanya kini, saat punya uang, saya juga ingin puas dalam berbagi." Begitu Ikhsan bercerita saat kutanya, kenapa dia mudah saja membantu orang, bahkan orang yang baru dikenal.

Hari itu, hari Sabtu, pulang dari proyek jalan di Kapur IX. Kami sempat berfoto di kelok sembilan, meskipun dengan memakai baju seragam proyek. 

"Kita foto berdua, yuk. Sekali ini saja." pinta Ikhsan. 

Aku diam, aneh rasanya, baru tadi pagi saat minum kopi di warung Amai Limah, dia mengatakan akan meminangku, kini dia minta foto berdua dan bilang sekali saja.

"Ndak ah ... Kalau hanya sekali, jadi pas nikah besok aku foto sama siapa ?" Aku mencoba bergurau menghilangkan rasa was-was yang menyelimuti hatiku. 

Ada rasa grogi yang tiba-tiba kurasakan saat berdiri disisi  Ikhsan. Teman -teman satu team mencandaiku saat wajahku terasa panas. 

"Maco .... Maco .... Mano Maco?" Pak Taufani mencandaiku. (Ikan asin, ikan asin, mana ikan asin?) Maksudnya, karena pipiku sudah merah seperti bara, akan bagus kalau disediakan ikan asin. Menu ikan asin yang dibakar merupakan kesukaan hampir seluruh masyarakat Minang. 

Dari kelok sembilan sampai ke Bukittinggi, aku hanya diam, dan sibuk memandang keluar jendela mobil. Menikmati alam nan sejuk dalam lingkung bukit barisan. Hamparan sawah dan air yang mengalir pada parit sepanjang jalan membuat suasana hati semakin damai tapi bergemuruh tak menentu. Mentari bersinar cerah, secerah hatiku, dan awan sesekali melintasi kami, memberi rasa nyaman dalam syukur yang tiada henti kuucap di dalam hati.

*******

Di Bukittinggi, kami berpisah dengan team. Ikhsan mengajakku belanja di pasar konveksi Aur Kuning. Pasar yang menyatu dengan terminal Bus kota Bukittinggi itu, merupakan Tanah Abangnya Pulau Sumatera. Harga kain jauh lebih murah di pasar ini. 

Ikhsan mencari bahan dasar celana. Aku mengantarnya ke Toko Remaja, toko yang banyak menyediakan dasar celana dan jas. 

"Ini untuk acara nikah kita," ucap Ikhsan saat kami keluar dari toko.  

Ketika akan kembali ke parkiran di jalan Bay Pas, Ikhsan mengajakku pada toko yang menjual kain borkat di pinggir jalan. Kupikir Ikhsan akan membeli kain dasar untuk Ibunya. 

"Kamu suka yang mana? Mau Ndak yang warna krem? Biar serasi dengan dasar yang tadi?" 

"Bukannya untuk Ibuk?" tanyaku ragu. 

"Untuk persiapan kita." 

"Tapi kamu belum bicara ke Abah." Aku sedikit protes. 

"Kan habis ini kita ke rumah kamu." jawabnya dengan santai. 

Ada desiran halus yang kurasakan saat memilih kain. Ikhsan yang biasanya tampak biasa, saat itu tampak lebih bersih wajahnya, lebih tampan dari biasanya. Aku jadi hilang keberanian untuk mengangkat wajah saat dia menawarkan beberapa kain yang berwarna krem. 

"Aku mau, yang sedikit bunga saja, nanti biar kupasangi payet." pintaku. 

Ikhsan membayarkan dasar borkat tersebut. 

Dari pasar Aur Kuning, kami langsung ke rumahku di Ladang Laweh, tak jauh dari pusat kota Bukittinggi. 

Ikhsan bicara pada Abah, Alhamdulillah, Abah langsung setuju. Padahal Abah biasanya selalu menolak setiap ada kawan yang ingin dekat denganku. 

Hari itu, Ikhsan memintaku untuk ambil cuti kerja. Kami merencanakan acara lamaran adat dan nikah tidak berjarak terlalu lama. 

"Satu bulan rasanya cukup, Bah. Ikhsan takkan adakan acara besar, di Malalo, cukup acara mendoa "Sorang Malin" saja, Bah. Jika Abah dan Restu berkenan, nanti undangan acaranya di sini saja, biar Ikhsan tambah nanti uang untuk pesanan catering." 

Sebuah rundingan yang semua terasa sangat dipermudah dan dimudahkan oleh Ikhsan. Aku jadi semakin mengaguminya. 

Siang itu kami ke Pasar Atas Bukittinggi, ke tempat langganan Abah menjahit jas beliau sejak muda. Ada penjahit keturunan India yang jadi  langganan Abah. Aku pun langsung menjahit baju untuk acara nikah, sekalian juga beli Payet, benang dan beberapa jarum. Kami jalan bertiga dengan Abah siang itu.  Seperangkat seprai, selimut, serta kain gorden untuk riasan kamar kami beli sorenya di Aur Kuning, sebelum Ikhsan mengantarku dan Abah pulang.

Ada rasa hangat yang menyelimuti hatiku saat mengantar Ikhsan ke gerbang,ketika ia hendak pulang ke rumah Ibunya, ke Malalo. Sebuah perkampungan antara Padang Panjang dan Solok. 

Senin pagi, usai Subuh, aku naik travel ke Padang. Ikhsan tidak masuk kerja, kata Pak Lukman, Ikhsan demam. Sesuai saran Ikhsan, aku mengajukan surat permohonan cuti pada Pak Mulyadi. Beliau menyetujui permohonan ku, lagi pula laporan keuangan proyek sudah selesai untuk bulan kemarin. 

"Semoga semuanya lancar." Pak Mulyadi mendoakan rencanaku dan Ikhsan. 

Seminggu berlalu, Ikhsan tidak menghubungiku, pesanku pun tidak dibuka. Kuberanikan diri menelpon, tidak diangkat. 

Baju jas Ikhsan telah selesai, bajuku pun sudah selesai. Aku membayar baju tersebut. Dadaku terasa ngilu saat menyentuh baju Ikhsan. Ada rasa yang tak bisa kupahami. 

Malam itu, aku mulai menjahit manik mutiara dan payet  pada baju dasar borkat berwarna krem tersebut. Seminggu aku full menyelesaikan pemasangan manik mutiara dan payet kecil yang bertabur. Baju itu tampak lebih mewah. Paginya, ada laki-laki muda berkumis tipis yang datang mengantar kain Songket Tenunan Pandai Sikek. 

"Maaf, tapi saya tidak pernah memesan kain songket." kataku, saat pemuda itu mengatakan,  bertugas mengantarkan pesanan untuk Restu Amelia. 

"Yang pesan, kawan Ama, Pak Ikhsan, katanya untuk calon istrinya." Lelaki muda, yang kurasa masih duduk di bangku SMA itu tersenyum.

Aku membuka kain yang sudah dijahitkan menjadi kain sarung. Kucoba padukan dengan dasar baju borkat, kupilih juga jilbab yang senada. Lama aku mematut diri di depan cermin, sebelum akhirnya timbul niat untuk berselfi ria, dan mengirimkannya pada Ikhsan. 

[Uni rancak] begitu yang kubaca, balasan dari nomor Ikhsan. 

[Iko siapo? Baa kok dak Ikhsan yang pacik HP?] tanyaku. (Ini siapa? Kenapa bukan Ikhsan yang pegang HP?)

[Iko Mela, Ni. Adiak Uda Ikhsan. Jadi .... Uni alun dapek kaba tentang Uda?] (Ini Mela. Adik Uda Ikhsan, jadi Uni belum dapat kabar tentang Uda?)

Darahku berdesir seketika. Langsung kutelpon nomor Ikhsan, tapi tidak diangkat. Kutemui Abah yang saat itu ada di ruang tamu. Abah hanya diam saat kuceritakan semua hal tentang Ikhsan. Matanya berkaca. 

"Besok, Restu izin ke Malalo Abah. Restu mau antar baju Ikhsan, sekalian ingin memastikan, ada apa sebenarnya." 

"Tidak usah! Biar Ibunya yang datang besok." Abah berlalu masuk kamar. 

Aku berpikir, kalimat Abah barusan, apakah Abah sudah bicara dengan keluarga Ikhsan? Lalu kenapa Abah menyebut kata "besok". Semua teka-teki itu terjawab juga keesokannya.  Ibu Ikhsan datang bersama Mela dan Widya.  Mereka membawa cincin yang ingin Ikhsan berikan untukku. 

"Ini amanah Ikhsan, pakailah dulu, nanti Ibu akan ceritakan tentang Ikhsan." Begitu kata Ibu Ikhsan saat memberikan cincin untukku. Aku memakainya tanpa ragu. Ada rasa syukur dan terharu. Ikhsan tak pernah melihatku memakai cincin emas, itu yang diceritakan Ikhsan pada Ibunya sejak dulu. Ternyata, itu juga yang menjadi dasar bagi Ibunya untuk mau menerimaku sebagai calon menantu. 

"Sudah lama Ikhsan menyukai Restu, tapi mungkin Restu tidak memperhatikan, karena lebih fokus pada pekerjaan." tenang sekali Ibunya bicara. Aku jadi malu, beberapa kali kami pernah singgah ke rumah Ikhsan bersama teman kantor. Aku merasa berada dirumah sendiri, saat membantu ibunya memasak, bahkan cuci piring setelah makan bersama. Sekarang, berhadapan dengan Ibunya jadi terasa canggung. 

"Restu, sebenarnya, Ibu sudah kabarkan tentang Ikhsan pada Abahmu, tapi beliau tidak sampai hati untuk menjelaskan, begitu juga dengan Pak Lukman, Pak Mulyadi, dan kawan kantor kalian. Sepulang dari sini, akhir bulan kemarin, Ikhsan demam, sempat makan obat sekali malam itu. Usai Subuh, Ikhsan meninggal. Tentang semua yang sudah kalian beli bersama, itu untukmu, Ikhsan mungkin ingin memberikan kenang-kenangan untukmu. Restu .... Setelah ini, jika ada yang melamarmu, terimalah, jangan jadikan kepergian Ikhsan sebagai batu penghalang."  

Angin dari Marapi terasa dingin menyapa pipiku. Sekujur tubuhku terasa dingin seketika. 

Serasa baru kemarin, di warung kopi Amai Limah, dia mengatakan ingin menikahiku, kuterima, dan kami membeli kain dasar untuk baju saat akad nikah, serta perlengkapan kamar dihari yang sama. Dadaku terasa sesak.

Kupejamkan mataku sekuat yang kubisa. Tenggorokanku seketika terasa sakit. Aku bersandar pada kursi rotan yang kududuki, sambil tengadah, menatap lampu gantung hias dari perak, warisan keluarga. Kutahan tangisku. 

Seperti Ikhsan yang bertahun-tahun bisa menahan rasa padaku, tanpa aku tahu. 

*********

Sore ini, disebuah rumah panggung di Malalo,  

Aku menatap hamparan sawah dan beberapa pohon alpokat yang berjejer di jalan akan masuk ke rumah Ikhsan. Abah telah menikah dengan Ibu Ikhsan. Ibu memakai baju pengantin yang kusiapkan. Sementara Abah memakai baju yang rencananya dipakai Ikhsan. 

Resti merangkul pundakku. Matanya berkaca, penuh haru. 

"Rencana Allah selalu yang terbaik, Ni." Dia merangkulku. Hampir enam bulan menahan rasa dan air mata, akhirnya tumpah juga.

Aku menatap ke pinggang bukit, ada taman bunga kecil berpagar bambu, di ujung kebun milik Ibu Ikhsan. Disana Ikhsan dimakamkan. Ada rasa yang tak bisa kuceritakan, sesuatu yang tak pernah kurasakan pada lelaki lain selain Ikhsan. Entahlah, apakah itu cinta, atau sekedar rindu pada kawan yang selalu mengisi hariku selama beberapa tahun. Dulu aku tak pernah merasakannya. Tidak pernah serindu saat ini. 

Ibu memelukku, mengecup dahiku, juga kedua pipiku. Aku diam saja, ujung telunjukku menyentuh bordiran di lengan baju pengantin Ibu. Sudah belasan tahun, aku tak pernah merasakan pelukan seorang Ibu. Sejak Ibuku meninggal, saat aku masih di kelas dua SMP. Selama itu, Abah tidak pernah menikah. Berniat pun tidak pernah. Abah fokus mendidikku dan Resta serta Resti.  

"Kebaikan yang ditanam Ikhsan, kembali pada Ibu." Akhirnya kalimat itulah yang terucap dari bibirku. 

"Tidak, kebaikan Ikhsan, untuk kita sekeluarga." Beliau kembali merangkulku. Mela, Widya dan Resti ikut-ikutan merangkulku.

Rasa itu pun jadi berbeda. Ikhlas menerima ketetapan Allah, akan membuat kita bisa mensyukuri nikmat yang ada. Hidup pun terasa lebih bahagia. 

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Sarolangun, 12 November 2020. 

Mendoa Sorang Malin : Acara syukuran sederhana yang dipimpin seorang ulama/ustadz. 

Salam dan doa terbaik untuk setiap Ayah yang setia, dan penuh kasih pada anak-anaknya. 

Selamat hari Ayah.

By Iphat Chan.
Share:

Melawan Sakit Dengan Impian

Gadis kurus berjilbab merah itu terbaring tak berdaya di ruang instalasi perawatan paru-paru RS. Ahmad Mukhtar Bukittinggi. Ruang perawatan paru-paru itu, paling ujung, di sampingnya adalah gedung untuk ruang mayat. 

Mety, nama gadis itu, sahabat yang selalu energik, dan suaranya lantang saat ada yang tidak sesuai dengan aturan agama yang kami anut. Dia mahasiswi fakultas syari'ah di sebuah perguruan tinggi Islam di Sumbar. 

Beberapa bulan sebelumnya dia tengah sidang proposal, untuk menyusun skripsi. Tapi takdir mengantarnya ke ruangan ini, bernapas dibantu dengan oksigen dari tabung besar. Ada juga darah yang ditransfusikan serta inpus yang menetes perlahan dan mengalir ke tubuhnya. Alat deteksi jantung juga menempel di tubuhnya. Sesekali dia terbatuk.  Ibu dan ayahnya hanya menatap iba dan sudah putus harapan. Sesekali kulihat ayahnya yang berbadan tegap itu, menatap ke luar ruangan sambil menghapus air matanya yang hampir saja mengalir. 

Darahku berdesir ketika Mety terbatuk untuk ke sekian kalinya. Aku seperti mendengar batukku beberapa tahun yang lalu, saat badanku habis. Berat badan turun drastis lebih sepuluh kilo dalam satu minggu saat itu. Batuk yang semula aku tidak percayai kalau itu karena "tubo". 

Aku menatap bola mata Mety dengan tajam. Dia patah semangat. Aku mendekat agar bisa menatap jelas iris matanya. Kurogoh kantong jaketku, dan mengeluarkan senter kecilku. Aku minta izin memeriksa iris mata Mety. Mata itu jendela jiwa dan raga. Tidak salah lagi, mata Mety menerangkan hal yang sama persis dengan apa yang kualami dulu. Mata itu jelas menunjukkan jika Mety dalam pengaruh sihir yang kuat. 

"Engku, sakit Nety tidak ditemukan di rumah sakit ini kan?" tanyaku menyelidik. 

Engku Sutan Caniago, ayah Mety memperbaiki duduknya. Beliau kaget.

"Kamu tau dari siapa? Kami selalu mengatakan pada yang melihat, Mety TBC, meski pun dokter sampai hari ini belum menemukan hasil untuk penyakit Mety. Kami akan pulang besok, tidak ada lagi harapan sembuh kata dokter." Engku bicara agak bernada tinggi dalam rasa kecewanya. Mungkin karena sudah buntu pikiran. Kami terdiam bersama.

"Uni, saya rela mati dari pada menyusahkan Apak dan Amak," ucap Mety memecah suasana.

"Mety, tidak akan mati seseorang kecuali sudah  sampai janji dengan ketetapan Allah. Uni pernah lihat orang yang sakit seperti ini, tiga hari sakit, meninggal, tapi Allah telah panjangkan umur Mety, lihatlah, Uni seumur hidup baru ini menyaksikan kulit pembalut tulang, tampak membayang tulang Mety, tampak syaraf Mety. Betapa besar kekuatan Allah yang Allah berikan pada Mety. Semua pasti ada hikmahnya. Ada nikmat luar biasa dibalik cobaan yang juga luar biasa ini." Aku mengangkat tangan Mety yang dialiri infus. Tangan itu begitu ringan, tulangnya membayang putih, entah kemana pergi dagingnya. 

"Mety mau menikah dan punya anak?" tanyaku. 

Diluar dugaanku, dan mungkin juga di luar pikiran keluarganya, Mety menjawab dengan yakin.

"Mau, Uni!"

"Mintalah umur yang panjang dan berkah, minta sehatkan badan Mety pada Allah. Bagaimana mau mengurus anak, jika Mety tidak bisa duduk sendiri." 

Mety tertawa, dia mungkin tengah membayangkan ada anak yang berlari dengan lincah. 

"Andai hidupku panjang, Uni. Aku mau usahakan jalan bagus ke kampungku, agar tidak terlalu terisolir." Dia mulai berazzam.

Air mataku mengalir deras. Ingin rasanya kupeluk tubuh kurusnya, andai tidak ingat banyaknya selang yang menghalangi.

Udara dingin bertiup masuk ke ruang perawatan, dari pintu yang terbuka lebar saat perawat masuk. Perawat mengingatkan akan jam besuk yang telah habis. Aku melirik jam, tepat jam sembilan malam. 

"Engku, kalau sudah pulang ke rumah, saya akan datang ke rumah Engku. Saya mau memasak gulai bukek untuk acara nikahnya Mety." Aku berusaha mencandai Mety.

Dia tersenyum. 

"Awas saja, kalau aku nikah, Uni hanya foto -foto menyambut tamu!" Mety mengancamku dengan suara yang kuat, dan dia tertawa. Kami pun ikut tertawa saking bahagianya melihat gadis baik itu telah bersemangat. 

Aku pamit pulang. Engku Sutan Chaniago mengantarku keluar ruangan. 

"Terima kasih Pinto, sudah lama dia tidak tertawa, jangankan tertawa, tersenyum pun sudah berbulan tidak pernah." Engku Sutan berterima kasih. 

"Engku, Engku masih menyimpan ilmu hitam?" tanyaku di koridor rumah sakit. 

Beliau kaget, wajahnya merah padam. Entah dari mana keberanian ini datang untuk bertanya. Di kampung Mety, semua tahu jika Engku caniago itu seorang dukun berilmu hitam. Sudah banyak korbannya.

"Sudah Engku buang tiga bulan yang lalu."

"Engku, tidakkah terlintas di pikiran  Engku, anak Engku itu kena tubo?" 

Beliau diam, namun kepalanya mengangguk. 

*****

Seminggu berlalu, aku datang menemui Engku Sutan Caniago dengan membawa rekaman MP3 Ruqyah dalam flas disk. Aku menyarankan agar dihidupkan pakai speaker di dekat Mety. Baru saja dihidupkan, Mety mutah- mutah. Tidak lama setelah itu dia lebih segar dan minta makan. Banyak makannya, dia minta makan nasi pakai sayur. Dan sedikit sambal. Padahal sudah lama dia hanya makan bubur, itu pun hanya sedikit yang bisa dia telan. 

Beberapa hari setelah itu, Ustadz Zul datang meruqyah Mety, dan Alhamdulillah Mety semakin membaik. Ustadz mengajarkan agar Mety meruqyah diri sendiri. 

"Uni, Mety mengasari seorang kawan laki-laki, dia sakit hati pada Mety. Jika sehat, Mety akan temui dia dan minta maaf. Kata-kata Mety memang sangat kasar saat itu. Mety mengatakan dia sudah gila, sudah keluar dari Islam dengan pemahamannya, Mety lupa kalau dia itu anak filsafat yang pemikirannya melampaui cara berpikir Mety." Dia mulai menceritakan kisah awal sebelum dia sakit. 

Mety menjalani terapi herbal dan terapi zikir dalam sebuah majlis. Dia sehat, dan mewujudkan impiannya. 

Tepat saat dia sehat, dia mulai ikut dalam program pembangunan di kampungnya. Mety membuat proposal pembangunan, mengawasi pelaksanaan pembangunannya, dan sampai akhirnya semua selesai. 

Dia datang mengunjungiku, memintaku datang ke kampungnya. 

"Untuk membuat gulai bukek?" tanyaku saat itu.

Mety tertawa lepas. 

"Jodoh Mety rahasia Allah Ni, tidak ada yang membayangkan sebelumnya, tidak  juga Mety. Nanti Mety nikah dan punya anak, melihat dia tumbuh ceria, dan disitulah waktunya Mety akan pulang. Saat azzam telah sampai."

Mety bicara seolah tengah menyaksikan alam lain, matanya menatap plafon rumahku.

******

Mety menikah dengan seseorang yang dikenalnya dari dunia maya, seperti ucapannya,  dia menikah dengan seseorang yang tidak terbayangkan sebelumnya, termasuk oleh dirinya. 

Mety punya anak, tinggal dalam area kebun sawit di tanah suaminya. Dia melahirkan seorang anak lelaki yang kemudian tumbuh menjadi anak yang lincah.

Kematian itu datang menyapa. Mety pulang dalam senyum yang mengembang. Aku tahu kabar kematiannya setelah beberapa tahun dia meninggal, itu pun karena tidak sengaja bertemu dengan orang kampungnya di media Maya, FB. 

Lama aku terdiam setelah mendengar kabar kepergiannya. Jadi teringat percakapan dalam ruang tamuku dulu. Mety mengalami apa yang dia ceritakan sambil menatap plafonku. Apakah saat itu Mety melihat apa yang akan terjadi? Wallahu 'alam bishawab. Bisa jadi mata batinnya telah melihat, dan aku hanya bisa menyimak dan menyimpan percakapan itu dalam memoryku. 

Dia wanita  Sholeha yang selalu shalat tahadjud. Wajahnya bersih, matanya tajam, Dia selalu bersemangat sejak pertemuan kami di ruang perawatan paru RS Ahmad mukhtar, malam itu. 

Aku, Puti Nandi Pinto, menceritakannya, karena aku tengah rindu pada Mety. Saat aku patah semangat, saat aku sakit dan drop, bahkan hanya sekedar demam biasa pun aku selalu ingat perjuangan Mety untuk sembuh. 

Tetap membangun harapan, punya impian dan niat yang kuat untuk mencapainya, adalah jalan yang ditempuh Mety untuk melawan rasa sakitnya. Dia dan harapan yang tak terputus pada yang maha penyembuh, Allah Azza wajalla. Meskipun, kemudian dia berdamai dengan takdir untuk pulang pada Allah, membawa sedikit rasa sakit akibat bekas racun sihir tubo. 

Rasulullah juga membawa rasa sakit (saat akan meninggal) akibat racun dari wanita Yahudi yang meragukan kenabian beliau. 

Kejahatan bisa saja dimaafkan, mendapatkan maaf, tapi tetap saja menyisakan luka dan sakit. Semua akan tetap dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Jika masih ada yang menyimpan seribu satu niat jahat, ada baiknya berpikir ulang untuk melakukannya,apa lagi jika itu bisa melenyapkan nyawa seseorang. Ada masanya mulut terkunci, tapi anggota tubuh yang lain akan menjadi saksi atas kejahatan yang dilakukan. Selalu ada balasan dari setiap hal yang dilakukan. Terkadang, kejahatan yang dilakukan, berdampak buruk pada keluarga. Begitu juga kebaikan yang dilakukan pada  orang lain, bisa melapangkan keluarga sendiri tanpa disadari.

🌺🌺🌸🌸🌺🌺🌸🌸🌺🌺🌸🌸🌺🌺🌸🌸

Sarolangun, 3 November 2020.

Tubo : tuba, sihir racun melalui makanan.

Gulai bukek : Nangka untuk gulai yang direbus dan kemudian dimasak dengan kuah sate Padang. Ini merupakan kuliner yang disajikan dalam pesta adat pada beberapa daerah di ranah Minang.


By Iphat Chan
Share:

Catatan Pilgub Sumbar, Kekalahan Gerindra di Halaman Depan Rumah Sendiri


Meskipun belum semua daerah menyelesaikan perhitungan suara Pemilihan Kepala Daerah seretak di Sumatera Barat tahun 2020 hasil akhir sudah hampir bisa dipastikan. Partai Keadilan Sejahtera berhasil mempertahankan Kursi Gubernur Sumatera Barat untuk ketiga kali secara beruntun. Pasangan Mahyeldi (Kader PKS) – Audy Joinaldy (Kader PPP) berhasil memenangkan pertarungan sengit dengan pasangan Nasrul Abit (Kader Gerindra)– Indra Catri (Kader Gerindra) calon usungan Gerindra semata serta pasangan Mulyadi (Kader Demokrat) – Ali Mukhni (Kader PAN). Berdasarkan data sementara KPU, pasangan Mahyeldi – Audy Joinaldy meraih 30,9% suara unggul lebih 2% dari dari Nasrul Abit – Indra Catri.

Kekalahan Pasangan Nasrul Abit - Indra Catri yang dibalihonya tertulis “Pilihan Prabowo” merupakan pukulan yang sangat telak bagi Gerindra. Bagaimana tidak, Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani pernah berkata pada HUT ke-12 Partai Gerindra di Padang beberapa waktu lalu, "Sumatera Barat adalah halaman depan Partai Gerindra". Sumatera Barat bagi Gerindra besutan Prabowo Subianto merupakan simbol kejayaan, hal itu dibuktikan sudah 2 kali pilpres Prabowo menang telak, tahun 2014 Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajjasa menang lebih 75% suara. Bahkan sewaktu Pilpres 2019 kemarin Prabowo-Sandiaga menang sangat telak dengan meraih 2.488.733 suara, 6 kali lipat suara Jokowi-Ma'ruf yang hanya 407.761 suara.

Pun demikian dengan Pemilihan Legislatif, 2019 Gerindra sangat digdaya, selain berhasil 3 orang kadenya menjadi Anggota DPR RI dan 14 orang kader menduduki kursi DPRD Propinsi Sumatera Barat. Bahkan dari 590 alokasi kursi DPRD Kabupaten/Kota se Sumatera Barat, Gerindra berhasil menguasai 97 kursi atau 16 persen lebih. Kader Gerindra menjadi Ketua DPRD Propinsi Sumatera Barat dan Ketua di 11 dari 19 DPRD Kabupaten/Kota.

Gerindra memiliki modal yang sangat kuat menuju ajang Pilgub Sumbar, yaitu kemenangan besar waktu Pileg dan Pilpres 2019 . Ditambah figur Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang mumpuni dengan slogan Sumbar Unggul.

Nasrul Abit adalah birokrat senior yang meniti karir mulai dari Wakil Bupati Pesisir Selatan dua periode; Bupati Pesisir Selatan dua periode dan saat ini sebagai Wakil Gubernur Sumbar.

Sementara itu, Calon Wakil Gubernur Indra Catri adalah seorang birokrat yang sangat berpengalaman, beberapa kali menjabat kepala dinas di Kota Padang. Selanjut menjadi Bupati Agam  selama dua periode berturut, dan saat ini masih aktif sebagai Bupati.

Tetapi ternyata modal tersebut belum cukup untuk memenangi Pilgub Sumbar. Nasrul Abit - Indra Catri kalah dengan selisih diperkirakan lebih dari 2% atau sekitar 50 ribu suara.

Disatu sisi kekalahan pasangan Nasrul Abit - Indra Catri dari Mahyeldi - Audy Joinaldy yang diusung PKS dan PPP merupakan pembalasan atas kekalahan di Pemilihan Wagub DKI yang diderita PKS. Disisi lain, kekalahan di halaman depan rumah Gerindra sama seperti ketika Brazil dilibas Jerman 1 - 7 pada Semi Final Piala Dunia 2014.

Apakah ini efek Kasus Menteri KKP Eddy Prabowo? Sepertinya tidak karena di beberapa titik Gerindra berhasil memenangi Pilkada. Di Kota Bukittinggi, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Pesisir Selatan dan Solok Selatan jagoan Gerindra menang.

Secara proporsional sebaran suara pemilih Gerindra cukup mengagetkan walau dibeberapa Daerah terlihat “wajar”. Di Kabupaten Pesisir Selatan (daerah asal Nasrul Abit) Pasangan Nasrul Abit – Indra Catri berhasil meraih 160 ribu suara atau 72% atau berkontribusi 25% terhadap total suara yang diperoleh pasangan ini. Di Kabupaten Solok Selatan pasangan Nasrul Abit – Indra Catri juga meraih suara terbanyak sejalan dengan kemenangan pasangan Bupati usungan Gerindra.

Tetapi mengagetkan ketika Pasangan Nasrul Abit – Indra Catri kalah di, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar dan Kota Bukittinggi padahal Gerindra adalah penguasa di daerah tersebut dan dalam pilkada serentak 2020 ini berhasil memenangkan Calon Bupati/Walikota yang mereka usung.

Dan yang dramatik adalah kekalahan pasangan Nasrul Abit – Indra Catri di Kabupaten Agam. Pasangan Nasrul Abit – Indra Catri menempati urutan ketiga dengan hanya meraih 54 ribu suara atau kurang dari 10% terhadap kontribusi suara total yang diperoleh. Suara terbanyak  didapat oleh Mahyeldi – Audy Joinaldy dengan 60 ribu suara, disusul Mulyadi – Ali Mukhni 56 ribu suara.

Padahal Kabupaten Agam adalah basis Gerindra, sewaktu Pileg 2019 dengan meraih 9 kursi (terbanyak) dari 45 kursi DPRD.  Disamping itu merupakan daerah asal Calon Wagub Indra Catri yang merupakan Bupati Agam sejak tahun 2010.

Memang dalam Pilgub Sumbar 2020 ini Kabupaten Agam menjadi Gudang kandindat yaitu 4 peserta Pilgub (3 Calon Gubernur dan 1 Calon Wagub) berasal dari sini. Namun sebagai petahana Bupati 2 periode terakhir seharusnya Kabupaten Agam bisa dikuasai Pasangan Nasrul Abit – Indra Catri seperti halnya Kabupaten Pesisir Selatan. Jika itu terjadi maka Pasangan Pilihan Prabowo ini akan memenangi Pilgub Sumbar.

Tetapi, sudah lah. Pilkada serentak 2020 sudah selesai dan yang penting bagaimana menuju 2024 dimana ada Pilpres, Pileg, dan Pilkada serentak. Pertanyaannya, masihkah Sumatera Barat menjadi halaman depan Rumah Gerindra?

Setelah tertangkapnya Menteri KKP Eddy Prabowo oleh KPK, hasil Pilkada serentak di Sumatera Barat mungkin merupakan pukulan telak kedua yang diterima Prabowo Subianto. Dari 14 Pilkada, 11 daerah yang dikuasai Gerindra, tetapi hanya 4 yang berhasil dimenangkan.

Sepertinya Prabowo Subianto dan Gerindra harus berbenah sebelum menuju 2024. Kepemimpinan di tingkat pusat sangat berpengaruh sampai ke akar rumput. Posisi Prabowo Subianto sebagai “lawan” Joko Widodo pada Pilpres dan kemudian berubah menjadi “anak buah” Joko Widodo membuat “nafsu” pemilih Gerindra di Sumatera Barat berkurang. Kebijakan Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum dalam mempersiapkan, memilih kader dan kandidat, serta membuat kebijakan partai dalam hubungannya dengan pilkada tidak begitu signifikan. Di beberapa titik Gerindra walau bisa mengusung pasangan calon tanpa koalisi malah tidak memilih kadernya untuak dicalonkan, sebaliknya yang diusung adalah kader partai lain.

Bagaimanapun juga seharusya sekuat apapun pukulan yang menerpa Prabowo Subianto itu tidak lantas membuat Gerindra loyo menuju 2024. Sebaliknya itu membuat Prabowo dan Gerindra semakin kuat! Semoga.

 

Share:

Mendadak Tegas


Jembatan itu sudah tua. Bentuknya sangat kuno. Dua tiangnya seperti onggokan batu kali yang tersusun rapi. Diatasnya melintang rangkaian besi padat yang sangat kokoh. Dibangun pada masa penjajahan. Orang senagari menyebutnya Jembatan Lubuk Kalang. Perannya sangat vital bagi kehidupan nagari, karena menghubungkan dua wilayah yang dipisahkan oleh batang air.

Selain menjadi akses penghubung utama bagi warga untuk melakukan aktivitas, jembatan ini kadang dijadikan sebagai tempat berkumpulnya anak muda. Banyak hal yang mereka lakukan disana. Seperti mencari sinyal hape, ngobrol-ngobrol, bacewek bagi yang punya pacar, bersantai sembari menikmati indahnya gunung danau, bahkan sebagai tempat untuk sekedar berlengang-lengang saja.

Suatu malam, ditengah jembatan itu, ditepi dekat pagar, terlihat seorang pemuda sedang duduk diatas Honda Grand Tumbuang bersiring hijau. Badannya tinggi kurus, berambut ikal pendek belah tengah. Namanya Celong.

Jenuh duduk, sesekali ia berjalan ke pagar sebelahnya. Bosan disana, dia menyeberang lagi ke sisi lainnya, duduk lagi di motornya. Mendaming lagi disitu.

Kini dia berdiri sembari memandang kearah Banda Tangah. Banyak hal yang difikirkannya. Beragam masalah yang dia lamunkannya. Terutama tentang ketidakadilan penegakan aturan dalam nagari. Ketidaadilan itu telah menciptakan perpecahan. Menurutnya perpecahan akan menghancurkan nagari.

Yang membuatnya miris, ketidakalian dipertontonkan secara terbuka oleh penguasa. Dua kelompok yang melakukan pelanggaran yang sama, diperlakukan berbeda oleh aparat. Yang satu dimaafkan, yang lainnya ditindak tegas, bahkan dicari-cari kesalahannya. Seperti yang terjadi pada Buya.

Awalnya pemerintah nagari tidak begitu peduli dengan penegakkan protokol kesehatan. Setiap pelanggaran yang terjadi hanya memberikan teguran saja, tanpa disertai menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, setelah Buya kembali dari Tanah Suci, kepulangannya disambut oleh ribuan pengikutnya, tiba-tiba pemerintah nagari mendadak tegas. Peduli pada protokol kesehatan. Mulai acuh dengan keselamatan warganya.

Anak buah walinagari yang mengurus keamanan, bernama Sipud, mengecam keras kerumunan yang terjadi saat penyambutan Buya. Katanya dengan marah-marah di depan kantor walinagari, “usut..!! panggil Buya, seret kepala jorong yang menjadi tempat kerumunan, pecat kepala hansip di wilayah itu!.”

Sipud lupa bahwa dia punya andil yang menyebabkan membludaknya orang menyambut kedatangan Buya. Sehari sebelum kepulangan Buya, dia dengan jumawa merendahkan sang Buya dan pengikutnya. Katanya dengan mimik kebencian, “Buya bukan orang suci, pengikutnya tidak banyak, cuma seupil. Aparat tidak perlu berlebihan mengamankan!.”

Ternyata yang menyambut Buya membludak, kemudian terjadi kerumunan jutaan orang, lalu dia cuci tangan dengan menyalahkan bawahannya. Pelanggaran protokol kesehatan itu mutlak karena kelalaian anak buahnya semata, bukan dia. Kepala Hansip dicopotnya, Kepala Jorong dan Buya diakali untuk masuk penjara. Padahal kerumunan berlangsung karena pernyataannya yang menyepelekan Buya dan pengikutnya.

Di pihak lain, anak dan menantu Walinagari juga melakukan pelanggaran yang sama seperti yang terjadi dalam kerumunan acara Buya, tetapi tindakan tegas cuma untuk Buya seorang. Sementara anak dan menantu walinagari hanya ditegur dengan sopan. Satu dirangkul, yang lainnya dipukul.

Sebagai seorang yang idealis, Celong menuntut keadilan dalam penegakkan hukum. Dia ingin keadilan itu tidak tebang pilih. Siapa saja yang tidak patuh pada aturan harus ditindak. Apakah itu orang besar atau orang kecil, meski pejabat, anak pejabat, maupun warga berderai, jika melanggar, seharusnya aturan mesti ditegakkan untuk semuanya.

Dirogohnya saku baju, dikeluarkannya rokok Panama Putih, dibakar lalu dihisap. Tampak asap berkepulun keluar dari hidung dan mulutnya.

Penat berdiri, kemudian Celong duduk di jok motor Grand Tumbuang-nya. Sekarang pandangannya menatap hampa ke arah gunung danau, yang malam itu sangat tercelak, karena purnama juga bersinar terang. Hamparan sawah yang menghijau di Banda Tangah menambah indahnya pemandangan. Namun, keelokkan itu belum menyirnakan rusuhnya.

Pikirannya belum bisa lepas dari ketidakadilan itu. Baginya persatuan hanya tercipta jika keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu. Karena keadilan adalah kebutuhan dasar manusia, maka ketika ada ketimpangan, pasti akan ada perlawanan. Untuk itu penguasa harus hati-hati dalam bertindak.

Menurutnya, penguasa harus ‘maukua samo panjang, mambilai samo laweh’. Jangan untuk kelompok sendiri bagiannya dilebihkan, untuk pihak lain dinihilkan. Tidak boleh ketika pihak sendiri melanggar dimaklumi, namun saat pihak lain melanggar tegasnya minta ampun. Hal itu akan memicu kebencian. Kebencian bakal menimbulkan kekacauan.

Juga, penguasa tidak boleh ‘tibo dimato dipiciangkan, tibo diparuik indak dikampihkan’. Jangan disaat pendukung sendiri melanggar hukum pura-pura tidak tahu, bukan pendukung melakukan hal yang sama ditindaklanjuti. Keadaan ini akan menimbulkan kecemburuan dari pihak yang bukan pendukung. Kecemburuan akan berbuah kehancuran.

Jika penguasa melaksanakan kedua prinsip itu maka akan tercipta persatuan, karena keadilan mencegah perpecahan. Kelompok yang merasa dirugikan pasti akan berusaha melawan, dan akhirnya keduanya akan saling menjatuhkan dan tidak harmonis.

Apabila pemerintah berlaku adil, maka segala urusan pemerintah akan mulus dilaksanakan. Tidak akan ada hambatan dari kelompok yang bukan pendukung, karena mereka sudah diperlakukan adil. Keadilan juga akan meminimalisir kecemburuan sosial. Dan pada akhirnya apabila penguasa berbuat adil dalam semua hal, maka akan membuat kehidupan masyarakat bahagia dan sejahtera.

Berfikir sampai disitu, Celong menguap, dia mengantuk. Karena merasa mau tidur dia ingin segera pulang ke rumah uwaeknya di simpang.

Malam semakin larut. Lolongan anjing dan kicauan uwia-uwia membuat malam terasa angker. Celong bergidik. Rasa takut mulai menyelimuti hatinya. Lalu diengkolnya Grand Tumbuang itu. Dia meninggalkan Jembatan Lubuak Kalang.

Share:

Serial Si Mayua : Teragak Didemo


Kantor Walinagari terletak di selatan pasar. Di depannya membentang jalan raya penghubung antar jorong. Pada bagian belakangnya adalah hamparan sawah, di seberangnya terdapat hutan perkebunan milik warga yang cukup luas.

Sejak pagi Kantor Walinagari telah ramai dikepung pendemo yang ingin menemui Walinagari, Mayua. Tujuannya mendesak Walinagari agar membatalkan Perna Cilako yang dianggap sangat merugikan warga.

Namun Mayua takut menemui pendemo. Dia berniat ingin kabur meninggalkan Kantornya.

Agar tidak diketahui para pendemo saat melarikan diri, Mayua pergi melalui pintu belakang. Setelah membuka pintu, dengan langkah hati-hati dia mengendap-endap di pematang sawah, sesekali celingak-celinguk kiri kanan dan mengangkat kepala untuk mencigap di sela-sela dahan padi, demi memantau keadaan di sekitar.

Jika tampak orang atau pendemo, dia akan tiarap di pematang sawah itu, lalu merangkak untuk menjauh.

Setu jam berlalu Mayua sampai di ujung pematang. Disampingnya terdapat banda yang airnya jernih mengalir deras. Kemudian Mayua membersihkan pakaiannya yang telah kotor karena bergelimang lunau. Setelah bersih lalu melanjutkan pelariannya.

Dari tepi sawah dia berjalan kearah utara manuju hutan. Dia hendak pergi ke kawasan peternakan itik milik pemerintah nagari yang berada di tengah hutan .

Hutan itu berada diatas bukit. Untuk mencapainya harus melalui jalan menanjak yang cukup terjal. Setelah berhasil melewati jalan terjal, maka akan sampai di dataran yang sangat luas. Di dataran itu berdiri ratusan kandang itik yang berjejer lurus saling berhadapan. Inilah kawasan peternakan milik pemerintah nagari.

Dengan bersusah payah akhirnya Mayua berhasil sampai di puncak bukit. Kedatangannya disambut oleh keriuhan suara itik yang bergemuruh. Mendengar merdunya suara hewan itu hatinya senang. Rasa penat hilang. Semangatnya bangkit.

Mayua lalu berjalan menuju pondok untuk istirahat. Saat dia duduk di beranda pondok sembari minum air putih, tiba-tiba seekor itik mendekatinya seperti sedang menyambut kedatangannya. “Kwek. Kwek. kwek”. Mayua girang. Semua masalah seperti hilang di ingatan.

Setiap ada beban berat dan masalah yang pelik dalam memimpin pemerintahan, dia selalu datang kesini untuk menenangkan pikirannya.

Tengah asyik menikmati segarnya air putih dan sedapnya suara itik, sayup-sayup Mayua mendengar suara tindakan orang mengarah pondoknya, dari kejauhan juga terdengar teriak-teriakan orang dalam jumlah besar. Karena tidak ingin diketahui keberadaanya, namun penasaran dengan orang datang dan apa yang terjadi dari kejauhan, lalu dia memanjat pohon Pulai yang berada di depan pondok. Dari tempat yang tinggi dapatlah Mayua melihat ada dua orang laki-laki sedang menuju pondoknya. Sementara terdapat ratusan orang yang sedang berkumpul di bawah bukit.

Kedua orang itu seorang tinggi berdegap dan yang lain tinggi kurus, keduanya berusia kira-kira 35 tahun. Yang tinggi berdegap Mayua mengenalinya bernama Pian, yang kurus adalah Topik.

Terdengar Pian sedang berkata, “Pik, kira-kira kemana larinya Mayua itu?”

“saya yakin dia lari ke peternakan itik ini,” demikian jawab Topik. “tempat ini adalah tempat faforitnya jika ada masalah.”

Pian menenok pondok, “sepertinya kosong,” ia bergumam, setelah itu berjalan menuju pondok, kemudian menggeledahnya, “tidak ada orang!!,” teriaknya kepada Topik. Lalu dia duduk di beranda pondok. Topik menyusul dan duduk pula di sampingnya.

“seharusnya Mayua berani menemui pendemo itu. Orang senagari sudah tahu bahwa dia kangen di demo. Dan ini sebenarnya momen untuk membuktikan sesumbarnya dulu.” Tutur Topik sembari melinting rokok Panam Kuning. Rokok di bakar kemudian mengimbuhkan, “mungkin bisa jadi lantaran sesuatu hal, maka dia takut dan melarikan diri dari pendemo.”

“hal apa?” tanya Pian.

“mungkin dia kurang paham isi Perna itu, sehingga tidak mampu menjelaskannya kepada warga yang demo. Bisa jadi juga dia ditekan partai dan para elit pengusungnya. Barangkali pula Perna ini perjanjian antara Mayua dengan para donaturnya itu”.

“memang kalera Mayua itu. Masakah karena segelintir orang itu, dia berani menghianati warga yang mempercayainya. Coba kalau tidak mengingat hubungan dunsanak, sungguh aku ingin menempeleng mukanya bolak-balik,” demikian Pian marah-marah.

“apakah kita perlu mencarinya sampai ketemu dan menasehatinya agar bersedia mendengar aspirasi warga?” usul Topik.

“perlu!. Jika nanti dia tidak mau mendengar nasehat kita, kamu lampang saja dia sampai babak belur.”

“Baiklah, jika sudah begini tekadmu, marilah kita lanjutkan mencarinya.”

Begitulah kedua orang itu kembali ke rombongannya yang sedang menunggu dibawah bukit, lantas melanjutkan mencari Mayua.

Seperginya kedua orang itu, Mayua melompat kebawah, keluar dari persembunyiannya. Wajahnya menjadi pucat dan sebentar merah pula, gumamnya, “wadduh. Gawat ini. Bisa mati saya kalau sampai ditemukan oleh orang banyak itu”.

Mayua merasa serba salah bagai makan buah simalakama. Dia semakin bingung untuk memutuskan. Jika Perna ditolak, dia akan berhadapan dengan sponsor yang membiayainya. Dia menyadari, tanpa kucuran dana dari para toke, mustahil bisa seperti sekarang ini. Andaikan Perna tetap dilanjutkan, maka dia akan melawan warga yang telah memilihnya. Bagi Mayua, keduanya sama pentingnya. Keduanya harus dilaksanakan. Tapi itu mustahil.

Permintaan Toke sukar untuk dipenuhi, kemauan warga juga sulit untuk dijalankan. Kondisinya seperti terkunci di dalam toilet umum. Hendak keluar tak ada jalan, hendak bertahan tapi aroma cirik tak tertahankan busuknya. Jalan satu-satunya menghembuskan napas, lalu mencoba sekuat tenaga untuk tidak menghirup udara. Tapi bisa kuat berapa lama.

Mayua berfikir, untuk melanjutkan kekuasaannya, maka dia harus memilih salah satunya. Berdasarkan dua pilihan itu, setelah menginap-menungkan secara mendalam, akhirnya dia memilih opsi yang tekanannya lebih besar, yaitu penekan yang mampu menggulingkannya dari kursi kekuasaan.

Analisanya, apabila menuruti kehendak warga, maka dia akan berhadapan dengan Para Toke. Kelompok Toke ini jumlahnya memang sedikit, tetapi kekuatannya sangat besar. Dengan uangnya mereka bisa melakukan apa saja. Bahkan dapat menggerakkan Hansip dan Tantaha untuk berbalik arah melawannya. Ini berbahaya.

Jika mengabulkan permintaan Para Toke, tentu dia akan berhadapan dengan warga. Kelompok ini jumlahnya memang sangat banyak, tetapi kekuatannya tidak sekuat Para Toke. Mereka tidak mampu menggerakkan aparat nagari untuk m wwwelawannya. Kelompok ini hanya bisa protes dan berteriak-teriak dijalanan saja. Andaikan mereka ngotot melawan, pasti perlawanan itu akan mudah meredamnya dengan pendekatan kekerasan aparat. Ini bukan ancaman berarti.

Akhirnya, dengan pertimbangan itu, Mayua memutuskan pilihan kedua. Lalu dengan tersenyum dia menuruni bukit untuk kembali kekantonrya. Menjalankan rencananya. Rencana yang mungkin akan menumpahkan banyak darah.

Share:

Serial Si Mayua : Perna Cilako



Sabtu pagi di Hari Balai, terjadi demonstrasi besar-besaran di depan Kantor Walinagari. Demo dilakukan untuk menuntut Walinagari, Mayua, agar membatalkan Perna Cilako. Karena Perna ini dianggap sangat merugikan warga, terutama warga yang berprofesi sebagai Tukang Angkek, Tukang Potoang, dan Tukang Juluak, serta tukang-tukang lainnya. Sebaliknya, Perna ini justru hanya menguntungkan pengusaha saja, lebih-lebih Toke Gatah, Toke Sawit, dan Toke Manggis, juga Toke-Tole lainnya.

Perna itu juga diklaim akan membuat banyak cilako di bidang lainnya. Sesuai dengan namanya.

Sejak Subuh, Kantor Walinagari telah dijaga ketat oleh ratusan Hansip bersenjata lengkap. Di sekeliling gedung itu juga sudah di pasangi kawat berduri untuk menghadang pergerakan masa yang mencoba merangsek masuk ke dalam kantor Walinagari.

Sementara itu, di dalam Kantor Walinagari, Mayua menggigil ketakutan. Sejak jalan di depan Kantor Walinagari mulai disesaki oleh pendemo, dia terus mondar-mandir dari ruangannya menuju lobi untuk mencigap keluar, demi mengetahui apakah demonstran sudah bubar atau belum.

Di saat Mayua bolak-balik itu, asistennya yang juga merangkap penasehat, bernama Si Antuih, mengekor di belakang. Mayua ke Lobi, dia ikut. Mayua kembali ke ruangannya dia turut serta. Mungkin sudah ratusan kali mereka hilir mudik di dua ruangan itu. Karena sudah capek, Si Antuih meminta Mayua menemui pendemo agar masalah selesai, sehingga tidak penat lagi mondar mandir seperti setrika.

“Bos,” panggil Si Antuih. Mayua menghentikan langkahnya. “Lebih baik temui saja pendemo itu. Atau undang beberapa perwakilan mereka masuk kesini, kemudian jelaskan manfaat Perna itu bagi warga nagari.” Usul Si Antuih kepada Mayua. Sang Walinagari hanya bengong menanggapinya. Lalu dia mondar-mandir lagi dari ruang kerjanya menuju Lobi, Si Antuih mengekor lagi di belakang.

Maka kata Si Antuih lagi sembari berjalan mengikuti majikannya, “dulu Bos Pernah ota gadang, minta di demo warga. Kini warga sudah datang mendemo. Ayo hadapi mereka.”

Mayua tercekat kemudian menghentikan langkahnya. Keringat dingin mulai keluar di keningnya. Ota-ota tidak masuk akal dimasa lalu bersiliweran di benaknya. Teringat dulu dia pernah sesumbar di depan para Toke, bahwa dirinya kangen di demo. Pernah juga dia membual, bahwasanya pemerintah tidak boleh represif kepada demonstaran, karena tugas pemerintah melindungi segenap warga.

Namun, kini telah tujuh tahun dia berkuasa, tidak satupun koar-koarnya yang terbukti. Sudah tiga kali demo besar terjadi di Kantor Walinagari, tiga kali juga Mayua terbirit-birit melarikan diri menghindari pendemo. Dalam tiga demo itu tidak terjadi aparat melindungi demonstran seperti koarnya, yang berlangsung malah tindakan represif Hansip kepada pedemo. Banyak pendemo yang luka-luka kena pentungan, gas air mata, ditabrak dengan mobil, bahkan ada yang meregang nyawa.

“Bos..” panggil Si Antuih lagi. Mayua kaget membuatnya tersadar dari lamunan.

“apa…!!?” balas Mayua dengan sedikit jengkel, sambil melangkah lagi menuju meja kerjanya, lalu duduk. Si Antuih mengikut lagi di belakang kemudian berdiri disampingnya.

Si Antuih mencoba lagi meyakinkan Mayua untuk menemui para demonstran, katanya “gimana Bos… Mau menemui pendemo untuk menjelaskan kebaikan Perna Cilako ini?”.

“tidak..!!,” jawab Mayua keras.

“kenapa?” Tanya Si Antuih.

“karena saya tidak tahu isi Perna itu. Apa yang akan saya jelaskan.” Jawab Mayua.

“bukankah Perna itu usulan Bos sendiri. Kenapa Bos tidak tahu isinya?,” Tanya Si Antuih lagi.

Mayua bungkam. Si Antuih diam. Sementara hiruk pikuk demonstran di luar begitu jelas terdengar.

“begini NTuih. Perna ini pesanan para Toke. Mereka yang menentukan isinya. Saya hanya tanda tangan saja. Dan Perna ini harus jadi dan dilaksanakan. Kalau tidak, jabatan saya taruhannya.” Kata Mayua dengan sedikit memelas. Mayua menyadari jabatan Walinagari yang dia dapat berkat sokongan uang tak berseri dari para Toke. Makanya Mayua tidak berani melawan mereka. Jika Perna itu gagal maka dia akan kehilangan tahta walinagari. Karena dengan uangnya, para toke bisa membuatnya lengser dari jabatan itu.

Sambil berdiri Mayua memukul meja, katanya lagi, "saya tidak ingin kehilangan jabatan...! Apapun yang terjadi Perna ini harus jadi..!!!."

"Tapi Bos. Jika Perna ini dipaksakan maka perlawanan warga semakin besar." Sanggah Si Antuih.

Mayua menatap tajam kepada Si Antuih, dia merasa tidak senang dengan bantahan anak buahnya itu. Maka katanya, "jika warga semakin besar perlawanannya, maka kita tambah jumlah Hansip untuk memukul mundur mereka...!!."

"Lebih baik pemerintah berdialog saja dengan warga, Bos." Usul Si Antuih lagi, "cara ini lebih baik. Tidak ada yang akan terluka. Warga selamat hansip senang."

"jabatan saya lebih penting dari apapun..!!.". Kembali meja itu bergetar ditampar Mayua.

"Tapi Bos......"

"Tidak ada tapi-tapian!. Apapun yang terjadi pemerintah tidak boleh kalah dari warga!." Sesudah itu Mayua duduk kembali di kursinya.

"Lalu, bagaimana cara mengatasi pendemo itu?." Tanya Si Antuih.

Mayua tertawa. Dengan tetsenyum licik dia berkata, "katakan ke KAUR Keamanan untuk menarik Hansip yang ada ditiap Jorong ke kesini. Perintahkan para Hansip itu untuk menghadapi pendemo. Dengan cara apapun para pendemo itu harus dibubarkan." Lalu Mayua tertawa, kemudian dia berdiri.

Kata Mayua lagi, "membubarkan dengan kekerasan juga boleh. Jika ada yang mati bilang saja tidak sengaja..!."

Setelah itu Mayua berjalan hendak meninggalkan kantornya.

"Bos mau kemana?," Tanya Si Antuih.

"Agiah makan itik di belakang."

Sementara itu di luar telah terjadi bentrokan antara Hansip dengan para demonstran. Hansip dengan pentungan dan gas air mata mampu membuat pendemo kocar-kacir. Pendemo yang tertangkap dihajar dan dipentungi. Banyak yang luka-luka, tidak sedikit yang harus dilarikan ke RS.

Share:

Panjang Pangana


Pagi itu, seperti biasa, sebelum berangkat ke kantornya di Palo Aia, Mak Jaliman sarapan Pagi dulu di Lapau Nek Sidan di Lubuak Kalang. Sudah 2 jam beliau disitu, tetapi menu pesanan belum tandas seluruhnya. Kopi yang setengah belum di minum seteguk-pun. Silambiak yang sepiring baru habis seperempatnya.

Bagaimana tidak, beliau lebih banyak menungnya daripada menyungkah sarapannya. Sekali menyuap menungnya setengah jam lamanya. Panjang sekali "pangana" beliau pagi itu.

Tidak berapa lama, Talik lewat bersama beruk-nya. Dia hendak ke Banda Tangah untuk mengambil Karambia. Melihat keganjilan Mak Jaliman, dia kepo ingin tahu apa yang sedang dirisaukan Mak Jaliman.

Setelah memautkan Beruk ditiang listrik, diseberang jalan dekat Parak Mak Da, lalu Talik menuju Lapau Nek Sidan.

"Mak Jaliman! ada apa, kok pagi-pagi sudah jauh pangana?," tanya Talik sambil duduk disisi Mak Jaliman.

"Tidak ada apa-apa, Lik" jawab Mak Jaliman lirih.

"Kalau tidak ada apa-apa, kok gelagatnya seperti memikirkan sesuatu masalah yang amat berat?." Talik bertanya lagi.

Mak Jaliman hanya tersenyum hambar. Lalu dengan malas beliau mendudut kopinya.

Maka Tanya Talik lagi, "baruak Mak Jaliman mati, ya?"

Yang ditanya hanya menggeleng saja.

Talik makin penasaran. Dia semburkan lagi beberapa pertanyaan.

"Lalu apa yang Mak Jaliman menungkan..?

“Baruak sakik?”

“Menganduah beruk dengan Mak Saidan, rugi?”

“Atau, gitang Mak Jaliman di 'cabiak-an' Si Anduk?."

Mak Jaliman masih menggeleng. Setelah itu beliau merogoh saku baju depan dada sebelah kiri, mengambil rokok anau, melinting, membakar, menghisapnya, lalu menghembuskan asapnya. Tampak asap berkepulun keluar dari hidung dan mulut beliau.

Kemudian beliau berkata. “begini, Lik. Mamak memikirkan tentang permasalahan Nagari kita yang begitu kompleks. Di semua lini pasti ada saja masalahnya. Seperti penanganan wabah yang amburadul, warga terpecah, pejabat yang korup, penegakan hukum yang tidak adil, perusahaan nagari rugi semua, dan masih banyak lagi.” Sambil bicara beliau memainkan asap anau di mulutnya, lalu beliau kembali berkata, “ini karena walinagari kita tidak punya kompetensi untuk memimpin.!” Kembali anau itu dihisap dan dihembuskan asapnya.

“tapi Mak,” sanggah Talik, “bukankah di media sosial, kita lihat walinagari sering pamer keberhasilan. Berarti Nagari kita ini baik-baik saja.”

“pekerjaan pejabat jangan diukur dari unggahan-unggahan di media sosial,” balas Mak Jaliman, “jangan menilai kebenaran arah kebijakan hanya didasarkan pada dukungan suara di media sosial. Pokoknya asal kata pemerintah di FB dan Twitter aman, lalu kita merasa semua aman. Jangan percaya!.”

Ketika berbicara sampai disini, beliau berhenti sejenak, lalu menghisap rokoknya beberapa kali kemudian berkata lagi, “pemerintah nagari selama ini telah mengiring opini dengan memakai buzzer dan influencer, untuk membuat kegagalannya menjadi keberhasilan. Dan para pengkritik akan dihabisi oleh Buzer-buzer itu, bahkan dihansipkan.” Kembali rokok anau itu dihisap. Sekarang hisapannya lebih dalam, hingga terpuntung. Sementara Talik hanya melongo menyaksikan Mak Jaliman.

Sesudah itu, daun anau dilinting lagi, dibakar, dan dihisap. Kemudian Mak Jaliman kembali melanjutkan ucapannya.“sampai kemudian wabah melanda, jumlah kasus dan kematian tak bisa disembunyikan, dampak ekonomi tak bisa dibendung. Kebobrokan walinagari tidak bisa ditutupi lagi dengan citra dan buzzer. Pandemik ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa kompetensi adalah hal yang harus dimiliki seorang pemimpin….!!!” Tutur Mak Jaliman berapi-api. Talik menggeser duduknya agak menjauhi Mak Jaliman, karena suara Mak Jaliman terasa memekakkan telinganya.

Kata Mak Jaliman lagi, “bukannya mengatasi virus, kini Mayua dengan tidak tahu diri menyiapkan keluarganya untuk berkuasa. Anak menantunya yang selama ini tidak tahu menahu tentang politik, tidak ada rekam jejak dalam berbuat untuk warga banyak, lalu didorong ikut berebut kekuasaan,” tiba-tiba nada bicara beliau meninggi, “semua orang senagari tahu, anak menantu Mayua itu tidak punya kompetensi dan integritas..!!!”.

Karena suara Mak Jaliman makin keras, Talik ngesot lagi agak menjauh.

Yang membuat Mak Jaliman makin jengkel lagi, Walinagari bukannya fokus mengurus nagari yang sedang diserang wabah, namun malah sibuk mempersiapkan anak dan menantunya untuk berkuasa juga. Anaknya akan bertarung untuk memperebutkan jabatan Kepala Jorong di Jorong Lubuk Kalang, sementara menantunya di Jorong Lubuk Tareh. Mayua seperti berupaya mengamankan keluarga dan keturunannya setelah nanti ia tak lagi berkuasa.

“tapi Mak,” sanggah Talik, “anak Mayua kan sukses sebagai pengusaha Pinukuik, dan minantunya berhasil menjadi pedagang Kacimuih. Jika sukses berusaha, maka juga akan sukses menjadi pemimpin.”

“Tidak ada jaminan sukses berusaha, juga akan berhasil memimpin….!!,” balas Mak Jaliman keras, “ingat! usaha mereka ada karena disokong oleh orang tua mereka yang kaya. Bukan dirintis sendiri. Mana tahu mereka sakitnya menahan lapar. Mana paham dia rasanya menjadi orang miskin..!.”

Lalu Mak Jaliman menepuk bahu Talik, menatapnya cukup lama, mungkin iba atas ilmu Talik yang masih amatiran. Setelah itu beliau berkata lagi, “prestasi mereka cuma satu…!.”

“apa itu Mak …?,” Tanya Talik dengan tiga lipatan di kening pertanda heran.

“mereka anak dan menatu walinagari. Itu saja…!.” Jawab Mak Jaliman mantap.

Bagi Mak Jaliman, politik adalah jalan luhur. Kerja politik adalah kerja mulia, yang bagi filsuf Aristoteles sejajar dengan kemuliaan pekerjaan seorang guru. Sebagaimana guru, pelaku politik adalah orang-orang yang membawa manfaat bagi orang lain, punya kebijaksanaan dan pengetahuan yang bisa menunjukkan arah kehidupan lebih baik bagi para pengikutnya, dan punya martabat.

Kini, menurut Mak Jaliman, keluhuran politik di nagari telah dirusak oleh orang-orang minim kompetensi. Mereka hanya dengan modal pencitraan dan nama besar orang tua, tanpa ada rekam jejak kepedulian kepada masyarakat, beramai-ramai maju berebut kursi kekuasaan.

Mereka minta dipilih tanpa membawa tujuan mulia yang bisa dipercaya. Mereka minta dipercaya walaupun tak pernah berbuat apa-apa selain untuk memakmurkan diri sendiri dan keluarga. Lalu mereka benar-benar terpilih. Maka yang terjadi hanya kemunduran dalam nagari.

Inilah yang dirusuhkan Mak Jaliman, yang membuat beliau ‘panjang pangana’.

Matahari telah meninggi di cakrawala. Gunung danau tampak tercelak. Hamparan sawah di Banda Tangah menambah semarak indahnya pagi itu. Lalu kedua orang itu meng-urak selo meninggalkan Lapau Nek Sidan.


Karya ; Rozi Firdaus

Share:

Definition List

Unordered List

Support