Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Akibat Pakasiah (Ilmu Pelet) Bagian 2

Aku menyuapkan Gaek bubur kampiun yang kubeli di simpang empat pasar Matua. Bubur campuran mulai kacang hijau, ketan hitam,ketan putih, kolak pisang dan ubi jalar juga bubur putih. Lengkap. Bubur juara, kata Nenek. Satu cup itu habis untuk beliau.

Aku mengajak Gaek bercerita tentang berbagai hal. Hampir satu jam. Kulihat Gaek mulai mengantuk.Aku mengeluarkan HGH II dari dalam kantong. Herbal cair dengan botol kecil produk HPA.

Kuceritakan pada Gaek, itu bisa mengobati iritasi pada kulit Gaek dan juga memulihkan kondisi Gaek jika Gaek meminumnya dan disemprotkan pada bagian bawah lidah setiap usai berwudhu. Akan mencerahkan wajah jika disemprot pada bagian dahi. HGH juga bisa untuk mengeluarkan batu empedu dan batu ginjal, memperbaiki sistem immun.  Obat herbal yang cepat mengempiskan luka lebam yang bengkak, juga obat buat pembengkakan kelenjar getah bening. Pasien yang koma jadi sadar dan  lebih segar dengan sinergi herbal cair WAFE yang ditetes di mata. Gaek mengangguk saja saat aku menerangkan semuanya, beliau pasrah kini mau diapakan saja, asalkan sehat. Begitu cerita yang kudengar dari Tek Parida saat membersihkan pispot Gaek di belakang.

"Dokter Sadiono!" Gaek mengusap kepalaku, lalu beliau kembali tertawa.

Sadiono itu artinya Sedianya, sekiranya, sesuatu yang tidak jadi. Jadi dokter Sadiono itu

artinya  dokter yang tidak jadi. Dulu aku memang ingin jurusan kedokteran, atau guru biologi.  Akan tetapi Apak menginginkanku menjadi seorang insinyur teknik. Akhirnya diam -diam selama kuliah aku belajar Tibhun Nabawi di HPA, sebuah MLM farmasi Islam.

Usai menyemprotkan HGH ke wajah, bawah lidah dan bagian tubuh Gaek yang iritasi karena sudah berbulan hanya berbaring  di kasur, kusetel ayat Ruqyah dari smartphoneku.

Tiba-tiba Gaek yang sedang berbaring itu duduk dengan badan yang kuat.

"Matikan! Atau den bunuah!" (Matikan! Atau aku bunuh!)

Ancaman beliau membuatku sedikit ciut, aku segera beristighfar dan mundur dengan kaki dalam posisi kuda-kuda. Bersiap kalau terjadi sesuatu. Mata Gaek merah. Aku mengerti kenapa beliau seperti itu. Bukan beliau yang bicara. Akan tetapi jin di dalam badannya.

Nenek masuk ke kamar karena kaget.

"Dia! Dia Si Khamsiah, yang membayar Angku  Januardi Sutan Sari Alam sebanyak tujuh rupiah emas untuk membuatkan Pakasiah (pelet) agar Si Jamaluddin ini lupa pada istrinya dan mau menikahinya. Puluhan tahun aku berada di jasad ini tanpa ada yang mengganggu, kini kau datang menggangguku. Kalau bukan aku yang mati, berarti kau atau si Jamaluddin ini yang mati!" Gaek meracau.

Di depan pintu kamar, Nenek Khamsiah bersujud dan menangis dalam lulungan panjang minta ampun pada Allah dan minta maaf pada Gaek.

"Maafkan denai, Uda .... Dek cinto juo mangko tatampuah jalan sasektu!"

(Maafkan saya,Uda .... Karena cinta jua mangkanya saya tempuh jalan sesat itu!")

Akh .... Ternyata tidak hanya saat ini, cinta membutakan mata dan hati manusia, tapi memang sejak dahulu. Bulu Roma ditengkukku sedikit berdiri. Sebuah harga yang sangat besar dikeluarkan Nenek Mudo untuk membuat pelet ke dukun yang dulu sangat terkenal itu dan jadi cerita legendaris di kampung.

Tujuh rupiah emas. Satu rupiah emas itu, senilai dengan tujuh emas, dan satu emas beratnya dua setengah gram. Artinya Nenek membayar seratus dua puluh dua koma lima gram. Harga yang sangat luar biasa sekarang.

Betapa besar cinta Nenek, tapi sayang itu sesat. Pantaslah cerita miring itu ada dari keluarga Gaek, meski Nenekku selalu menepisnya.

"Nek, tolong panggilkan ustadz Zakariya Nek." Pintaku pada Nenek. Beliau berdiri dan segera turun dari rumah.

Aku diam dan menantang mata merah Gaek,  Kuba akan ayat-ayat ruqyah sebisaku. Gaek tertawa.

"Dakkan habis Pakasiah ini, kalau bukan Jamaludin yang mati maka Khamsiah yang mati!" Gaek meracau lagi. Kali ini tidak ada lagi ancaman padaku.

Aku mengikuti ayat ruqyah di smartphoneku. Sejatinya aku belum pernah meruqyah siapapun. Ayat ruqyah pun aku belum hapal semuanya, tapi demi kesembuhan Gaek, aku nekad, ya ... modalku kali ini hanya berani dan nekad.

Tiba-tiba Gaek jatuh kesamping, kepala beliau tepat pada bantal. Beliau seperti orang yang tidur sangat nyenyak. Kutinggalkan Gaek ke kamar. Aku melangkah menuju dapur, menemani Etek Parida memasak.

"Etek tahu, Nenek itu bersalah, tak hanya meamelet Gaek tapi juga memakai susuk emas. Salat rajin tapi susuk tidak dilepas. Entah bagaimana nanti cara meninggal beliau." Tek Parida bicara saat aku sampai di dapur. Beliau terisak dan beberapa kali menghapus air matanya.

Tak berapa lama, kudengar suara ramai  di halaman rumah Nenek. Warga menggotong tubuh Nenek yang berlumuran darah.

"Beliau jatuh di halaman surau, mutah darah, dan keluar darah juga di telinga dan hidung. Beliau sudah tidak ada." Pak ustadz Zakaria menjelaskan kondisi Nenek.

"Tapi tadi beliau bersyahadat kok." Ustadz Zakariya sepertinya mengerti akan kecemasan hatiku dan Etek Parida.

Ada sesal di sudut hatiku, kenapa tadi tidak meminta Etek Parida yang lagi memasak untuk menjemput Ustadz Zakariya? Tapi sesal ini tak lagi berguna. Nenek sudah terbujur.

Kuhapus darah di wajah Nenek, kelingkingku terluka. Saat ku angkat handuk kecil untuk membersihkan Nenek,  ternyata ada lidi emas yang muncul di dahi Nenek. Aku menutup tangan dengan handuk saat mencabutnya. Bulu roma di tengkukku berdiri, karena kaget melihat jasad nenek yang tadinya seperti meringis kini seolah tersenyum, dan mata yang sedikit terbuka telah merapat.

"Allah yang kuasa, semua bisa saja terjadi." Ucap ustadz Zakariya yang kemudian mengulurkan tangannya padaku. Di bawah handuk kecil yang mulai tercium anyir, kuberikan lidi emas itu pada Ustadz. Ustadz memanggil Tek Parida ke dapur. Entah apa yang mereka bicarakan.

Baju Nenek sudah berganti, dan sudah dibaringkan di atas dipan kayu dengan seprai putih yang ada hiasan renda pada pinggirnya. Tikar sudah dibentang di sepanjang rumah.

" Aysah .... Oooo, Aysah ...." Manja dan merdu sekali suara Gaek dari dalam kamar, memanggil nama Nenekku.

Aku bergegas ke kamar, kudapati Gaek berdiri di depan cermin dan tengah menyisir rambut putihnya. Ada aroma minyak rambut yang khas. Entah apa mereknya, tapi aku hapal warnanya hijau, tempatnya putih dan tutupnya juga berwarna hijau. 

"Sudah gagah Gaek," godaku sambil melepas tali gorden pintu, agar Gaek tidak melihat  jasad Nenek Mudo.

Aku masih berpikir bagaimana kalimat yang tepat untuk bicara pada Gaek.

"Hari ini, Gaek akan pulang ke Pulai. Ke rumah gadang kalian. Gaek rindu samba lado Tanak dan Anyang( urap) buatan Nenekmu."

Gaek tersenyum bahagia, beliau memakai peci hitam dengan bludru yang halus,  produksi M.Zaini, produsen peci terbaik dari kota Bukittinggi.

"Entah karena obatmu, atau karena ayat dari HP kamu, Gaek rasanya lapang sekali saya ini. Serasa ada beban berat yang lepas dari badan ini. Gaek rasanya kuat seperti dulu." Beliau berhenti sejenak dan menatapku.

"Tapi bisa juga karena cinta dan rindu pada Nenekmu, Aysah yang cantik lahir dan batinnya. Dia istri paling sabar, dan shaliha diantara semua istri Gaek. Warisilah semua kebaikannya." Gaek melangkah keluar sambil mengusap kepalaku. Kulihat wajah Gaek bahagia dan sedikit ada rona merah, seperti anak muda yang sedang jatuh cinta.

Bagaimana pun aku telah menjadi Ibu dari empat anak, aku tetap saja gadis kecil yang kepalanya sering di usap Gaek. Aku mematung berdiri sambil bersandar ke kuzen pintu. Tak sanggup menatap Gaek yang kini menyaksikan tubuh istri muda beliau yang terbujur kaku diatas dipan kayu, disaat hati Gaek tengah berbunga teringat akan istri tuanya, Nenekku.

*********

Sarolangun, 24 September 2020

Bagaimana pun merahasiakan sebuah keburukan, tetap akan terbuka pada waktunya.

Ketika berhadapan dengan kesyirikan, berpegang teguh pada tuntunan Agama adalah solusi terbaik, karena sejatinya KEBENARAN ITU  TIDAK TERKALAHKAN.

JIKA DATANG YANG HAQ, MAKA HANCURLAH YANG BATHIL.


Karya: Iphat Chan

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support