Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Akibat Pakasiah (Ilmu Pelet)

Pagi begitu dingin di Matua, sebuah kampung di atas Danau Maninjau, kabupaten Agam Sumatera Barat. Meskipun dingin, Nenek tetap saja membuka jendela rumah gadang sebelum azan Subuh berkumandang.

Kali ini, aku pulang ke kampung karena kabar tentang Gaek yang sakit keras. Sudah diobati ke rumah sakit, dan ke berbagai tempat terapi, tetapi tak kunjung sehat. Semua anak dan cucu yang masih hidup telah bergantian pulang untuk membezuk beliau. Aku cucu terakhir yang pulang  dari ratusan cucu beliau yang lain.

Melangkah ke kamar mandi di halaman belakang rumah gadang, cukup membuatku menggigil, karena terbiasa hidup di Sarolangun dalam sepuluh tahun terakhir, dengan udara yang sedikit lebih hangat. Sebenarnya aku sudah berkali-kali mengatakan pada Ibu agar membuat kamar mandi lebih rapat ke rumah. Seperti rumah-rumah gadang lain yang kini sudah berubah bentuk dapurnya. Akan tetapi Ibu menolak.

"Kalau kamu mau kamar mandi dalam kamar,. Tegakkanlah rumah di ujung sana. Buat sesuka hati kamu modelnya, dan jangan pernah mengusik apapun dalam bangunan rumah gadang ini." Itu jawaban Ibu tanpa menoleh sedikitpun padaku.

 Itu kalimat kemarahan yang paling dahsyat seumur hidupku. Ibu sebagai putri bungsu di rumah gadang nenek diberi kepercayaan untuk menjaga rumah gadang. Ibu tidak diberi izin untuk mendirikan rumah oleh semua Angkuku.

Pendidikan kami sebagai anak-anak Ibu menjadi fokus utama keuangan Ibu setelah dilarang membangun rumah baru.

Nenek yang kala itu duduk di dekatku tersenyum, beliau mengerti akan kegundahan hatiku atas jawaban dari Ibu.

"Ibumu hanya sedang meluapkan kecewanya,. Dari dulu dia ingin punya rumah baru, tapi tidak ada yang setuju pada harapannya." Nenek bicara setengah berbisik ke telingaku.

Disitu aku mengerti, dan ingat kata-kata bijak yang sering kutemui dalam banyak tulisan, bahwa kadang kemarahan itu adalah wujud dari sebuah kekecewaan.

"Maryam, jika bangun malam, lalu turun ke halaman belakang, udaranya segar dan itu akan menguatkan tulang dan tubuhmu. Kamu juga bisa menatap langit dengan penuh takjub dan memuji Allah dalam rasa syukur. Syukur itu pun akan menambah lagi nikmat yang engkau terima. Begitu dulu yang disampaikan Ayah Panampuang guru mengaji Nenek di surau Suluk." Nenek bercerita tentang alasan kamar mandi berdinding tembok dan tanpa atap di belakang rumah gadangku.

Lagi-lagi aku merasa takjub dengan filosofi yang terkandung dalam sebuah tradisi di kampungku. Bagaimana tidak, semua cerita nenek tersebut benar.

Dalam sebuah artikel tentang kangker, dulu aku pernah membaca sobekan buku yang dijadikan bungkus ikan asin oleh pedagang di pasar, dalam sobekan buku tersebut diceritakan bahwa jika makan kacang hijau, baru akan jadi asam amino dalam darah setelah enam bulan, akan tetapi jika bangun malam lalu tahadjud dan menghirup udara bebas di sepertiga malam itu,  itu akan menguatkan tubuh, karena udara bebas di sepertiga malam itu mengandung asam amino. Jadi, tidak heran jika salat malam dijadikan sebagai salah satu terapi penyembuh bagi pasien kangker dan penyakit lainnya termasuk auto immun.

*******

Usai salat Subuh di kamar, aku segera membuat kopi Tanak. Itu kesukaan Nenek dan menu wajib keluarga kami setiap pagi.  Aku mencincang lima buah gula merah yang dicetak dengan tempurung, kami menyebutnya saka, gula merah yang terbuat dari tebu. Kutambahkan kopi tiga sendok nasi, lalu mengisi air diseret dan memasaknya dengan api sedang di tungku kayu dan kayunya adalah kayu kulit manis. Soal dapur kayu ini, aku tidak pernah protes, karena aku menikmati berdiang di tungku untuk menghangatkan tubuh.

Dua lusin gelas kutata di dua wajan yang berbeda. Saat kopi mendidih dan mengental, ku tuang air kopi Tanak tersebut ke dalam gelas.

Ada dua puluh orang yang akan minum pagi bersama.

"Bismillaahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum warahmatullahi wabaraakaatuh." Nenek yang duduk dekat pada pintu untuk turun ke dapur membuka pembicaraan pagi kami.

"Waalaykum salam warahmatullahi wabaraakaatuh." Kami semua menjawab dalam Nenek.

Aku tersenyum sendiri, saat melihat nenek dengan baju kurung dan kain batik jawanya, dilengkapi dengan 'ceda', atau selendang yang dililitkan di kepala. Nenek dengan tampilan begitu, akan tetapi cara bicara dan bahasanya membuka acara persis seperti kader partai Islam atau aktivis yang akan berorasi. Tidak heran sebetulnya, karena itu sudah terbiasa di lingkungan surau beliau. Bahkan tidak ketinggalan untuk bersalawat terlebih dahulu.

"Hari ini kita semua akan kerumah Nek Mudo kalian, tetapi yang akan ke sana duluan adalah Maryam. Pagi ini. Yang lain memasak dulu, nasi dan Parabuangan --- kue tradisional atau makanan penutup sesudah makan berupa makanan dari ketan atau agar-agar/puding. Nanti, bawa rantang kerumah Nek Mudo. Antari juga Nek Tangah kalian." titah nenek pada kami semua.

Usai minum kopi Tanak dan makan Pinukuik (serabi manis) pagi itu, aku berangkat ke rumah Nek Mudo, atau Nenek Muda, sebutan kami di keluarga pada istri ke empat Gaek.

Poligami bukan suatu yang tabu pada puluhan tahun yang lalu di kampungku, hanya saja kini jadi suatu yang mengerikan dan dihindari. Entah itu karena trauma, atau pengaruh tayangan sinetron, atau malah bacaan di KBM. Kini banyak kawan-kawan sekampung yang telah bergabung di KBM. Tidak hanya yang perempuan tetapi juga yang lelaki. Semua jadi anti melakukan poligami meski tidak membantah itu bahagian dari Sunnah.

******

Rumah Nek Mudo terasa sepi, semua anak dan cucu Nenek yang di rantau telah kembali ke rantau. Tinggal Etek Parida saja yang dirumah bersama Nenek dan Gaek. Tek Parida seorang janda, dan semua anaknya telah berkeluarga, beliau yang paling banyak waktu untuk mengurus Gaek.

Aku masuk ke rumah itu setelah disambut Nenek Mudo. Kami langsung ke kamar Gaek,. Kamar paling belakang. Begitulah adat yang tak tertulis, makin tua, kamar akan bergeser ke belakang setelah pernikahan anak-anak perempuan di rumah itu. Kamar paling depan akan ditempati oleh putri bungsu. Ada atau tidak ada mereka di kampung, pembagian kamar tetap seperti itu. Anak lelaki yang pulang ke kampung, tempat mereka adalah di ruang tengah. Tidurnya  berjejer, dan akan diberi  selimut tebal berlapis.

Gaek terbaring lemah di dipan kayu, satu kasur. Ada dua dipan kecil di kiri kanan jendela.

Sebuah pispot nampak dibawah dipan Gaek. Aroma  pesing memenuhi ruangan. Kubuka jendela kaca kamar Gaek agar tidak pengap.

Setelah menyalami Gaek, kubawa pispot kotor ke kamar mandi.

Pagi itu aku mengurus Gaek, membersihkan seluruh badan beliau dan mengganti bajunya dengan baju yang bersih. Gaek minta pakai celana batik Jawa dan baju Koko teluk belanga dengan sulaman terawang khas Bukittinggi.

"Gaek Gagah," pujiku.

Tawa beliau langsung lepas. Bahagia sekali beliau.

Beliau memberi isyarat agar agar aku merapatkan telinga ke mulut beliau.

"Kalau bukan karena gagah, manalah mau para nenekmu," bisik beliau.

Gantian aku yang terkekeh mendengar bisikan beliau. Kuakui, sebagai keturunan suku Sikumbang di Matua, Gaek memang mewarisi ketampanan yang berbeda dengan suku lain di kampung. Suku Sikumbang memiliki perawakan tinggi dan besar, tulangnya juga besar. Mata mereka juga besar dan hidung mancung. Berbeda dengan keluargaku dan keluarga lain dari suku Caniago yang banyak bermata sipit dan berkulit kuning.


Bersambung...


Karya: Iphat Chan

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support