Gadis kurus berjilbab merah itu terbaring tak berdaya di ruang instalasi perawatan paru-paru RS. Ahmad Mukhtar Bukittinggi. Ruang perawatan paru-paru itu, paling ujung, di sampingnya adalah gedung untuk ruang mayat.
Mety, nama gadis itu, sahabat yang selalu energik, dan suaranya lantang saat ada yang tidak sesuai dengan aturan agama yang kami anut. Dia mahasiswi fakultas syari'ah di sebuah perguruan tinggi Islam di Sumbar.
Beberapa bulan sebelumnya dia tengah sidang proposal, untuk menyusun skripsi. Tapi takdir mengantarnya ke ruangan ini, bernapas dibantu dengan oksigen dari tabung besar. Ada juga darah yang ditransfusikan serta inpus yang menetes perlahan dan mengalir ke tubuhnya. Alat deteksi jantung juga menempel di tubuhnya. Sesekali dia terbatuk. Ibu dan ayahnya hanya menatap iba dan sudah putus harapan. Sesekali kulihat ayahnya yang berbadan tegap itu, menatap ke luar ruangan sambil menghapus air matanya yang hampir saja mengalir.
Darahku berdesir ketika Mety terbatuk untuk ke sekian kalinya. Aku seperti mendengar batukku beberapa tahun yang lalu, saat badanku habis. Berat badan turun drastis lebih sepuluh kilo dalam satu minggu saat itu. Batuk yang semula aku tidak percayai kalau itu karena "tubo".
Aku menatap bola mata Mety dengan tajam. Dia patah semangat. Aku mendekat agar bisa menatap jelas iris matanya. Kurogoh kantong jaketku, dan mengeluarkan senter kecilku. Aku minta izin memeriksa iris mata Mety. Mata itu jendela jiwa dan raga. Tidak salah lagi, mata Mety menerangkan hal yang sama persis dengan apa yang kualami dulu. Mata itu jelas menunjukkan jika Mety dalam pengaruh sihir yang kuat.
"Engku, sakit Nety tidak ditemukan di rumah sakit ini kan?" tanyaku menyelidik.
Engku Sutan Caniago, ayah Mety memperbaiki duduknya. Beliau kaget.
"Kamu tau dari siapa? Kami selalu mengatakan pada yang melihat, Mety TBC, meski pun dokter sampai hari ini belum menemukan hasil untuk penyakit Mety. Kami akan pulang besok, tidak ada lagi harapan sembuh kata dokter." Engku bicara agak bernada tinggi dalam rasa kecewanya. Mungkin karena sudah buntu pikiran. Kami terdiam bersama.
"Uni, saya rela mati dari pada menyusahkan Apak dan Amak," ucap Mety memecah suasana.
"Mety, tidak akan mati seseorang kecuali sudah sampai janji dengan ketetapan Allah. Uni pernah lihat orang yang sakit seperti ini, tiga hari sakit, meninggal, tapi Allah telah panjangkan umur Mety, lihatlah, Uni seumur hidup baru ini menyaksikan kulit pembalut tulang, tampak membayang tulang Mety, tampak syaraf Mety. Betapa besar kekuatan Allah yang Allah berikan pada Mety. Semua pasti ada hikmahnya. Ada nikmat luar biasa dibalik cobaan yang juga luar biasa ini." Aku mengangkat tangan Mety yang dialiri infus. Tangan itu begitu ringan, tulangnya membayang putih, entah kemana pergi dagingnya.
"Mety mau menikah dan punya anak?" tanyaku.
Diluar dugaanku, dan mungkin juga di luar pikiran keluarganya, Mety menjawab dengan yakin.
"Mau, Uni!"
"Mintalah umur yang panjang dan berkah, minta sehatkan badan Mety pada Allah. Bagaimana mau mengurus anak, jika Mety tidak bisa duduk sendiri."
Mety tertawa, dia mungkin tengah membayangkan ada anak yang berlari dengan lincah.
"Andai hidupku panjang, Uni. Aku mau usahakan jalan bagus ke kampungku, agar tidak terlalu terisolir." Dia mulai berazzam.
Air mataku mengalir deras. Ingin rasanya kupeluk tubuh kurusnya, andai tidak ingat banyaknya selang yang menghalangi.
Udara dingin bertiup masuk ke ruang perawatan, dari pintu yang terbuka lebar saat perawat masuk. Perawat mengingatkan akan jam besuk yang telah habis. Aku melirik jam, tepat jam sembilan malam.
"Engku, kalau sudah pulang ke rumah, saya akan datang ke rumah Engku. Saya mau memasak gulai bukek untuk acara nikahnya Mety." Aku berusaha mencandai Mety.
Dia tersenyum.
"Awas saja, kalau aku nikah, Uni hanya foto -foto menyambut tamu!" Mety mengancamku dengan suara yang kuat, dan dia tertawa. Kami pun ikut tertawa saking bahagianya melihat gadis baik itu telah bersemangat.
Aku pamit pulang. Engku Sutan Chaniago mengantarku keluar ruangan.
"Terima kasih Pinto, sudah lama dia tidak tertawa, jangankan tertawa, tersenyum pun sudah berbulan tidak pernah." Engku Sutan berterima kasih.
"Engku, Engku masih menyimpan ilmu hitam?" tanyaku di koridor rumah sakit.
Beliau kaget, wajahnya merah padam. Entah dari mana keberanian ini datang untuk bertanya. Di kampung Mety, semua tahu jika Engku caniago itu seorang dukun berilmu hitam. Sudah banyak korbannya.
"Sudah Engku buang tiga bulan yang lalu."
"Engku, tidakkah terlintas di pikiran Engku, anak Engku itu kena tubo?"
Beliau diam, namun kepalanya mengangguk.
*****
Seminggu berlalu, aku datang menemui Engku Sutan Caniago dengan membawa rekaman MP3 Ruqyah dalam flas disk. Aku menyarankan agar dihidupkan pakai speaker di dekat Mety. Baru saja dihidupkan, Mety mutah- mutah. Tidak lama setelah itu dia lebih segar dan minta makan. Banyak makannya, dia minta makan nasi pakai sayur. Dan sedikit sambal. Padahal sudah lama dia hanya makan bubur, itu pun hanya sedikit yang bisa dia telan.
Beberapa hari setelah itu, Ustadz Zul datang meruqyah Mety, dan Alhamdulillah Mety semakin membaik. Ustadz mengajarkan agar Mety meruqyah diri sendiri.
"Uni, Mety mengasari seorang kawan laki-laki, dia sakit hati pada Mety. Jika sehat, Mety akan temui dia dan minta maaf. Kata-kata Mety memang sangat kasar saat itu. Mety mengatakan dia sudah gila, sudah keluar dari Islam dengan pemahamannya, Mety lupa kalau dia itu anak filsafat yang pemikirannya melampaui cara berpikir Mety." Dia mulai menceritakan kisah awal sebelum dia sakit.
Mety menjalani terapi herbal dan terapi zikir dalam sebuah majlis. Dia sehat, dan mewujudkan impiannya.
Tepat saat dia sehat, dia mulai ikut dalam program pembangunan di kampungnya. Mety membuat proposal pembangunan, mengawasi pelaksanaan pembangunannya, dan sampai akhirnya semua selesai.
Dia datang mengunjungiku, memintaku datang ke kampungnya.
"Untuk membuat gulai bukek?" tanyaku saat itu.
Mety tertawa lepas.
"Jodoh Mety rahasia Allah Ni, tidak ada yang membayangkan sebelumnya, tidak juga Mety. Nanti Mety nikah dan punya anak, melihat dia tumbuh ceria, dan disitulah waktunya Mety akan pulang. Saat azzam telah sampai."
Mety bicara seolah tengah menyaksikan alam lain, matanya menatap plafon rumahku.
******
Mety menikah dengan seseorang yang dikenalnya dari dunia maya, seperti ucapannya, dia menikah dengan seseorang yang tidak terbayangkan sebelumnya, termasuk oleh dirinya.
Mety punya anak, tinggal dalam area kebun sawit di tanah suaminya. Dia melahirkan seorang anak lelaki yang kemudian tumbuh menjadi anak yang lincah.
Kematian itu datang menyapa. Mety pulang dalam senyum yang mengembang. Aku tahu kabar kematiannya setelah beberapa tahun dia meninggal, itu pun karena tidak sengaja bertemu dengan orang kampungnya di media Maya, FB.
Lama aku terdiam setelah mendengar kabar kepergiannya. Jadi teringat percakapan dalam ruang tamuku dulu. Mety mengalami apa yang dia ceritakan sambil menatap plafonku. Apakah saat itu Mety melihat apa yang akan terjadi? Wallahu 'alam bishawab. Bisa jadi mata batinnya telah melihat, dan aku hanya bisa menyimak dan menyimpan percakapan itu dalam memoryku.
Dia wanita Sholeha yang selalu shalat tahadjud. Wajahnya bersih, matanya tajam, Dia selalu bersemangat sejak pertemuan kami di ruang perawatan paru RS Ahmad mukhtar, malam itu.
Aku, Puti Nandi Pinto, menceritakannya, karena aku tengah rindu pada Mety. Saat aku patah semangat, saat aku sakit dan drop, bahkan hanya sekedar demam biasa pun aku selalu ingat perjuangan Mety untuk sembuh.
Tetap membangun harapan, punya impian dan niat yang kuat untuk mencapainya, adalah jalan yang ditempuh Mety untuk melawan rasa sakitnya. Dia dan harapan yang tak terputus pada yang maha penyembuh, Allah Azza wajalla. Meskipun, kemudian dia berdamai dengan takdir untuk pulang pada Allah, membawa sedikit rasa sakit akibat bekas racun sihir tubo.
Rasulullah juga membawa rasa sakit (saat akan meninggal) akibat racun dari wanita Yahudi yang meragukan kenabian beliau.
Kejahatan bisa saja dimaafkan, mendapatkan maaf, tapi tetap saja menyisakan luka dan sakit. Semua akan tetap dipertanggung jawabkan di akhirat kelak. Jika masih ada yang menyimpan seribu satu niat jahat, ada baiknya berpikir ulang untuk melakukannya,apa lagi jika itu bisa melenyapkan nyawa seseorang. Ada masanya mulut terkunci, tapi anggota tubuh yang lain akan menjadi saksi atas kejahatan yang dilakukan. Selalu ada balasan dari setiap hal yang dilakukan. Terkadang, kejahatan yang dilakukan, berdampak buruk pada keluarga. Begitu juga kebaikan yang dilakukan pada orang lain, bisa melapangkan keluarga sendiri tanpa disadari.
🌺🌺🌸🌸🌺🌺🌸🌸🌺🌺🌸🌸🌺🌺🌸🌸
Sarolangun, 3 November 2020.
Tubo : tuba, sihir racun melalui makanan.
Gulai bukek : Nangka untuk gulai yang direbus dan kemudian dimasak dengan kuah sate Padang. Ini merupakan kuliner yang disajikan dalam pesta adat pada beberapa daerah di ranah Minang.
0 komentar:
Posting Komentar