“Pir..! katakan kepada Ketum partai-mu itu, jangan meremehkan anak-anak milenial.” Karena geram, Talik berjingkat-jingkat ditempat. Dia mengimbuhkan, “jangan pernah pertanyakan kontribusi anak muda kepada nagari…!”. Talik sangat marah kepada Mak Andun, Ketua Partai Bengkok Barantai yang mempertanyakan sumbangsih anak muda kepada nagari. Ketua partai itu mengecam anak muda yang menurutnya hanya bisa demo tanpa berbuat untuk nagari.
Kemudian lanjutnya, “seharusnya, pertanyakanlah apa kontribusi pejabat yang digaji tiap bulan untuk kemajuan nagari ini..!. Jangan tanyakan hal itu kepada rakyat biasa!!.” Sekarang dia merasa galigaman dengan tindakan Mak Andun itu.
“dulu, saat menjelang pemilihan mereka mengambil hati anak muda, memuji-muji mereka. Kini setelah Mayua menang dan bertahta, anak muda direndahkan.” Sahut Nopi. Sipir diam saja, menanti nyinyiran Tacik.
“malahan Mak Andun meminta Mayua jangan memanjakan anak muda. Memanjakan apanya? Kebijakannya justru menyengsarakan kita para pemuda.” Talik menimpali. Tacik hanya mengangguk.
Mempertanyakan kontribusi anak muda dilakukan Mak Andun dalam rapat internal partainya. Dia geram dengan mahasiswa dan pelajar yang demo menentang Perna Cilako. Baginya anak muda harus menut dan tunduk kepada pemerintah. Apa kata pemerintah itulah kebenaran yang tidak boleh disanggah.
“sekarang kami yang bertanya balik..” Tacik yang dari tadi diam tiba-tiba bertanya kepada Sipir, ”Apa kontribusi Mak Andun kepada nagari?”
Sipir tersenyum. Meremehkan pertanyaan Tacik. Seolah itu pertanyaan bodoh. Menurutnya, sebagai seorang yang pernah menjabat menjadi Walinagari, tentu kontribusi Mak Andun sangat besar kepada nagari. Maka jawab Sipir, “sumbangsih Ketum kami kepada nagari sangat besar. Beliau mantan walinagari. Saat menjabat banyak yang telah dilakukannya untuk kemajuan nagari kita.” Lalu dia tertawa sambil melirik secara bergantian kepada Tacik, Nopi, dan Talik. Orang yang dilirik tersenyum mengejek.
“mana contoh yang telah dia perbuat?” Tacik menyangsikan.
Mendengar ketum-nya diremehkan, segera ia pun menjawab, “banyak yang sudah dilakukan ketum kami.”
“hahaha!” tiba-tiba Tacik tertawa. “apa saja yang telah dilakukan ketua kau itu?.”
Sipir gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. Saat dia mengingat-ingat, tidak ada hal besar yang telah dilakukan Mak Andun. Maka dia menjawab sekenanya saja, katanya, “bangun jalan dan jembatan, dan anu....” Sipir ternganga memikirkan apa prestasi junjungannya.
Nopi tertawa, “hahaha. Itu pekerjaan standar. Monyet-pun yang menjadi walinagari, jalan dan jembatan pasti tetap terbangun.!”
“Tatapi. Ka kan ada tu.” Balas Sipir dengan tergagap. Dia membuang muka kesamping, tidak berani menatap tiga orang itu. Nopi tertawa.
“seharusnya, jika masih makan gaji, jangan pernah menyombongkan apa yang telah dilakukan,” kata Talik. Pikirnya, berkontribusi setelah dikontribusikan oleh nagari, bukanlah sebuah kontribusi. Kontribusi sesungguhnya seperti para pahlawan. Mereka berjuang untuk kemerdekaan nagari tanpa dibayar, dan tidak mengharapkannya. Hal yang paling utama bagi pahlawan adalah kemerdekaan dan keselamatan rakyat, juga nagari. Bukan materi.
“betul!!, kalau tiap bulan masih menerima gaji dari nagari, jangan anggap apa yang telah dia perbuat sebagai sebuah kontribusi. Apalagi hasil kerjanya cuma segitu.” tambah Tacik mengejek. Nopi mengangguk. Talik mengaminkan.
Bagi Tacik, walinagari mendapat gaji tiap bulan, maka apa yang dia lakukan adalah kewajiban, bukan kontribusi. Terlepas itu hasilnya bagus atau tidak. Menurutnya berkontribusi itu tidak digaji, tetapi berbuat karena kecintaan kepada nagari.
Sipir hendak membantah, namun ketika dia akan membuka mulut, Tacik telah melanjutkan perkataannya, “Mak Andun ketika menjadi walinagari menerima gaji tiap bulan, disertai fasilitas yang sangat mewah dari nagari, menurut saya apa yang dia perbuat bukan sumbangsih buat nagari, tetapi itu adalah tugas dan kewajibannya sebagai konsekuensi dari gaji yang diterimanya tiap bulan.”
“betul..!” kata Nopi sambil melotot kepada Sipir,“ berbuat karena dibayar tidak perlu koar-koar dengan menyebutnya sebuah kehebatan..!.” Lalu bergantian dia melirik kepada Talik dan Tacik, yang dilirik tersenyum.
Sipir diam tak bergeming. Mukanya memerah. Tidak tahu harus berkata apa. Ada keinginan untuk mendebat, tetapi tidak berani. Mulutnya kelu dan kaku.
Melihat Sipir tersudut, Tacik terus menyerangnya dengan tudingan-tudingan yang merendahkan Mak Andun. Tacik seperti menumpahkan kejengkelannya kepada Mak Andun, tetapi melalui Sipir.
Maka kata Tacik, “kalau boleh dibilang, dihitung dari gaji yang dibayarkan nagari kepada ketum kalian saat menjabat, sebenarnya nagari rugi besar!. Gaji tinggi, fasilitas mewah, tetapi yang dia lakukan hanya menjual aset nagari, rakyat terpecah, jorong-jorong banyak yang ingin merdeka.”
Sipir makin memerah seperti udang rebus. Kini dia tertunduk.
Tutur Tacik lagi, “sudahlah saat menjabat di gaji tinggi tetapi tidak becus bekerja, hanya merugikan saja, eh.. sekarang dia mempertanyakan kontribusi orang lain yang tidak digaji nagari.”
Sipir masih menunduk. Mencoba memikirkan sanggahan yang tepat. Namun pikirannya blank tentang kehebatan ketum partai-nya itu.
Kembali terdengar Tacik berkata, “para pemuda yang demo itu, meski mereka tidak digaji tiap bulan oleh nagari, tetapi mereka memiliki kepedulian terhadap kemajuan nagari. Kepedulian itu ditampakkan dengan demo menentang peraturan-peraturan yang dianggap bisa menghancurkan nagari kita ini. Itulah sumbangsih mereka untuk nagari.” Sekarang Tacik emosi. Rasanya ingin menyembur Sipir.
Katanya lagi, “jadi, jangan berpikir kontribusi anak muda itu ikut membangun jalan dan jembatan. Bukan begitu cara berpikirnya..!
Talik dan Nopi mengangguk. “betul itu..” kata mereka serempak. Lalu tertawa, “hahahaha.”
Tacik nyerocos lagi, “politisi yang lurus akan berprinsip, jangan tanyakan apa yang telah nagari berikan kepada mu, tetapi tanyakan apa yang sudah kau lakukan untuk nagari. Tetapi ketua partai Bengkok Barantai prinsipnya, ukur dulu berapa besar yang di dapat dari nagari, kemudian berbuat seadanya!. Lalu pelihara buzzer untuk memviralkan pekerjaan yang sedikit itu.”
Talik dan Nopi tertawa, “hahaha,” mereka sangat puas dengan Tacik yang sukses membungkam Sipir. Lalu Nopi berteriak, “ambuan lah galuak Pir!!.”.
Sementara Sipir masih diam mematung, menunduk menatap tanah. Dengan muka masih tertunduk, kemudian dia ambil langkah seribu meninggalkan tiga orang itu. Kabur.
Karya: Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar