Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Misteri Berjalan di Sela Hujan


Setiap kali hujan turun dengan deras, ketika berada dalam perjalanan, aku selalu teringat pada Gaek Kaliliang. Beliau sesepuh kampungku, yang sangat tinggi jiwa sosialnya. 

Aku tidak begitu paham bagaimana kekerabatan keluarga kami, yang kutahu, beliau dari Suku Sikumbang Di Baruah,  begitu kami menyebut hamparan Laman Gadang dan Iko Tanah, perkampungan setelah objek wisata baru di kecamatan Matur, Pincuran Gadang.

Gaek Kaliliang, seperti gelar beliau, kakek tersebut selalu berkeliling kampung, setiap kali pulang dari Bukittinggi dan Pasaman. Beliau dulu tinggal di Kota Bukittinggi dan kemudian pindah ke Pasaman. Beliau mengunjungi sanak famili, termasuk keluargaku. Waktu Nenek masih hidup, beliau penuh hormat pada Nenek. 

Kami selalu ngopi dan makan bersama setiap kali beliau datang. 

Pernah suatu kali, saat aku telah duduk di bangku SMP. Usai shalat Jumat, beliau datang ke rumah. Hujan sangat deras saat itu. Jarak dari Masjid ke rumahku, sekitar dua ratus meter. Bisa dipastikan baju akan basah kuyup jika menempuh hujan dengan jarak tersebut. 

Aku betul-betul kaget dan terlongo saat membukakan pintu untuk Gaek Kaliliang. Baju beliau kering, hanya peci beliau sedikit basah. 

"Gaek, kok bisa?" tanyaku heran. 

Beliau tertawa. 

"Berjalan di sela hujan," jawab beliau. 

Aku diam dan mempersilakan beliau masuk. Kubuatkan kopi hangat untuk beliau. Aku hapal takaran kopi lezat beliau, dua sendok gula, satu sendok penuh kopi Arabika, airnya seratus CC saja. Kental, manis dan sedikit pahit tentunya.

Saat menyuguhkan kopi, aku kembali bertanya pada Gaek. Kenapa bisa beliau berjalan dalam kondisi hujan tapi tidak basah. 

"Ada pantunnya." Jawab beliau

"Liang ka liliang

Kaliliang batu Asahan

Hujan alah bakuliliang

Yang ambo Jan dibasahkan."lanjut beliau.

Gaek meminum kopinya. Uap dari kopi masih mengepul, tapi Gaek terlihat santai meneguk kopi. Mungkin karena suhu terlalu dingin, jadi beliau merasa biasa saja.

"Semua terjadi berkat satu hal, Laa ilaa ha illallah!" tegas beliau. 

"Jika Allah berkata, jadi,maka terjadi. Tidak ada yang bisa menolak. Begitu juga jika Allah katakan tidak, maka tidak akan terjadi. Di dunia ini ada yang bisa dicerna dengan logika, dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi ada yang tidak. Nah, yang terjadi, tapi tidak bisa dicerna dengan akal, ini harus pakai hati, qalbu, ini menyangkut iman. Dipercayai dengan iman. Paham?" Gaek bertanya di ujung penjelasannya. 

Aku menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan, berusaha rileks untuk bisa memahami apa yang diuraikan Gaek. 

Ibu masih shalat Zuhur di kamar, sementara Ayah belum pulang shalat Jumat. Kami hanya berdua di ruang tamu.

"Gaek, jadi berjalan di sela hujan ini terkait mistik?" tanyaku.

Beliau tertawa. 

"Belajarlah yang rajin, nanti jadi ahli tentang air, ada ilmunya, bukan mistik. Namun kekuatan doa tentunya yang utama." jelas beliau. 

Gaek membawaku duduk ke teras. Memintaku mengamati setiap air yang jatuh. 

"Rinai, hatinya rapat dan halus, tidak mungkin bisa kering jika berjalan dalam kondisi rinai, tetapi kita bisa tidak basah saat hujan deras. Coba perhatikan hujan yang turun, semakin deras hujan, maka jarak antara butiran hujan yang satu dengan butiran yang lainnya akan berjarak. Iya atau tidak?" 

Aku diam dan memperhatikan lubang-lubang di tanah yang terbentuk karena tekanan butiran hujan. Memang benar, semakin deras hujan, jarak butiran hujan semakin renggang. 

'Analisa Gaek, sangat hebat!' batinku.

Aku tidak mau memuji Gaek, karena pikiranku masih belum menerima apa yang tadi kusaksikan.

"Air hujan, jatuhnya tidak serentak antara butir yang satu dengan yang lainnya, nah, itulah yang dimanfaatkan untuk berlari. Tidak bisa jika berjalan santai, pasti basah. Harus berlari, setidaknya berlari kecil." Panjang lebar Gaek menjelaskan, tetapi tetap saja tidak bisa kuterima. 

Kilat yang disusul petir nan berdentum kuat, menghentikan  pengamatanku siang itu. Kami masuk ke rumah, Ibu sudah menghidangkan goreng beledang lado hijau dan tumis pucuk ubi. Kami makan bersama. Ayah pulang dalam keadaan basah kuyup saat kami sedang makan. 

"Ayah, Gaek tadi berjalan disela hujan, Ayah kenapa tidak melakukan seperti yang dilakukan Gaek?" Aku memberondong Ayah dengan pertanyaan sambil menyerahkan handuk, agar Ayah sedikit mengeringkan badan sebelum masuk ke rumah. 

Kubuatkan secangkir kopi untuk Ayah. Gaek menggantung tangannya di paha, menanti Ayah selesai berganti pakaian, agar bisa makan bersama. Kuperhatikan, Gaek hanya menambah sedikit sekali nasi, menyuapnya sangat sedikit sambil menemani Ayah makan. Aku karena merasa telah kenyang, langsung cuci tangan, dan mengangkat piringku ke belakang. 

"Besok -besok, jika suasana makan seperti ini, jangan langsung cuci tangan ya, tunggu tuan rumah, dan temani makan seperti yang gaek lakukan. Ini namanya Adab makan bersama. Adab itu sangat penting, bahkan lebih dahulu dari pada ilmu. Tidak boleh juga sebagi tuan rumah, mengangkat langsung piring ke belakang, ketika tamu sedang makan, tidak boleh juga berberes sambal dan rimah. Karena itu tindakan mengusir tamu secara halus. Begitu adat kita di tanah Minang ini." Gaek mengusap kepalaku dan mencium kepalaku beberapa kali, selama memberi nasehat. 

Mungkin, agar nasehat itu masuk, menghujam ke dalam kepalaku. Sebuah ilmu parenting yang sangat jarang kuterapkan. Hingga kini, aku mengingatnya dengan sangat jelas.

*******

Sepuluh tahun berlalu.

Suatu siang, hujan sangat deras di kota Padang. Seorang kawan  berlari zig-zag dari teras gedung A ke pelataran gedung D, kampus Institut Teknologi Padang, tempat aku dan kawan-kawan duduk bersama, menanti hujan reda seusai kuliah. 

Rasa penasaran menyelimuti hatiku, kenangan tentang Gaek Kaliliang mengisi hati dan pikiranku. Kuhampiri Bang Sunni, kawan yang berlari zig-zag itu. 

"Bang, kok bisa berlari dalam hujan tapi tidak basah?" tanyaku heran. 

Kawan dan senior, juga seniorita yang duduk di pelataran gedung menahan tawa mereka, mengejekku. Pertanyaan konyol mungkin bagi mereka, karena Bang Sunni seorang pelatih silat. Hal-hal diluar kewajaran, menjadi  biasa saja terjadi dalam kesehariannya. 

"Ada ilmunya, kalau ingin tahu, ikut belajar silat." Hanya itu yang kudapatkan jawaban. 

Dilain waktu, aku dan Ali sahabatku, duduk bersama di teras gedung C. Tak jauh dari kami, ada Bang Sunni. Dari gedung itu lurus ke depan kampus, tidak ada tempat berteduh. 

"Fa, nanti kalau Sunni jalan, kita langsung jalan ya, injak bekas pijakan dia." Agak berbisik Ali menyampaikan padaku.

"Kenapa?" tanyaku heran. 

"Kita tes, apa benar, berjalan di sela hujan itu, bisa masuk logika kita." jelas Ali.

Aku mengangguk, menyetujui usulan Ali.

Bang Sunni berdiri. Kulihat dia menatap lurus ke arah pos satpam. Bibirnya tidak komat-kamit, tidak ada yang dia baca. Aku benar-benar memperhatikan, saking penasarannya untuk uji coba ini. 

Di berlari zig-zag, aku langsung mengikuti, begitu juga Ali yang menyusul di belakangku. Aku menginjak bekas pijakan Bang Sunni, sampai ke pos satpam.

Hampir saja daguku saat itu dapat sikutan jurus Alu Pontong Bang Sunni karena dia kaget aku tiba-tiba berdiri tepat di belakangnya. Untunglah aku bisa sedikit mengelak dan buru-buru minta maaf. 

"Berhasil kan?" tanya Ali semangat.

"Lumayan, basah dikit." jawabku sambil mengibaskan sedikit air di kepalaku.

Aku melihat ada ruang yang hujannya masih menggantung tinggi, seukuran badan berbentuk zig-zag saat tadi mengikuti Bang Sunni.

"Berkat Suhu!" Ali berkomentar, dan kami tertawa berdua karena bahagia, rasa penasaran  untuk berjalan disela hujan akhirnya terwujud. 

Di teras gedung C, kawan-kawan bertepuk tangan dan bersorak riang.

"Sakeh! Sakeh!" teriak salah satu dari mereka sambil mengacungkan jempol. 

Sakeh itu, artinya salut atas ilmu yang mumpuni. Bang Sunni hanya diam, memperhatikan aku dan Ali yang masih tersenyum bahagia. 

Sejak hari itu, aku dan Ali sering mencari Bang Sunni kalau hari hujan. Lari mengikuti langkahnya setiap kali akan keluar kampus untuk menunggu angkot. 

"Yang penting itu yakin! Kalau tidak yakin, ya basah juga, meskipun sudah tahu tekniknya. Yakin pada kuasa Allah, dan yakin dalam melangkah!" Begitu nasehat Bang Sunni.

Memang hujan itu tidak serentak turunnya,  akan tetapi aku tidak pernah mencoba untuk menembus hujan sendiri. Aku masih meyakini, ada sesuatu yang diamalkan oleh mereka yang bisa berjalan di sela hujan. Kalau pun aku pernah tidak basah, atau sedikit basah, saat mengekor di belakang Bang Sunni, kupikir itu hanyalah ikut  menikmati keberkahan yang dia miliki.

*****

Dalam suatu kesempatan, saat libur dan berada di kampung, kuceritakan pada Gaek Kaliliang, pengalamanku berlari di sela hujan, karena mengikuti Bang Sunni. Saat itu aku bertemu Gaek yang baru selesai memunguti bekas sampo dan menghindar tembok di kolam pemandian perempuan,di objek wisata Pincuran Gadang. Waktu itu belum jadi objek wisata.

"Nah, itu lah yang namanya ilmu. Jika ada suatu yang ganjil, tidak masuk akal, jangan cepat menyimpulkan kalau itu ada mistiknya, atau syirik. Jika ilmu sepanjang galah, itu baru bisa untuk menyeberangi Batang Kasiak, janganlah pula dipakai untuk melompati lautan.  Karam kau nanti." Nasehat beliau terasa dalam bagiku. Bahkan sampai hari ini. 

Batang Kasiak, adalah sungai kecil yang melintasi nagari Matua, lebarnya tidak lebih dari tiga meter, airnya kecil dan tidak pula deras. Paling tinggi hanya sampai betis, itu pun jika hujan sangat deras. 

"Nabi Khaidir as bisa berjalan diatas air, selain karamah beliau, itu juga ada tekniknya, ada ilmunya, makanya banyak para wali Allah yang juga bisa berjalan di atas air. Lain kali kita cerita." Gaek memancing cerita baru. 

Mataku membulat, Gaek Kaliliang tertawa melihatku. 

"Kau kalau cerita yang macam itu, nampak sekali kau sangat berminat. Pandai-pandailah menyimpan keinginan dalam hidup ini, agar tidak celaka dalam berharap. Jangan terbaca oleh orang, apa yang ada dalam hatimu. Tidak semua orang baik di dunia ini.ingat itu." Gaek kembali menasehatiku saat itu. 

*****

Beberapa hari yang lalu, usai magrib, anak-anakku  menonton siaran Trans Tujuh. Sepertinya acara On The Spot. Ada bahasan tentang Fakta atau Mitos, tentang kuda yang bisa berlari diatas air. Di akhir acara tersebut, disampaikan tentang teori tentang permukaan air yang akan bersifat keras bila mendapatkan pukulan yang kuat. Makanya bisa menyeberangi laut dan sungai dengan berlari kencang. Sayangnya aku tidak menyimak acara tersebut sedari awal, itu pun mendengarnya sambil lewat, ketika mengantar piring kotor ke dapur.

Segala sesuatu itu memang ada ilmunya, dan adab lebih utama dari ilmu. Menghargai apa yang kita saksikan, dan tidak cepat memberi penilaian dengan label mistik atau syirik, adalah sebuah sikap saling menghormati, sebagai bangsa yang beradab, dan hidup dalam keberagaman budaya, yang memang masih menyisakan kearifan lokal yang kadang sulit diterima dengan logika. Tentang berjalan di sela hujan, karena tidak pernah mencoba sendiri, bagiku ini masih sebuah misteri.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Sarolangun, 15 November 2020.

Karya: Iphat Chan
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support