Media publikasi tulisan-tulisan unik, menarik dan menginspirasi

Panjang Pangana


Pagi itu, seperti biasa, sebelum berangkat ke kantornya di Palo Aia, Mak Jaliman sarapan Pagi dulu di Lapau Nek Sidan di Lubuak Kalang. Sudah 2 jam beliau disitu, tetapi menu pesanan belum tandas seluruhnya. Kopi yang setengah belum di minum seteguk-pun. Silambiak yang sepiring baru habis seperempatnya.

Bagaimana tidak, beliau lebih banyak menungnya daripada menyungkah sarapannya. Sekali menyuap menungnya setengah jam lamanya. Panjang sekali "pangana" beliau pagi itu.

Tidak berapa lama, Talik lewat bersama beruk-nya. Dia hendak ke Banda Tangah untuk mengambil Karambia. Melihat keganjilan Mak Jaliman, dia kepo ingin tahu apa yang sedang dirisaukan Mak Jaliman.

Setelah memautkan Beruk ditiang listrik, diseberang jalan dekat Parak Mak Da, lalu Talik menuju Lapau Nek Sidan.

"Mak Jaliman! ada apa, kok pagi-pagi sudah jauh pangana?," tanya Talik sambil duduk disisi Mak Jaliman.

"Tidak ada apa-apa, Lik" jawab Mak Jaliman lirih.

"Kalau tidak ada apa-apa, kok gelagatnya seperti memikirkan sesuatu masalah yang amat berat?." Talik bertanya lagi.

Mak Jaliman hanya tersenyum hambar. Lalu dengan malas beliau mendudut kopinya.

Maka Tanya Talik lagi, "baruak Mak Jaliman mati, ya?"

Yang ditanya hanya menggeleng saja.

Talik makin penasaran. Dia semburkan lagi beberapa pertanyaan.

"Lalu apa yang Mak Jaliman menungkan..?

“Baruak sakik?”

“Menganduah beruk dengan Mak Saidan, rugi?”

“Atau, gitang Mak Jaliman di 'cabiak-an' Si Anduk?."

Mak Jaliman masih menggeleng. Setelah itu beliau merogoh saku baju depan dada sebelah kiri, mengambil rokok anau, melinting, membakar, menghisapnya, lalu menghembuskan asapnya. Tampak asap berkepulun keluar dari hidung dan mulut beliau.

Kemudian beliau berkata. “begini, Lik. Mamak memikirkan tentang permasalahan Nagari kita yang begitu kompleks. Di semua lini pasti ada saja masalahnya. Seperti penanganan wabah yang amburadul, warga terpecah, pejabat yang korup, penegakan hukum yang tidak adil, perusahaan nagari rugi semua, dan masih banyak lagi.” Sambil bicara beliau memainkan asap anau di mulutnya, lalu beliau kembali berkata, “ini karena walinagari kita tidak punya kompetensi untuk memimpin.!” Kembali anau itu dihisap dan dihembuskan asapnya.

“tapi Mak,” sanggah Talik, “bukankah di media sosial, kita lihat walinagari sering pamer keberhasilan. Berarti Nagari kita ini baik-baik saja.”

“pekerjaan pejabat jangan diukur dari unggahan-unggahan di media sosial,” balas Mak Jaliman, “jangan menilai kebenaran arah kebijakan hanya didasarkan pada dukungan suara di media sosial. Pokoknya asal kata pemerintah di FB dan Twitter aman, lalu kita merasa semua aman. Jangan percaya!.”

Ketika berbicara sampai disini, beliau berhenti sejenak, lalu menghisap rokoknya beberapa kali kemudian berkata lagi, “pemerintah nagari selama ini telah mengiring opini dengan memakai buzzer dan influencer, untuk membuat kegagalannya menjadi keberhasilan. Dan para pengkritik akan dihabisi oleh Buzer-buzer itu, bahkan dihansipkan.” Kembali rokok anau itu dihisap. Sekarang hisapannya lebih dalam, hingga terpuntung. Sementara Talik hanya melongo menyaksikan Mak Jaliman.

Sesudah itu, daun anau dilinting lagi, dibakar, dan dihisap. Kemudian Mak Jaliman kembali melanjutkan ucapannya.“sampai kemudian wabah melanda, jumlah kasus dan kematian tak bisa disembunyikan, dampak ekonomi tak bisa dibendung. Kebobrokan walinagari tidak bisa ditutupi lagi dengan citra dan buzzer. Pandemik ini telah memperlihatkan kepada kita bahwa kompetensi adalah hal yang harus dimiliki seorang pemimpin….!!!” Tutur Mak Jaliman berapi-api. Talik menggeser duduknya agak menjauhi Mak Jaliman, karena suara Mak Jaliman terasa memekakkan telinganya.

Kata Mak Jaliman lagi, “bukannya mengatasi virus, kini Mayua dengan tidak tahu diri menyiapkan keluarganya untuk berkuasa. Anak menantunya yang selama ini tidak tahu menahu tentang politik, tidak ada rekam jejak dalam berbuat untuk warga banyak, lalu didorong ikut berebut kekuasaan,” tiba-tiba nada bicara beliau meninggi, “semua orang senagari tahu, anak menantu Mayua itu tidak punya kompetensi dan integritas..!!!”.

Karena suara Mak Jaliman makin keras, Talik ngesot lagi agak menjauh.

Yang membuat Mak Jaliman makin jengkel lagi, Walinagari bukannya fokus mengurus nagari yang sedang diserang wabah, namun malah sibuk mempersiapkan anak dan menantunya untuk berkuasa juga. Anaknya akan bertarung untuk memperebutkan jabatan Kepala Jorong di Jorong Lubuk Kalang, sementara menantunya di Jorong Lubuk Tareh. Mayua seperti berupaya mengamankan keluarga dan keturunannya setelah nanti ia tak lagi berkuasa.

“tapi Mak,” sanggah Talik, “anak Mayua kan sukses sebagai pengusaha Pinukuik, dan minantunya berhasil menjadi pedagang Kacimuih. Jika sukses berusaha, maka juga akan sukses menjadi pemimpin.”

“Tidak ada jaminan sukses berusaha, juga akan berhasil memimpin….!!,” balas Mak Jaliman keras, “ingat! usaha mereka ada karena disokong oleh orang tua mereka yang kaya. Bukan dirintis sendiri. Mana tahu mereka sakitnya menahan lapar. Mana paham dia rasanya menjadi orang miskin..!.”

Lalu Mak Jaliman menepuk bahu Talik, menatapnya cukup lama, mungkin iba atas ilmu Talik yang masih amatiran. Setelah itu beliau berkata lagi, “prestasi mereka cuma satu…!.”

“apa itu Mak …?,” Tanya Talik dengan tiga lipatan di kening pertanda heran.

“mereka anak dan menatu walinagari. Itu saja…!.” Jawab Mak Jaliman mantap.

Bagi Mak Jaliman, politik adalah jalan luhur. Kerja politik adalah kerja mulia, yang bagi filsuf Aristoteles sejajar dengan kemuliaan pekerjaan seorang guru. Sebagaimana guru, pelaku politik adalah orang-orang yang membawa manfaat bagi orang lain, punya kebijaksanaan dan pengetahuan yang bisa menunjukkan arah kehidupan lebih baik bagi para pengikutnya, dan punya martabat.

Kini, menurut Mak Jaliman, keluhuran politik di nagari telah dirusak oleh orang-orang minim kompetensi. Mereka hanya dengan modal pencitraan dan nama besar orang tua, tanpa ada rekam jejak kepedulian kepada masyarakat, beramai-ramai maju berebut kursi kekuasaan.

Mereka minta dipilih tanpa membawa tujuan mulia yang bisa dipercaya. Mereka minta dipercaya walaupun tak pernah berbuat apa-apa selain untuk memakmurkan diri sendiri dan keluarga. Lalu mereka benar-benar terpilih. Maka yang terjadi hanya kemunduran dalam nagari.

Inilah yang dirusuhkan Mak Jaliman, yang membuat beliau ‘panjang pangana’.

Matahari telah meninggi di cakrawala. Gunung danau tampak tercelak. Hamparan sawah di Banda Tangah menambah semarak indahnya pagi itu. Lalu kedua orang itu meng-urak selo meninggalkan Lapau Nek Sidan.


Karya ; Rozi Firdaus

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Definition List

Unordered List

Support