Pagi itu, seperti biasa, sebelum berangkat ke kantornya di Palo Aia, Mak Jaliman sarapan Pagi dulu di Lapau Nek Sidan di Lubuak Kalang. Sudah 2 jam beliau disitu, tetapi menu pesanan belum tandas seluruhnya. Kopi yang setengah belum di minum seteguk-pun. Silambiak yang sepiring baru habis seperempatnya.
Bagaimana tidak, beliau lebih banyak
menungnya daripada menyungkah sarapannya. Sekali menyuap menungnya setengah jam
lamanya. Panjang sekali "pangana" beliau pagi itu.
Tidak berapa lama, Talik lewat bersama
beruk-nya. Dia hendak ke Banda Tangah untuk mengambil Karambia. Melihat
keganjilan Mak Jaliman, dia kepo ingin tahu apa yang sedang dirisaukan Mak
Jaliman.
Setelah memautkan Beruk ditiang listrik,
diseberang jalan dekat Parak Mak Da, lalu Talik menuju Lapau Nek Sidan.
"Mak Jaliman! ada apa, kok
pagi-pagi sudah jauh pangana?," tanya Talik sambil duduk disisi Mak
Jaliman.
"Tidak ada apa-apa, Lik" jawab
Mak Jaliman lirih.
"Kalau tidak ada apa-apa, kok
gelagatnya seperti memikirkan sesuatu masalah yang amat berat?." Talik
bertanya lagi.
Mak Jaliman hanya tersenyum hambar. Lalu
dengan malas beliau mendudut kopinya.
Maka Tanya Talik lagi, "baruak Mak
Jaliman mati, ya?"
Yang ditanya hanya menggeleng saja.
Talik makin penasaran. Dia semburkan
lagi beberapa pertanyaan.
"Lalu apa yang Mak Jaliman
menungkan..?
“Baruak sakik?”
“Menganduah beruk dengan Mak Saidan,
rugi?”
“Atau, gitang Mak Jaliman di 'cabiak-an'
Si Anduk?."
Mak Jaliman masih menggeleng. Setelah
itu beliau merogoh saku baju depan dada sebelah kiri, mengambil rokok anau,
melinting, membakar, menghisapnya, lalu menghembuskan asapnya. Tampak asap
berkepulun keluar dari hidung dan mulut beliau.
Kemudian beliau berkata. “begini, Lik.
Mamak memikirkan tentang permasalahan Nagari kita yang begitu kompleks. Di
semua lini pasti ada saja masalahnya. Seperti penanganan wabah yang amburadul,
warga terpecah, pejabat yang korup, penegakan hukum yang tidak adil, perusahaan
nagari rugi semua, dan masih banyak lagi.” Sambil bicara beliau memainkan asap
anau di mulutnya, lalu beliau kembali berkata, “ini karena walinagari kita
tidak punya kompetensi untuk memimpin.!” Kembali anau itu dihisap dan
dihembuskan asapnya.
“tapi Mak,” sanggah Talik, “bukankah di
media sosial, kita lihat walinagari sering pamer keberhasilan. Berarti Nagari
kita ini baik-baik saja.”
“pekerjaan pejabat jangan diukur dari
unggahan-unggahan di media sosial,” balas Mak Jaliman, “jangan menilai
kebenaran arah kebijakan hanya didasarkan pada dukungan suara di media sosial.
Pokoknya asal kata pemerintah di FB dan Twitter aman, lalu kita merasa semua
aman. Jangan percaya!.”
Ketika berbicara sampai disini, beliau
berhenti sejenak, lalu menghisap rokoknya beberapa kali kemudian berkata lagi,
“pemerintah nagari selama ini telah mengiring opini dengan memakai buzzer dan
influencer, untuk membuat kegagalannya menjadi keberhasilan. Dan para
pengkritik akan dihabisi oleh Buzer-buzer itu, bahkan dihansipkan.” Kembali
rokok anau itu dihisap. Sekarang hisapannya lebih dalam, hingga terpuntung.
Sementara Talik hanya melongo menyaksikan Mak Jaliman.
Sesudah itu, daun anau dilinting lagi,
dibakar, dan dihisap. Kemudian Mak Jaliman kembali melanjutkan
ucapannya.“sampai kemudian wabah melanda, jumlah kasus dan kematian tak bisa
disembunyikan, dampak ekonomi tak bisa dibendung. Kebobrokan walinagari tidak
bisa ditutupi lagi dengan citra dan buzzer. Pandemik ini telah memperlihatkan
kepada kita bahwa kompetensi adalah hal yang harus dimiliki seorang
pemimpin….!!!” Tutur Mak Jaliman berapi-api. Talik menggeser duduknya agak
menjauhi Mak Jaliman, karena suara Mak Jaliman terasa memekakkan telinganya.
Kata Mak Jaliman lagi, “bukannya
mengatasi virus, kini Mayua dengan tidak tahu diri menyiapkan keluarganya untuk
berkuasa. Anak menantunya yang selama ini tidak tahu menahu tentang politik,
tidak ada rekam jejak dalam berbuat untuk warga banyak, lalu didorong ikut
berebut kekuasaan,” tiba-tiba nada bicara beliau meninggi, “semua orang
senagari tahu, anak menantu Mayua itu tidak punya kompetensi dan
integritas..!!!”.
Karena suara Mak Jaliman makin keras,
Talik ngesot lagi agak menjauh.
Yang membuat Mak Jaliman makin jengkel
lagi, Walinagari bukannya fokus mengurus nagari yang sedang diserang wabah,
namun malah sibuk mempersiapkan anak dan menantunya untuk berkuasa juga.
Anaknya akan bertarung untuk memperebutkan jabatan Kepala Jorong di Jorong
Lubuk Kalang, sementara menantunya di Jorong Lubuk Tareh. Mayua seperti
berupaya mengamankan keluarga dan keturunannya setelah nanti ia tak lagi
berkuasa.
“tapi Mak,” sanggah Talik, “anak Mayua
kan sukses sebagai pengusaha Pinukuik, dan minantunya berhasil menjadi pedagang
Kacimuih. Jika sukses berusaha, maka juga akan sukses menjadi pemimpin.”
“Tidak ada jaminan sukses berusaha, juga
akan berhasil memimpin….!!,” balas Mak Jaliman keras, “ingat! usaha mereka ada
karena disokong oleh orang tua mereka yang kaya. Bukan dirintis sendiri. Mana
tahu mereka sakitnya menahan lapar. Mana paham dia rasanya menjadi orang miskin..!.”
Lalu Mak Jaliman menepuk bahu Talik,
menatapnya cukup lama, mungkin iba atas ilmu Talik yang masih amatiran. Setelah
itu beliau berkata lagi, “prestasi mereka cuma satu…!.”
“apa itu Mak …?,” Tanya Talik dengan
tiga lipatan di kening pertanda heran.
“mereka anak dan menatu walinagari. Itu
saja…!.” Jawab Mak Jaliman mantap.
Bagi Mak Jaliman, politik adalah jalan
luhur. Kerja politik adalah kerja mulia, yang bagi filsuf Aristoteles sejajar
dengan kemuliaan pekerjaan seorang guru. Sebagaimana guru, pelaku politik
adalah orang-orang yang membawa manfaat bagi orang lain, punya kebijaksanaan
dan pengetahuan yang bisa menunjukkan arah kehidupan lebih baik bagi para
pengikutnya, dan punya martabat.
Kini, menurut Mak Jaliman, keluhuran
politik di nagari telah dirusak oleh orang-orang minim kompetensi. Mereka hanya
dengan modal pencitraan dan nama besar orang tua, tanpa ada rekam jejak
kepedulian kepada masyarakat, beramai-ramai maju berebut kursi kekuasaan.
Mereka minta dipilih tanpa membawa
tujuan mulia yang bisa dipercaya. Mereka minta dipercaya walaupun tak pernah
berbuat apa-apa selain untuk memakmurkan diri sendiri dan keluarga. Lalu mereka
benar-benar terpilih. Maka yang terjadi hanya kemunduran dalam nagari.
Inilah yang dirusuhkan Mak Jaliman, yang
membuat beliau ‘panjang pangana’.
Matahari telah meninggi di cakrawala.
Gunung danau tampak tercelak. Hamparan sawah di Banda Tangah menambah semarak
indahnya pagi itu. Lalu kedua orang itu meng-urak selo meninggalkan Lapau Nek
Sidan.
Karya ; Rozi Firdaus
0 komentar:
Posting Komentar