Kantor Walinagari terletak di selatan pasar. Di depannya membentang jalan raya penghubung antar jorong. Pada bagian belakangnya adalah hamparan sawah, di seberangnya terdapat hutan perkebunan milik warga yang cukup luas.
Sejak pagi Kantor Walinagari telah ramai
dikepung pendemo yang ingin menemui Walinagari, Mayua. Tujuannya mendesak
Walinagari agar membatalkan Perna Cilako yang dianggap sangat merugikan warga.
Namun Mayua takut menemui pendemo. Dia
berniat ingin kabur meninggalkan Kantornya.
Agar tidak diketahui para pendemo saat
melarikan diri, Mayua pergi melalui pintu belakang. Setelah membuka pintu,
dengan langkah hati-hati dia mengendap-endap di pematang sawah, sesekali
celingak-celinguk kiri kanan dan mengangkat kepala untuk mencigap di sela-sela
dahan padi, demi memantau keadaan di sekitar.
Jika tampak orang atau pendemo, dia akan
tiarap di pematang sawah itu, lalu merangkak untuk menjauh.
Setu jam berlalu Mayua sampai di ujung
pematang. Disampingnya terdapat banda yang airnya jernih mengalir deras.
Kemudian Mayua membersihkan pakaiannya yang telah kotor karena bergelimang
lunau. Setelah bersih lalu melanjutkan pelariannya.
Dari tepi sawah dia berjalan kearah
utara manuju hutan. Dia hendak pergi ke kawasan peternakan itik milik
pemerintah nagari yang berada di tengah hutan .
Hutan itu berada diatas bukit. Untuk
mencapainya harus melalui jalan menanjak yang cukup terjal. Setelah berhasil
melewati jalan terjal, maka akan sampai di dataran yang sangat luas. Di dataran
itu berdiri ratusan kandang itik yang berjejer lurus saling berhadapan. Inilah
kawasan peternakan milik pemerintah nagari.
Dengan bersusah payah akhirnya Mayua
berhasil sampai di puncak bukit. Kedatangannya disambut oleh keriuhan suara
itik yang bergemuruh. Mendengar merdunya suara hewan itu hatinya senang. Rasa
penat hilang. Semangatnya bangkit.
Mayua lalu berjalan menuju pondok untuk
istirahat. Saat dia duduk di beranda pondok sembari minum air putih, tiba-tiba
seekor itik mendekatinya seperti sedang menyambut kedatangannya. “Kwek. Kwek.
kwek”. Mayua girang. Semua masalah seperti hilang di ingatan.
Setiap ada beban berat dan masalah yang
pelik dalam memimpin pemerintahan, dia selalu datang kesini untuk menenangkan
pikirannya.
Tengah asyik menikmati segarnya air
putih dan sedapnya suara itik, sayup-sayup Mayua mendengar suara tindakan orang
mengarah pondoknya, dari kejauhan juga terdengar teriak-teriakan orang dalam
jumlah besar. Karena tidak ingin diketahui keberadaanya, namun penasaran dengan
orang datang dan apa yang terjadi dari kejauhan, lalu dia memanjat pohon Pulai
yang berada di depan pondok. Dari tempat yang tinggi dapatlah Mayua melihat ada
dua orang laki-laki sedang menuju pondoknya. Sementara terdapat ratusan orang
yang sedang berkumpul di bawah bukit.
Kedua orang itu seorang tinggi berdegap
dan yang lain tinggi kurus, keduanya berusia kira-kira 35 tahun. Yang tinggi
berdegap Mayua mengenalinya bernama Pian, yang kurus adalah Topik.
Terdengar Pian sedang berkata, “Pik,
kira-kira kemana larinya Mayua itu?”
“saya yakin dia lari ke peternakan itik
ini,” demikian jawab Topik. “tempat ini adalah tempat faforitnya jika ada
masalah.”
Pian menenok pondok, “sepertinya
kosong,” ia bergumam, setelah itu berjalan menuju pondok, kemudian
menggeledahnya, “tidak ada orang!!,” teriaknya kepada Topik. Lalu dia duduk di
beranda pondok. Topik menyusul dan duduk pula di sampingnya.
“seharusnya Mayua berani menemui pendemo
itu. Orang senagari sudah tahu bahwa dia kangen di demo. Dan ini sebenarnya
momen untuk membuktikan sesumbarnya dulu.” Tutur Topik sembari melinting rokok
Panam Kuning. Rokok di bakar kemudian mengimbuhkan, “mungkin bisa jadi lantaran
sesuatu hal, maka dia takut dan melarikan diri dari pendemo.”
“hal apa?” tanya Pian.
“mungkin dia kurang paham isi Perna itu,
sehingga tidak mampu menjelaskannya kepada warga yang demo. Bisa jadi juga dia
ditekan partai dan para elit pengusungnya. Barangkali pula Perna ini perjanjian
antara Mayua dengan para donaturnya itu”.
“memang kalera Mayua itu. Masakah karena
segelintir orang itu, dia berani menghianati warga yang mempercayainya. Coba
kalau tidak mengingat hubungan dunsanak, sungguh aku ingin menempeleng mukanya
bolak-balik,” demikian Pian marah-marah.
“apakah kita perlu mencarinya sampai
ketemu dan menasehatinya agar bersedia mendengar aspirasi warga?” usul Topik.
“perlu!. Jika nanti dia tidak mau
mendengar nasehat kita, kamu lampang saja dia sampai babak belur.”
“Baiklah, jika sudah begini tekadmu,
marilah kita lanjutkan mencarinya.”
Begitulah kedua orang itu kembali ke
rombongannya yang sedang menunggu dibawah bukit, lantas melanjutkan mencari
Mayua.
Seperginya kedua orang itu, Mayua
melompat kebawah, keluar dari persembunyiannya. Wajahnya menjadi pucat dan
sebentar merah pula, gumamnya, “wadduh. Gawat ini. Bisa mati saya kalau sampai
ditemukan oleh orang banyak itu”.
Mayua merasa serba salah bagai makan
buah simalakama. Dia semakin bingung untuk memutuskan. Jika Perna ditolak, dia
akan berhadapan dengan sponsor yang membiayainya. Dia menyadari, tanpa kucuran
dana dari para toke, mustahil bisa seperti sekarang ini. Andaikan Perna tetap
dilanjutkan, maka dia akan melawan warga yang telah memilihnya. Bagi Mayua,
keduanya sama pentingnya. Keduanya harus dilaksanakan. Tapi itu mustahil.
Permintaan Toke sukar untuk dipenuhi,
kemauan warga juga sulit untuk dijalankan. Kondisinya seperti terkunci di dalam
toilet umum. Hendak keluar tak ada jalan, hendak bertahan tapi aroma cirik tak
tertahankan busuknya. Jalan satu-satunya menghembuskan napas, lalu mencoba
sekuat tenaga untuk tidak menghirup udara. Tapi bisa kuat berapa lama.
Mayua berfikir, untuk melanjutkan
kekuasaannya, maka dia harus memilih salah satunya. Berdasarkan dua pilihan
itu, setelah menginap-menungkan secara mendalam, akhirnya dia memilih opsi yang
tekanannya lebih besar, yaitu penekan yang mampu menggulingkannya dari kursi
kekuasaan.
Analisanya, apabila menuruti kehendak
warga, maka dia akan berhadapan dengan Para Toke. Kelompok Toke ini jumlahnya
memang sedikit, tetapi kekuatannya sangat besar. Dengan uangnya mereka bisa
melakukan apa saja. Bahkan dapat menggerakkan Hansip dan Tantaha untuk berbalik
arah melawannya. Ini berbahaya.
Jika mengabulkan permintaan Para Toke,
tentu dia akan berhadapan dengan warga. Kelompok ini jumlahnya memang sangat
banyak, tetapi kekuatannya tidak sekuat Para Toke. Mereka tidak mampu
menggerakkan aparat nagari untuk m wwwelawannya. Kelompok ini hanya bisa protes
dan berteriak-teriak dijalanan saja. Andaikan mereka ngotot melawan, pasti
perlawanan itu akan mudah meredamnya dengan pendekatan kekerasan aparat. Ini
bukan ancaman berarti.
Akhirnya, dengan pertimbangan itu, Mayua
memutuskan pilihan kedua. Lalu dengan tersenyum dia menuruni bukit untuk
kembali kekantonrya. Menjalankan rencananya. Rencana yang mungkin akan
menumpahkan banyak darah.
0 komentar:
Posting Komentar