Mahkamah Konstitusi dalam sidangnya hari Kamis 25 November 2021 memutuskan bahwa judicial review omnibus law Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta (UU Cipta Kerja) tidak sesuai konstitusi atau inkonstitusional bersyarat. Bersyarat maksudnya yaitu harus diperbaiki dalam waktu 2 tahun, jika tidak maka UU Cipta Kerja jadi inkonstitusi permanen.
Keputusan Mahkamah
Konstitusi tersebut masih memberi ruang kepada Pemerintahan Presiden Joko
Widodo untuk memperbaiki Omnibus Law. Meskipun dalam jangka waktu 2 tahun ke
depan jalannya pemerintahan akan tersendat-sendat karena kebijakan-kebijakan
strategis yang akan dilaksanakan atau telah direncanakan terpaksa direview
mengingat pemerintah tidak boleh mengeluarkan peraturan-peraturan yang
merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Meski begitu,
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap lebih baik dibandingkan jika
diputuskan Inkonstusional atau tidak berlaku lagi, tanpa syarat. Kita bisa
bayangkan UU Cipta Kerja sebagai sebuah induk peraturan kebijakan strategis roda
pemerintahan dinyatakan tidak berlaku lagi, artinya semua yang tekait omnibus
law harus dihentikan karena tidak memiliki landasan undang-undang.
Salah satu yang
menarik dari jalannya sidang judicial
review Mahkamah Konstitusi terhadap
UU Cipta Kerja adalah perdebatan tentang
"Salah Ketik". Ahli yang dihadirkan DPR maupun Ahli dari Pemerintah
berpendapat bahwa 'Salah Ketik" atau Clerical
Error adalah hal yang lumrah dalam penyusunan peraturan. Bahkan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada penjelasannya dinyatakan,
“Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka
kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan
batalnya putusan demi hukum.”
Sementara Hakim
Mahkamah Konstitusi Prof. Saldi Isra berpendapat lain. Clerical Error itu harus
mempunyai batasan yang jelas, tidak semua "Salah Ketik" bisa
ditolerir, karena kesalahan satu karakter misalnya salah meletakkan tanda koma(,) saja bisa merubah makna.
Apalagi jika salah ketiknya sudah satu kata, satu kalimat atau satu pasal yang
konsekuensinya bisa lebih serius lagi.
Merujuk pendapat
Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Saldi Isra, kasus salah menempatkan tanda koma
yang merubah makna pernah terjadi di Undang-Undang Tarif Amerika tahun 1872.
Dikutip dari m.liputan6.com,
Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menghapus tarif yang bertuliskan, _'fruit-plants, tropical and semi-tropical
for the purpose of propagation or cultivation'.
Namun, sayangnya
penempatan tanda koma tersebut salah. Yang seharusnya tertulis, _fruit, plants tropical, and semi-tropical
for the purpose of propagation or cultivation.
Akibatnya importir
buah pun dengan cepat memanfaatkan kesalahan gramatikal dan menolak membayar
pajak atas pengiriman mereka. Akhirnya, hal tersebut berujung pada pengadilan,
di mana akhirnya Departemen Keuangan harus mengeluarkan uang senilai US$2 juta.
Pertimbangan bahwa
"Salah Ketik" tidak diperbolehkan atau tidak bisa ditelorir itu lah
yang jadi sala satu dasar Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Cipta Kerja
harus diperbaiki. Mahkamah Konstituai memberi waktu bagi pemerintah memperbaiki
UU Cipta Kerja selama 2 tahun. Setelah 2 tahun tidak ada perbaikan, maka UU
Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku.
"Salah
Ketik" memang lazim dianggap lumrah dan oleh karena itu "Salah
Ketik" terjadi berulang-ulang di Indonesia. Kita tentu masih ingat
heboh-heboh kasus “Salah Ketik”, pertama, kasus komponen belanja barang dan
jasa Dinas Pendidikan DKI berupa lem aibon dengan anggaran mencapai 82,6
miliar.
"Salah
Ketik" juga terjadi pada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang merupakan hasil revisi. "Salah Ketik" terjadi pada ketentuan
umum usia pimpinan KPK yang disepakati menjadi paling rendah 50 tahun tetapi
dalam kurungnya tertulis empat puluh tahun.
Selanjutnya yang
ketiga kasus "Salah Ketik" juga pernah terjadi pada Kementerian Dalam
Negeri. Kepanjangan dari singkatan KPK tidak ditulis sebagaimana seharusnya
"Komisi Pemberantasan Korupsi", tetapi menjadi "Komisi
Perlindungan Korupsi".
Selain tiga kasus
diatas, banyak lagi kasus "Salah Ketik" yang terjadi di lembaga-lembaga
negara dan instansi pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah.
Padahal proses
setiap dokumen yang memerlukan tanda tangan seorang pejabat seharusnya
dilakukan secara teliti dan cermat. Mulai dari pengetikan, selanjutnya ada
beberapa pejabat pemeriksa yang membubuhkan paraf sebagai tanda telah diteliti,
diperiksa dan telah benar hingga penandatanganan oleh Pejabat.
Jika terjadi
kesalahan pada dokumen tersebut maka "penandatangan" atau Pejabat harus
segera memperbaikinya. Dalam dunia hukum atau pengadilan pembenahan atau
koreksi atas salah ketik ini dikenal dengan sebutan Renvoi. Renvoi dilakukan dengan cara bagian yang salah dicoret lalu
dibenarkan dan setiap koreksi diparaf oleh Majelis Hakim.
Tidak bisa serta
merta dilakukan pengetikan ulang menyeluruh lalu ditandatangi ulang karena itu
artinya membuat keputusan baru, apalagi keputusan tersebut telah dibacakan atas
nama Tuhan Yang Maha Esa.
Hal yang sama juga
seharusnya dilakukan terhadap peraturan perundang-undang lainnya termasuk
keputusan-keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (TUN). Tidal bisa ditolerir jika
kesalahan-kesalahan tersebut telah merubah makna dan berkonsekuensi lain dari
tujuan awal.
Terhadap
peraturan-peraturan yang telah diundangkan serta dipublikasikan secara luas,
misalnya kesalahan dalam penulisan batas wilyah, wilayah milik daerah A terulis
milik daerah B, maka proses perbaikan tidak bisa serta merta dilakukan. Secara de jure wilayah tersebut adalah milik B
walaupun secara de facto milik A.
Khusus terhadap
Keputusan-keputusan Pejabat TUN yang "Salah Ketik" tidak bisa pula
serta merta dilakukan perbaikan berdasarkan Azas
Contrarius Actus tanpa melihat implikasi dari kesalahan tersebut.
Asas Cntrarius
Actus ini adalah asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat TUN yang menerbitkan
Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Pencabutan
maupun pembatalan suatu keputusan (beschikking) dapat diuji melalui jalur
Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN).
Tanpa penegasan
Asas Contrarius Actus pun, setiap pejabat TUN ketika mengetahui Keputusan TUN
yang diterbitkan bermasalah, ia dapat memperbaiki atau membatalkan secara
langsung tanpa harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan.
Tentunya hal ini harus dilihat sampai sejauh mana kesalahan itu terjadi.
Misalnya, keputusan
pengangkatan seorang dalam jabatan Kepala SD Negeri 26, tetapi yang seharusnya adalah
Kepala SD Negeri 36. Jika kesalahan ketik itu diketahui sebelum pengambilan
sumpah jabatan, maka salah ketik tersebut bisa langsung diperbaiki.
Tetapi jika
kesalahan diketahui setelah pengambilan sumpah jabatan maka kesalahan ketik
tersebut tidak bisa langsung diperbaki. Hal itu dikarenakan syarat sahnya suatu
jabatan setelah adanya pengucapan sumpah Demi Tuhan berdasarkan Agama.
Pengambilan dan pengucapan Sumpah Jabatan adalah syarat sahnya seseorang
menduduki jabatan tertentu, tidak hanya sebatas seremoni atau simbolik dan
ritual belaka saat pelantikan.
Pelantikan dan
sumpah jabatan merupakan sebuah pengukuhan dari negara terhadap tugas dan
amanat yang telah dipercayakan kepada pejabat yang dilantik, pada saat itu
disampaikan jabatan yang akan diemban. Sekaligus pernyataan kesanggupan untuk
melakukan suatu keharusan atau tidak melakukan suatu larangan. Artinya dalam
contoh kasus diatas, yang bersangkutan telah sah menjadi Kepala SD 26.
Akhirnya, belajar
dari Sidang Mahkamah Konstitusi kesalahan-kesalahan administratif seperti
"Salah Ketik" pada UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak
bisa ditolerir begitu saja. Perlu kehati-hatian dan ketelitian terhadap
pengetikan peraturan perundang-undangan maupun beschikking karena dampaknya
bisa sangat serius. Kedepan kita semua akan melihat bahkan mungkin ikut
merasakan betapa dahsyatnya efek yang ditimbulkan dari "Salah Ketik"
pada UU Cipta Kerja.
oleh: Kamaruddin
tulisan ini dimuat di Koran Harian Haluan Selasa 30 Nopember 2021