Wow! very lovely lake!!, luar biasa indahnya...” guman Irwan ketika memandang keindahan Danau Maninjau dari Kelok 44 di Ambun Pagi.
Dikelilingi gugusan bukit hijau
yang menyegarkan mata. Air danau nampak tenang, berwarna biru terkena pantulan
langit, seolah menyimpan misteri yang dalam. Keindahannya jauh lebih memukau
dibandingkan Danau Toba yang kemarin dia lewati. Bahkan sangat jauh lebih indah
dari Danau Limboto nun di “kampungnya” di Gorontalo.
Pantas saja Presiden Bung Karno
sampai mengambarkan keindahan danau Maninjau dengan sebuah pantun, “Jika makan
arai Pinang, makanlah dengan sirih yang hijau, jangan datang ke Ranah Minang,
kalau tak mampir ke Maninjau."
Bagi Irwan ini adalah perjalanan
“pulang kampung” setelah hampir dua puluh tahun tidak pernah datang lagi ke kampungnya,
kampung kelahiran mendiang Ibunya.
Ya, terakhir dia pulang ke
Maninjau saat masih berusia 4 tahun. Tidak lama setelah Ibundanya meninggal
karena kecelakaan di Medan. Dia kemudian dibawa oleh Ayahnya pulang ke
Maninjau. Setelah itu ayahnya pamit kepada keluarga ibunya untuk membawa anak
tunggalnya Irwan ke Gorontalo, kampung ayahnya. Disana dia dibesarkan sampai
dewasa oleh Ayahnya.
Ketika sedang asyiik menikmati
keindahan itu, dia teringat seorang gadis. Aida ! dimana kah gadis itu berada,
dimanakah kampungnya di Sumatera Barat ini?. Gadis yang baru dia kenal 2 hari
yang lalu ketika naik pesawat dari Surabaya menuju Jakarta.
Dalam perkenalan singkat itu
Irwan terpesona dengan kecantikan dan keanggunan gadis itu. Berkali-kali Irwan
mencoba menghubungi tetapi tidak pernah menyambung, tidak aktif atau diluar
jangkauan.
Aida, ah tatapannya ketika akan
berpisah di Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta membuat tubuh Irwan bagai
terpaku kelantai. Langkahnya terasa berat beranjak.
Berkali-kali Irwan menoleh ke
arah Aida, seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi terasa tidak mungkin.
Diwajah Aida juga terpancar hal yang sama dengan Irwan, ada rasa berat
melangkahkan kaki meunju pesawat yang akan membawanya ke Padang.
Sementara Irwan harus melanjutkan
perjalanannya ke Kualanamu Medan. Ah, kenapa pesawat ini tidak delay saja. 1
jam.. 2 jam, mungkin itu cukup untuk kembali bercerita. Bukan bercerita, tetapi
mengungkapkan apa yang dirasakan saat ini.
Perlahan Aida menjauh, hilang
dibalik sekat-sekat gedung bandara itu. Tinggal Irwan sendiri masih berdiri
kaku. Pikirannya berkecamuk. Tidak tahu harus bagaimana.
Dengan gontai Irwan menuju
bangku-bangku tempat menunggu keberangkatan. Didekat “gate” keberangkatan
pesawat menuju Medan.
Pesawat Irwan masih 1,5 jam lagi.
Irwan mencoba menelpon nomor yang diberikan Aida tadi. Tetapi sudah tidak
aktif. Irwan gelisah, berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.
Di salah satu sudut Irwan kembali
duduk, kemudian membuka tas dan mengambil koran. Membacanya. Tapi hatinya tetap
tidak tenang, pikirannya terus membayangkan gadis itu.
“Di Maninjau nyo dima Uda ?’,
Irwan dikagetkan pertanyaan sopir minibus itu.
“Kampuang Dadok Sungai Batang”,
jawab Irwan.
Lamunannya buyar, ternyata dia
sudah hampir sampai di tujuan. Dari rambu jalan di tiap tikungan tertulis Kelok
2. Tidak berapa lama sampai pada Kelok 1. Akhirnya mobil itu berbelok menuju
arah Sungai Batang.
Sampai di Kampuang Dadok, Irwan
tidak kesulitan mencari alamat yang dituju karena kampung itu tidak begitu
ramai. Dengan sekali bertanya, ia mendapatkan petunjuk yang jelas.
---000---
Assalamu’alaikum !
“Waalaikum salam, sia tu ?”,
tanya suara di atas rumah.
Tidak lama mucul wajah perempuan
dari balik pintu.
“Saya tek, Irwan !” sambil
bergegas membuka sepatunya.
“Ondeeh Irwan, naiak lah...ado
Mak Datuak disiko kini,...”
“Capek kironyo ang tibo, etek
sangko minggu bisuak”, sambung eteknya yang bernama Nursidah itu sambil
membimbing tangan Irwan.
Dirumah itu Irwan disambut hangat
keluarganya itu, Eteknya, Suami Etek, dan Mak Menan yang telah diangkat menjadi
Datuk Kepala Suku. Itu memang bukan rumah Ibu kandungnya.
Rumah ibunya telah lama roboh
karena tidak pernah lagi ditinggali sejak neneknya meninggal dan ibunya ikut ayahnya
ke Medan 25 tahun lalu. Ibunya merupakan anak satu-satunya alias tungga
babeleng dari neneknya.
Berdasarkan cerita Ayah Irwan,
Etek Nursidah itu merupakan anak dari adik neneknya, mereka ada bertiga
bersaudara, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Eteknya itu mempunyai anak 4 orang, 2
pasang.
Setelah dihidangkan air teh
hangat, Irwan shalat asyar di ruangan tamu rumah itu. Ketika selesai Shalat,
Irwan berdoa. Berdoa untuk arwah ibunya yang terkubur di Medan. Dari kampung
kelahiran ibunya itu dia panjatkan doa.
“Assalamu’alaikum !”, terdengar
suara mengucapkan salam dari pintu.
Serentak yang ada dalam rumah itu
menjawab salam. Irwan pun menoleh ke arah pintu masuk. 2 orang perempuan nampak
memasuki rumah sambil membawa kantong berisi belanjaan. Yang satu berusia
sekitar 20 tahun dan satu lagi sekitar 10 tahun.
Alangkah kagetnya Irwan!.
Dia seperti bermimpi, tubuhnya
kembali menjadi kaku seperti di bandara itu, wajahnya tiba-tiba jadi pucat.
Seakan tak percaya pada penglihatannya melihat perempuan yang baru masuk rumah
itu.
Dan perempuan itu Aida !
Aida pun terpana, kantong kresek
ditangannya hampir terlepas ketika melihat Irwan. Terasa darahnya seperti
terhenti mengalir.
"Aida,..Rani !! itu Irwan
anak mendiang Mak Tuo Ema, baru tibo dari Sulawesi. Salami lah !” Ucap Ayahnya
ketika melihat Aida seperti orang kebingungan.
Rani duluan mendekati Irwan,
menyalami sambil mencium tangan Irwan.
Aida dan Irwan sama-sama
melangkah saling mendekati. Sama-sama mengulurkan tangan, tapi jantung mereka
seperti berhenti berdetak.
“Udaa, Selamat datang dikampung!”
ucap Aida ketika tangan mereka saling menggenggam.
“Iyaa Aida” jawab Irwan
tersenyum, seakan masih tidak percaya dengan penglihatannya.
“Aidaa, bawalah belanjaan tu
kemari, mamasak lah capek, Uda Irwan kau lah lapar tu!,” suara dari dapur itu
memecahkan kekakuan yang terjadi antara Aida dan Irwan.
Aida pergi ke dapur, Irwan
kembali duduk bersama Ayah Aida dan Mak Datuk Menan. Bercerita tentang keadaan
Ayahnya di Gorontalo sana. Bercerita tentang pekerjaannya, sampai cerita
tentang rencana kapan menikah.
Amboi...menikah? Pikirannya belum
pernah sampai kesana, pikirannya hanya kapan dapat bertemu lagi dengan gadis
yang mempesona itu, Aida.
Dia memang telah berniat untuk
mencari Gadis itu setelah urusan pulang kampungnya selesai, tetapi HP Aida
tidak pernah lagi bisa dihubungi. Oo..rupanya disini memamg belum ada signal.
Kalo mau menelpon harus pergi ke pasar Sungai Batang.
Dan tanpa diduga, ketika angannya
masih ragu apakah akan bersua atau tidak, gadis itu dengan cepat tiba-tida
muncul dihadapannya.
Namun Irwan masih tidak tenang,
diantara rasa senangnya bertemu dengan gadis yang diangan-angankannya. Dia
sadar, bukan pertemuan seperti ini yang dia inginkan dan harapkan.
Gadis itu adalah saudara sesuku,
adiknya, sepersukuan, masih satu keturunan yang sangat dekat. Oh mengapa
situasinya begini sulit.
Didapur. Aida juga resah.
Berkali-kali kentang yang sedang dia pegang terlepas, namun dia terus
mengupasnya, terlepas lagi.
“Hati-hati Aida, beko luko tangan
tu!, apo nan sadang bapikiakan?” peringatan dan pertanyaan ibunya itu kontan
membuat dia terkejut. Mukanya memerah.
“Ndak ada mak!”, Dia kembali
berusaha konsentrasi.
Tidak ada kataku, bohong!. Sangat
banyak yang terpikirkan. Hati Aida bimbang, memikirkan kejadian 2 hari yang
lalu. Dimulai dari pesawat dari Surabaya, ketika menunggu transit di Bandara
Soekarno Hatta.
Seorang Pria asing yang memikat
hatinya walau pertemuan itu baru pertama kali. Lelaki yang berwajah tampan,
berbudi, mempunyai tutur kata dan pembawaan yang sopan.
Ah, lelaki asing yang pantas
diidamkan menjadi junjungan sampai hari tua.
Dan kini dia bertemu lagi dengan
laki-laki itu. Ternyata laki-laki asing itu adalah saudaranya, sasuku, satu
keturunan. Oh, hidup ini luar biasa dan tidak bisa diduga.
"Patah pucuak si
bilang-bilang,
Sibirah tumbuah di rimbo,
Hati ditusuak sayang,
Kini maracun cinto"
Malamnya, mereka berkesempatan
duduk berdua dan bercerita di teras rumah yang menghadap ke arah danau
Maninjau.
Dari teras rumah itu Danau
terlihat sangat dekat, dan seperti duduk di tepi danau. Lampu-lampu keramba
terlihat berkerlap kerlip laksana kilauan permata menghias sekeliling danau.
Bulan dan bintang dengan cahaya terang nya seakan bersenandung menemani Danau
Maninjau.
Tenang, sepi....damai…tidak ada
riak....diam...seakan danau-pun beristirahat melepas penat. Tapi tidak dengan 2
anak manusia itu.
“Aida !” suara Irwan seperti
mendesah dan berbisik.
“Ya Uda!” Jawab Aida pelan.
“Ada yang ingin kusampaikan,
tidak tahu apakah ini ada gunanya atau tidak”
“Apakah sama dengan yang ingin
uda sampaikan di bandara ?”
Aida berdebar menunggu.bIngatan
Irwan dan Aida kembali melayang mengingat pertemuan terakhir di bandara itu.
Ketika sama-sama terpaku. Saling
berpandangan seakan saling berusaha untuk menyampaikan sesuatu. Tetapi hanya
bisa dilakukan lewat tatapan. Dan akhirnya mereka berpisah.
“Ya Aida, namun lebih banyak dari
itu, ada lagi yang lain...yang aku rasakan sejak siang tadi”.
“Sampaikan lah uda !”
“Tidak tau persis apa sebab
awalnya…tapi ada yang tarasa beda ketika pertama kali melihatmu, ada getar
dihati, kemudian tubuh ini seperti menuruti kata hati, entah itu persepsi yang
salah atau tidak. Ada rasa takut dan malu untuk mengungkapkannya, ada pula
keinginan untuk menyampaikannya, tetapi waktu kita terlalu singkat...”
“Uda, aku tahu semua itu... dari
tatapan itu... ada sesuatu disana.. dan bahasa tubuh uda,...”
“Ya, entah ini perasaan yang
salah, ada jawaban pula dari bahasa tubuh dan perhatian darimu, dari itu aku
mulai berani berharap walau masih dalam hati, ketika masa itu akan berakhir,
ingin sekali mengungkapkannya... I Love You!”
“Ndeeeh Udaaa, merinding
mendengarnya… ndak tau mesti bagaimana. Ini tidak boleh ada uda, tidak
mungkin...terlarang. Please Uda, buang jauh jauah rasa itu…!”,
Aida gemetar. Hatinya berkecamuk
dan matanya berlinang.
“Terlarang dan tidak mungkin
memang! Tapi tidak akan aku buang, melainkan akan disimpan jauh-jauh dalam hati
karena baru kali ini merasakannya tapi ini pula yang terjadi…”
Irwan mengalihkan pandangannya ke
arah danau, menatap jauh.
“Biarlah ini menjadi kenangan
ketika nanti kembali ke Gorontalo. Mungkin aku akan cerita ke ayah bahwa
keinginan beliau untuk bermenantukan gadis Minang hampir saja terlaksana”
Lanjut Irwan.
“Simpanlah kalau Uda ingin
menyimpannya. Akupun tidak kuat menahan hati sejak siang tadi, pikiranku
berkecamuk, mengapa begini. Sejak berpisah itu, ada rasa rindu ingin bertemu
lagi tetapi tidak menyangka akan secepat ini dan seperti ini. Entahlah
uda...sesak dada ini terasa”,
Aida berhentik sejenak, menarik
nafas panjang.
“Mudah-mudahan uda mendapat
mendapatkan si Upiak (Gadis Minang) sesuai harapan Ayah”, suara Aida terdengar
lirih begetar.
“Aida, suruh lah Udamu itu
istirahat, besok pagi-pagi Mak Datuak menyuruh kerumahnya di Sungai Batang.
Pulang dari situ, ajak lah Udamu keliling danau!” terdengar suara Nursidah
setengah berteriak dari dalam rumah.
Aida dan Irwan saling
berpandangan, kemudian Irwan melihat jam ditangannya, pukul 10 malam.
“Istirahat lah Uda, besok kita
kerumah Mamak ", ujar Aida.
***
Siangnya, sepulang dari Irwan
shalat Jumat,dengan memakai motor mereka pergi ke rumah Mamak Menan yang
berjarak sekitar 3 km dari rumah Aida.
Irwan membawa motor itu dan Aida
berbonceng di belakang. Beberpa kali Irwan tergagap karena jalan yang berliku
dan menurun tajam.
Beberapa kali pula Aida beteriak
kecil, “Awas Udaa!!” sambil berpegangan pada bahu Irwan.
Hampir saja Irwan hilang
konsentrasi, bukan karna jalan itu tetapi karena sentuhan Aida. Darahnya
berdesir.
Aida cepat menyadari dan segera
menurunkan tangannya dari bahu Irwan. Tetapi kondisi jalan yang menurun tajam,
mau tidak mau tangannya harus memegang punggung Irwan,kalau tidak maka badannya
kan terdorong kedepan.
Cuaca mendung seperti mauhujan
lebat. Angin bertiup kencang. Tidak sampai 10 menit mereka sampai di rumah
Mamak Menan.
Disana Irwan diperkenalkan kepada
isteri dan anak-anak Mamak Menan. Mamak Menan mempunyai 3 orang anak yang
kesemuanya perempuan tapi yang ada dirumah hanya 2 orang. Anak perempuannya
yang sulung tinggal di Jakarta ikut suaminya. Yang nomor baru tamat sekolah
kebidanan, dan yang bungsu kelas 3 SMA.
Setelah bersalam-salaman Isteri
dan kedua anak Mamak Menan serta Aida langsung menuju dapur. Sementara Irwan
dan Mamak Menan duduk diruangan tamu.
Baru sebentar berbicang-bincang,
terdengar suara Aida.
“Mamak, Da Irwan..nasi sudah
terhidang, silakan makan”
“Ayo Irwan, mari kita makan”
sambung Mamak Menan sambil berdiri dan berjalan ke arah meja makan yang ada di
ruangan tengah rumah itu.
Irwan pun berdiri mengikuti Mamak
Menan. Irwan duduk dikursi kosong sebelah kanan Mamak Menan. Disampingnya duduk
Aida. Pas didepannya duduk anak menan yang baru tamat sekolah kebidanan.
“Makan lah Irwan, ada panggang
ikan danau, goreng bada masiak jo palai rinuak, jarang-jarang ada di Sulawesi
!” ujar isteri Mamak Menan.
“Iyo Etek!”, sahut Irwan sambil
mengangguk pelan.
Irwan makan dengan lahap, dua
kali nambah. Masakan itu enak sekali dan terasa pas sekali di lidahnya. Mungkin
karena dia keturunan Minang dan mungkin juga karena isteri Mak Menan pintar
memasak.
Ketika hampir selesai makan,
terdengar hujan mulai turun. Makin lama makin lebat. Irwan dan Aida saling
berpandangan.
“Ada apa?” tanya Mamak Menan
ketika melihat Irwan dan Aida saling bertatapan begitu.
“Ini Mamak, tadi rencananya
setelah dari sini, Aida akan mengajak Uda Irwan keliling Danau...ke Bayur, ke
Muko-muko, Tanjung Sani....kan besok Da irwan akan balik Mamak!”, sahut Aida.
“Oo...tunggu saja...mudah-mudahan
hujan reda, baru berangkat kalian!”
“Iya mamak!” sahut Aida dan Irwan
hampir bersamaan.
***
Ternyata hujan tidak reda-reda
juga. Langit bahkan semakin kelam seakan akan menumpahkan semua air yang ada
dilangit.
Hingga pukul 4 sore Irwan dan
Aida terkurung di rumah Mak Menan. Irwan resah karena hasratnya untu berkeling
danau berdua dengan Aida tidak tercapai.
Dan pembicaraan Irwan dengan
Mamak Menan mulai terasa membosankan bagi Irwan karena topiknya sudah
berulang-ulang.
Keresahan Irwan itu diketahui
oleh Aida, sesekali Aida tersenyum sambil menatap kepada Irwan seakan memberi
tahu,”hari hujan, tidak mungkin kita pergi”.
Irwan seakan mengerti isi tatapan
Aida itu dan itu membuat hatinya lega apalagi Aida tersenyum sangat manis
seperti ketika saat pertama kali melihat senyum itu.
Setelah shalat Asyar, hujan mulai
reda. Dan kesempatan itu dipergunakan Irwan dan Aida untuk pamit. Tetapi pamit
untuk kembali pulang karena tidak mungkin lagi pergi berkeliling danau, sudah
sore dan cuaca tidak mendukung.
Baru saja sampai dirumah hujan
kembali turun dengan deras. Bahkan semakin deras bunyinya. Irwan dan Aida
kembali duduk di teras memandang ke Danau yang tidak terlihat jelas karena
curah hujan yang deras.
Sudah beberapa saat berlalu
keduanya masih saling diam. Irwan menatap jauh ke arah Danau, entah apa yang
dilihatnya karena tidak ada yang bisa dilihat kecuali hujan.
Bahasa tubuhnya menyuratkan
kegelisahan.
Aida sedari tadi memperhatikan
perubahan sikap Irwan.
Berkali-kali Aida berusaha
meberikan senyuman agar Irwan juga tersenyum tapi balasan senyum Irwan
menggambarkan kesedihan.
“Udaa...!
“Ya Aida..” jawab Irwan sambil
menoleh kepada Aida, tetapi kemudian kembali menatap lurus kedepan.
“Cerita lah uda...jangan hanya
diam!”
“Cerita apa Aida,...besok aku
pergi, pulang...dan mungkin kita tidak kan betemu lagi!”
"Kenapa? tidak bolehkah aku
bertemu dirimu lagi?".
"Boleh, tapi bukan seperti
ini... Aku ingin kita bertemu dan bersama selamanya".
"Itu tidak mungkin uda, adat
melarang dan tidak pernah diperbuat orang kampung kita".
"Secara agama kan tidak
terlarang, boleh kan! ".
"Entah lah uda, kita akan
diusir dari kampung, diharamkan menginjak tanah pusaka ini, diharamkan pulang
uda".
"Demi dirimu, aku
sanggup!".
"Membayangkannya pun aku tak
mampu uda, meninggalkan amak, meninggalkan Rani... Meninggalkan semuanya,
Udaa!! "
"Aida, tadi saya berdoa....
Jika memang cinta itu suci, satukanlah kita sebelum ajal menjemput".
"Udaa...! "
***
Pagi, di hari Sabtu yang cerah
Irwan dan Aida akhirnya melangsungkan pernikahan dirumah eteknya Nursidah.
Walaupun ditentang keras oleh Mak Menan tetapi acara itu tetap berlangsung
secara sederhana.
Mak Menan sangat marah ketika
rencana itu disampaikan kepadanya. Itu sangat melanggar adat dan sanksinya
dibuang dari kaum dan juga dari kampung.
Namun Irwan dan Aida tetap pada
keinginan mereka, jika tidak boleh dikampung mereka akan melakukannya di
Gorontalo. Dan mereka telah siap dengan segala konsekuensinya, meskipun tidak
akan diperbolehkan lagi pulang ke kampung.
Nursidah lah yang bersikeras
pernikahan dilangsungkan dikampung, dihadapannya. Dia ingin menyaksikan
pernikahan sekaligus melihat anak gadis sulungnya bahagia dihadapannya.
Setelah akad nikah, Irwan dan
Aida berangkat untuk pergi meninggalkan kampung. Tujuan mereka adalah kampung
ayah Irwan di Gorontalo.
Dengan diiringi tatapan sedih
keluarga, Irwan berpegangan tangan dengan Aida berjalan menuju Minibus Travel
di jalan raya. Hanya beberapa langkah, mereka menoleh kebelakang... melambaikan
tangan.
Nursidah dan Rani pecah
tangisnya, berlari menuju Irwan dan Aida. Mereka berpelukan sambil menangis.
Ah, semua itu hanya mimpi. Mimpi
hal yang sama antara Irwan dan Aida. Ditengah pekatnya malam dan hujan lebat
yang mengguyur Kampung Dadok Sungai Batang.
***
Pagi hari, Senin 28 Januari 2013
nun jauh di Desa Iluta di tepi Danau Limboto ayah Irwan gelisah karena Irwan
belum juga sampai. Sudah telat 2 hari karena Irwan berjanji akan balik hari
Sabtu kemarin.
Tiba-tiba terdengar suara khas TV
yang menyiarkan "BREAKING NEWS" telah terjadi bencana tanah longsor
di Nagari Sungai Batang Kabupaten Agam, Sumatera Barat (TVOne)
Ayah Irwan terhenyak, badannya
lunglai, kakinya terasa berat, dunia terasa gelap. Anaknya, Irwan pulang ke
kampungnya, selamanya dan tak akan pernah kembali.
Di atas meja beranda rumah
terhampar sebuah koran. Pada halaman depan koran itu terpampang headline
"11 Korban Longsor Agam Berhasil Ditemukan" (republika.co.id, 27
Januari 2013).
Para korban tersebut yakni
Nursinah (55), Juliati (30), Martini (60), dan Tarajudin (60) dan Asril (60),
Padri (9), Dila (2), Julairdi (25), Eni Astuti (38), Indah (6) dan Rosda (55).
Dengan ditemukannya 11 korban
tersebut, masih ada sembilan korban yang diduga tertimbun dan belum ditemukan
yakni Bayar (70), Nursidah (65), Rosmi (75), Anto (32), Rani ( , Leni Marlina
(11), Musrinah (50), Sinaro (40), Kamal (1,5), Nurhaida (23) dan Irwan (37).
Tamat.
Sekian, demikian akhir cerita
Cinta Sampai Maninjau. Cerita cinta yang hanya terwujud dalam mimpi dan
berakhir ketika bencana menghempaskannya ke dalam tanah. Terkubur selamanya,
sama-sama cinta sampai mati.
Pemirsa, sekali lagi... cerita
diatas hanya fiksi kecuali tempat kejadian dan peristiwa Bencana Longsor di
Jorong Data Kampung Dadok Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya
(Maninjau) 9 tahun yang lalu tepatnya Sabtu pagi pukul 01.00 WIB 26 Januari 2013.
Meskipun itu fiksi, penulis
berusaha memunculkan "jejak" dan mempertautkan kejadian nyata untuk
membuat cerita itu seakan kisah nyata.
Ide dan inspirasinya cerita ini
mungkin sama seperti cerita-cerita lain semisal ada pusara bernisankan Siti
Nurbaya dan Syamsul di Gunung Padang yang konon kabarnya itu awal mula ide
cerita Siti Nurbaya.
Dalam cerita Malin Kundang karya
Tira Ikranegara jejaknya adalah Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis.
Dalam cerita Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck, yang berkisah tentang kisah Cinta Hayati dan Zainuddin yang
terhalang adat istiadat, jejaknya adalah peristiwa tenggelamnya kapal itu.
Klimaks kisah adalah ketika
Hayati tenggelam bersama Kapal Van der Wijk.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk
bukanlah kejadian fiksi karena kapal milik maskapai Belanda nyata dan memang
tenggelam di Perairan Lamongan pada tahun 1936.
Begitu pula dalam cerita Layangan
Putus ada tempat liburan Cappadocia di Turki, tempat liburan impian Kinan.
Dalam beberapa kali kesempatan
saya ikut bergotong royong mencari korban di Kampung Dadok. Saya ikut merasakan
betapa memilukan bencana itu. Dari orang tua hingga anak-anak menjadi korban.
Longsor datang tengah malam, disaat mereka tertidur lelap, disaat mereka
bermimpi tentang indahnya harapan akan hari esok. Mungkin juga ada mimpi
bersatunya cinta yang tidak mungkin.
Saya membayangkan sebelum bencana
itu datang, semua cerita indah banyak terjadi disana sebagaimana indahnya Danau
Maninjau. Anak-anak se usia Rani bermain dengan gembira menunggu hari petang.
Gadis seusia Aida dan Laki-laki seumuran Irwan bermimpi tentang masa depan
mereka yang indah.
Mudah-mudahan cukup sudah, tiada
lagi bencana disekitar kita.
Mohon maaf atas segala kekurangan
dalam penempatan kata dalam cerita diatas.
Penulis, Kamaruddin
Lubuk Basung, 4 April 2022
0 komentar:
Posting Komentar