Pagi ini, imajinasi saya melayang mengenang Persahabatan Soekarno dengan Moh. Hatta. Persahabatan yang melahirkan Proklamasi Kemerdekaan, Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Dwi Tunggal dan pada akhirnya berpisah dengan mundurnya Hatta dari jabatan Wapres.
Semua orang tahu bahwa antara Soekarno dan
Hatta sangat berbeda dalam banyak hal, terutama aliran pemikiran dan
perfomance. Soekarno sangat stylish, blak-blakan, dan egois. Sebaliknya, Hatta
sangat sederhana, lembut dan demokratis.
Hatta adalah pengkritik sejati terhadap
pemikiran dan kebijakan Soekarno. Apapun yang dilakukan Soekarno yang tidak
tepat selalu mendapar kritikan oleh Hatta, mereka ibarat perang yang tidak
usai. Tetapi itu tidak mengurangi persahabatan keduanya.
Sampai pada suatu waktu, ketika Soekarno
bersikeras akan memasukan unsur Komunis ke dalam kabinet, Hatta tidak
menyetujuinya. Bahkan Hatta memutuskan mengundurkan diri sebagai Wapres karena
pertimbangannya tidak lagi didengar Soekarno. Sepeninggal Hatta, Soekarno
semakin egois, kekuasaannya makin sentralistik dan dia menginginkan kekuasaan
yang abadi, semua keinginannya tidak ada yang mengkritik.
Dari sanalah cerita persahabatan itu mulai
terasa sangat berarti. Soekarno dengan segala kekuasaannya merasa kesepian
karena tidak ada lagi Hatta disisinya. Tidak ada lagi orang yang mengkritiknya,
tidak ada lagi orang yang membantah omongannya, tidak ada lagi mendebat
pendapatnya. Soekarno hanya dikelilingi anak buah yang selalu menurut apapun
kemauannya. Tetapi itulah yang membuatknya makin tidak disukai dan pada
akhirnya akan membuat kekuasaannya mulai digerogoti dan semakin melemah.
Hatta adalah Konco Arek - Lawan Barek bagi
Soekarno, kawan sejati sekaligus lawan sejati. Disaat kesendirian Hatta sangat
dirindukan oleh Soekarno, Istana terasa sepi dan dingin, tidak ada suasana
panas, tidak ada kritikan, tidak ada bantahan. Yang ada hanya ada anggukan
diiringi bungkukan badan, “siap Tuang Presiden, Panglima Tertinggi!! kami siap
laksanakan!. Semua hanya mengabarkan “aman terkendali”. Tidak ada kabar bahwa
rakyat tidak suka, marah. Tidak ada kabar bahwa banyak pihak yang tidak setuju
dengan kebijakan Soekarno.
Dalam imajinasi saya, ada kejadian ketika
sedang sendiri itu, seorang pelayan Istana berkata kepada Soekarno;
“Apa yang tuan menungkan?, kenapa wajah tuan
murung?’
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Soekarno,
dia tetap melamun dengan wajah yang murung. Tatapannya jauh menembus tebalnya
dinding Istana.
“Biasanya disaat-saat seperti ini ada Bung
Hatta disini menemani Tuan, dan Tuan tidak pernah murung jika ada Hatta”, ucap
pelayan itu.
“Jangan kau ingat-ingatkan juga Hatta itu
pada saya, itu membuat saya semakin bersedih”, jawab Soekarno tanpa menoleh.
“Tuan telah salah, tuan lebih mendengarkan
orang lain, tidak mendengarkan Hatta. Tuan membuat Hatta pergi meninggalkan
Tuan. Tetapi hamba yakin, Hatta tidak membenci Tuan. Hatta hanya ingin agar
Tuan bisa lebih leluasa mewujudkan keinginan Tuan, Hatta tidak ingin Tuan
terganggu dengan pendapatnya”.
Soekarno masih diam terpaku, tubuhnya diam,
tetapi dadanya berguncang menahan beragam rasa.
“Tahukah Tuan? Sepeninggal Hatta, Tuan semakin
otoriter, tidak terkontrol. Semakin banyak orang dan pihak yang tidak suka,
bahkan membenci Tuan. Orang yang Tuan percaya sepeninggal Hatta, bukan membuat
Tuan semakin dekat dengan rakyat tetapi semakin menjauhkan. Membuat semakin
banyak yang ingin melawan dan memberontak kepada Tuan”.
Soekarno tersentak, berdiri dan bergegas
meninggalkan pelayan itu sambil menghempaskan pintu.
Hingga pada akhirnya ketika Soekarno bukan
lagi jadi Penguasa, kesehatannya menurun dan dia diisolasi dan dirawat di
RSPAD.
“Hoe gaat het met jou?”, Bagaimana keadaanmu?
sapa Soekarno sambil menggenggam erat tangan Hatta. Sapaan seorang sahabat
sejati sudah lama tidak bertemu. Sapaan antara dua orang manusia tanpa ada lagi
embel-embel keuasaaan. Tidak ada lagi Soekarno yang gagah perkasa dengan
segunung kekuasaan.
Tetasan air mata jatuh dari sudut mata
Soekarno.
Hatta menggenggam erat tangan Soekarno, tidak
ada kata yang terucap dari mulutnya. Hanya pandangan dan hati mereka yang
bicara.
Sapaan Soekarno menggambarkan kesedihan dan
penyesalannya telah berpisah dengan Hatta. Sapaan itu juga merupakan pengakuan
bahwa Hatta benar, apa yang disampaikan Hatta selama ini benar adanya.
Hatta larut dalam kesedihan, airmatanya
tumpah, bahunya berguncang. Hatta tetap menggenggam erat tangan Soekarno, tidak
ingin melepaskannya. Bahkan ketika Soekarno berusaha memakai kacamata untuk
dapat melihat wajah Hatta, sahabatnya itu. Seperti melihat untuk yang terakhir
kali.
Soekarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970
dan Hatta meninggal dunia 10 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 14 Maret
1980. Keduanya meninggalkan sejarah panjang yang tidak akan pernah berhenti
untuk diingat bangsa ini. Sejarah perjuangan memerdekakan dan memimpin Republik
ini.
Sejarah persahabatan sejati, yang berpisah
karena perbedaan pandangan politik tetapi tetap bersahabat hingga akhir hayat.
Setelah meninggal pun mereka tetap bersatu, pada banyak tempat nama keduanya
selalu diabadikan berdua, Soekarno - Hatta.
Sahabat sejati, tidak selalu mengiyakan atau
menyetujui omongan kita. Dia ibarat cermin yang memantulkan kebaikan ataupun
keburukan kita. Jangan biarkan orang lain membuat kita menjauh dari sabahat
sejati.
Lubuk Basung, 15 Nopember 2018
0 komentar:
Posting Komentar